Balas Kritik soal Utang Pemerintah, Sri Mulyani: Semua Negara Islam Berutang
Ekonomi dan bisnis | 19 Juli 2020, 10:56 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kritik publik terkait dengan pengelolaan utang pemerintah mendapat tanggapan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dia meminta masyarakat tidak memberikan stigma negatif terhadap proporsi utang negara. Menurutnya, bisa dikatakan bahwa tak ada satu pun negara di dunia yang tak memiliki utang.
Pinjaman diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, tak terkecuali negara-negara Islam.
"Kalau teman-teman yang suka pakai negara Islam. Semua negara Islam di dunia, semua berutang. Mau Saudi, UAE, Qatar, Maroko, Pakistan, Afghanistan, Kazakhstan, you name it," tegas Sri Mulyani dalam live Instagram, seperti dikutip dari Kompas.com, Minggu (19/7/2020).
Baca Juga: DPR Setujui Pencairan Utang ke BUMN Rp 116 Triliun, Sri Mulyani: Terima Kasih Persetujuannya
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengungkapkan, utang sangat diperlukan untuk membiayai belanja pemerintah.
Kebijakan utang bisa dikontrol dengan tetap menjaga rasio dengan PDB.
"Bahkan saya tahu waktu di Bank Dunia, negara Islam terutama yang di Afrika mayoritas miskin banget. Dan mereka dapat utang, bahkan diberikan hibah," ucap Sri Mulyani.
Sensitif soal Utang
Dia menuturkan, sebagian masyarakat di Indonesia masih sangat sensitif dengan kebijakan utang yang terkadang jadi perdebatan panas.
"Saya ingin menyampaikan, kadang-kadang masyarakat kita sensitif soal utang. Menurut saya, tidak bagus juga. Karena kalau kita mau bicara tentang policy (ketentuan) utang, ya kita bisa berdebat, jangan pakai benci dan menggunakan bahasa kasar," kata Sri Mulyani.
Alasan utama mengapa negara berutang yakni untuk mengejar ketertinggal infrastruktur, lalu kedua utang diperuntukkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kalau begitu kita perlu utang? Ya utangnya untuk apa dulu. Kalau untuk membuat infrastruktur kita baik (utang produktif), supaya anak-anak bisa sekolah dan tidak menjadi generasi yang hilang, ya tidak ada masalah," tutur Sri Mulyani.
Baca Juga: Hati-Hati Tagih Utang, Bisa Dituntut 2 Tahun
Dorong Perekonomian
Saat ini, menurut Kementerian Keuangan, pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif di mana belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh.
Menurut pemerintah, ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas bisa menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi yang harus ditanggung masyarakat, kondisi ini membuat daya saing Indonesia menjadi rendah.
"Itu pilihan kebijakan. Kalau enggak utang, berarti kita menunda kebutuhan infrastruktur. Masalah pendidikan, masalah kesehatan, mungkin tertunda. Jadi negara kita warganya banyak, tapi anak-anaknya bisa rentan," sebut Sri Mulyani.
Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspasif ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.
IPM Dinilai Rendah
Dikutip dari data Kementerian Keuangan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih lebih rendah dibandingkan sejumlah negara tetangga.
Untuk itu, pemenuhan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas dasar menjadi prioritas utama guna menciptakan kualitas SDM Indonesia yang produktif dan kompetitif.
Mengutip data United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2015, IPM Indonesia yaitu 0,689, atau masih di bawah Malaysia, Thailand, dan Singapura. Indonesia masih berada di atas Vietnam, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.
Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Utang Negara Naik Rp 422,7 Triliun pada 2019, Total Jadi Rp 5.340 T
Utang Indonesia
Sebelumnya, Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 tembus sebesar 404,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.868 triliun (kurs Rp 15.000).
Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar AS.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga mengungkapkan bahwa kewajiban atau utang pemerintah meningkat Rp 422,7 triliun sepanjang 2019. Sehingga utang pemerintah menjadi sebesar Rp 5.340,2 triliun per 31 Desember 2019.
Utang pemerintah itu secara tahunan naik 8,6% dari Kewajiban pemerintah per 31 Desember 2018.
Menurut Sri Mulyani, peningkatan utang tersebut sebagian besar disebabkan oleh penerbitan surat utang negara.
“Peningkatan kewajiban pemerintah pada tahun 2019 sebagian besar berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (16/7), sebagaimana dikutip dari Kontan.co,id.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan, penerbitan SBN neto itu digunakan terutama untuk memenuhi berbagai kebutuhan prioritas, termasuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Baca Juga: Sri Mulyani Bela Menhan Prabowo Subianto Soal Belanja Alutsista
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV