Ridwan Kamil: Pekerja Kena PHK Akibat Resesi 2023 Akan Dapat BLT
Ekonomi dan bisnis | 18 November 2022, 