> >

Resesi Seks Ternyata Bisa Menimbulkan Lonely Economy, Apa Itu?

Ekonomi dan bisnis | 8 Desember 2022, 14:26 WIB
Ilustrasi. Resesi seks adalah istilah yang menggambarkan turunnya minat masyarakat untuk memiliki anak, sehingga membuat angka kelahiran menurun. (Sumber: National Cancer Institute on Unsplash)

 

JAKARTA, KOMPAS.TV - Belakangan, ramai diberitakan negara-negara Asia Timur yakni China, Jepang, dan Korea Selatan, sedang dilanda resesi seks.

Resesi seks adalah istilah yang menggambarkan turunnya minat masyarakat untuk memiliki anak, sehingga membuat angka kelahiran menurun.

Resesi seks juga membuat profil demografi semakin menua, yang dalam jangka panjang bisa membahayakan kondisi ekonomi negara tersebut karena sedikitnya angkatan kerja dan penduduk usia produktif.

Ternyata, Indonesia juga berpotensi mengalami hal itu. Meskipun saat ini angka kelahiran di Indonesia masih tinggi dan pada 2045 negara ini akan menikmati bonus demografi. Di mana jumlah penduduk berusia produktif jauh lebih banyak dibanding usia tidak produktif.

Tapi pada satu titik, resesi seks bisa juga terjadi di RI. Setidaknya hal itu terlihat dari usia pernikahan penduduk Indonesia yang semakin meningkat.

Simpelnya, kalau dulu mayoritas pernikahan terjadi pada pasangan usia muda, kini trennya banyak pasangan yang menunda pernikahan.

"Potensi itu ada, ada ya, tapi sangat panjang, karena kan gini usia pernikahan semakin lama kan semakin meningkat. (Ini bicara ) pernikahan loh bukan seks," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo kepada wartawan di Hotel Shangri La, Jakarta, Selasa (6/12/2022).

Baca Juga: Tiga Juta Rumah Tangga Indonesia Bercerai, BKKBN Ungkap Sebab, dari Cemburu hingga Orang Ketiga

"Usia pernikahan itu mundur, karena semakin menempuh studi, karier dan sebagainya," tambahnya.

Fenomena itu, kata Hasto, banyak terjadi di kota-kota besar. Selain usia pasangan menikah yang semakin mundur, tren keluarga kecil dengan jumlah anak sedikit juga sedang terjadi.

"Jadi bisa saja terjadi minus growth atau zero growth sekarang ini kan beberapa daerah sudah minus growth, zero growth seperti beberapa kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah minus growth jumlah anaknya sedikit," jelasnya.

Seperti yang Hasto bilang, resesi seks di Indonesia mungkin saja terjadi meski masih lama. Bisa jadi setelah generasi anak muda yang hidup di tahun 2045, mayoritas memutuskan tidak menikah dan tidak punya anak alias child free.

Resesi seks sendiri sebenarnya bukan fenomena baru di dunia. Amerika Serikat dan Eropa sudah lebih dulu mengalaminya.

McKinsey, biro konsultansi manajemen global asal Amerika Serikat, menyebut resesi seks ini bisa menimbulkan lonely economy atau solo economy.

Baca Juga: Elon Musk Girang Apple dan Amazon Kembali Beriklan di Twitter

Fenomena lonely economy ditandai dengan naiknya permintaan hunian yang lebih kecil, tingkat kepemilikan hewan peliharaan yang meningkat, serta banyaknya permintaan robot serbabisa untuk menjadi "teman" di rumah.

Hal itulah yang terlihat di kawasan Asia Timur sekarang. Di Korea Selatan (Korsel), gaya hidup solo economy disebut 'honjok'.

Dikutip dari laman resminya, Kamis (8/12/2022), McKinsey menyebut ukuran rata-rata rumah tangga di Asia menyusut, dan sebagian besar negara mengalami penurunan dalam 20 tahun terakhir.

Di Indonesia, jumlah keluarga yang hanya punya dua anak semakin meningkat. Jumlah keluarga dengan empat anggota ini sudah mencapai 10 persen dari total rumah tangga di RI.

Sedangkan di Korsel, rumah tangga tunggal sekarang merupakan hampir sepertiga dari seluruh rumah tangga – meningkat hampir 50 persen dibandingkan 15 tahun lalu.

"Peningkatan rumah tangga tunggal ini tidak hanya didorong oleh penurunan angka kelahiran, tetapi juga oleh orang-orang yang menunda peristiwa besar dalam hidup, seperti menikah dan memiliki anak," demikian tulis McKinsey dalam hasil risetnya.

Solo economy juga mempengaruhi preferensi konsumen terhadap produk yang mereka beli. Seperti meja untuk satu orang di restoran, ruang karaoke satu kursi, dan modul gym yang dirancang untuk digunakan oleh satu orang pada satu waktu.

Baca Juga: Tito Karnavian Sebut Bonus Demografi Picu Penyebaran Hoaks

Pada saat yang sama, gaya hidup satu orang juga berkontribusi pada peningkatan tingkat kepemilikan hewan peliharaan.

Korsel telah mengalami peningkatan tingkat kepemilikan hewan peliharaan sebesar 60 persen selama dekade terakhir.

Sementara jumlah hewan peliharaan di China meningkat lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Rumah tangga tunggal juga membutuhkan produk yang berbeda, seperti pengiriman makanan di rumah dan porsi yang lebih kecil, dalam hal makanan kemasan.

Munculnya rumah tangga tunggal juga mendorong banyak pergeseran pola urbanisasi, seiring dengan meningkatnya permintaan akan rumah satu unit.

Orang yang hidup sendiri cenderung memiliki lebih banyak waktu untuk diri mereka sendiri, menyebabkan permintaan yang lebih besar akan berbagai bentuk hiburan, terutama digital, termasuk game, realitas virtual, dan konten digital seperti streaming musik/video, dan aplikasi terkait.

Di Jepang, misalnya, rumah tangga tunggal menghabiskan antara 1,5 dan 3,5 kali lebih banyak untuk konten digital seperti video, musik, dan e-book, dibandingkan rumah tangga dengan lebih dari satu orang.

Asia juga memimpin dunia dalam hal perjalanan solo. Jajak pendapat YouGov terhadap 21.000 responden di 16 negara baru-baru ini menemukan bahwa hingga 93 persen pelancong Asia pernah bepergian sendiri atau terbuka terhadap gagasan tersebut.

Sedangkan di kalangan responden dari negara-negara Eropa, angkanya hanya 69 persen. 

Laporan McKinsey berjudul Pelopor Pertumbuhan Konsumen di Asia itu juga menyoroti bagaimana lonely economy atau solo economy menimbulkan perubahan besar dalam pola konsumsi masyarakat.

Baca Juga: Prevalensi Stunting Lamban, Bonus Demografi 2045 Terancam Sia-sia

Riset McKinsey menyatakan, populasi yang menua di kawasan Asia Utara diperkirakan akan mendorong hampir dua pertiga dari pertumbuhan konsumsi.

Selain itu, diperkirakan pada tahun 2030, lebih dari 90 persen orang berusia di atas 60 tahun di Korsel dan Jepang akan banyak beraktivitas online.

Penelitian McKinsey tentang Generasi Z di Asia juga menemukan bahwa 20 hingga 30 persen dari generasi ini menghabiskan lebih dari enam jam sehari dengan ponsel mereka untuk mengonsumsi konten video.

Mereka sangat menginginkan pengalaman baru dan dua kali lebih mungkin dibandingkan Generasi X untuk membeli merek yang membedakan mereka.

Pemberdayaan ekonomi perempuan juga mengubah pola konsumsi. Jika digunakan secara maksimal, faktor yang satu ini dapat memberikan tambahan pertumbuhan konsumsi sebanyak seperlima di Asia.

Pada tahun 2018, penelitian McKinsey Global Institute menemukan bahwa memajukan kesetaraan perempuan di Asia-Pasifik dapat menambah 4,5 triliun dolar AS per tahun ke PDB kolektif.

Seperti diketahui, salah satu penyebab resesi seks adalah karena kaum perempuan yang ingin menuntut ilmu dan mengejar karir jumlahnya meningkat.

Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : KOMPAS TV


TERBARU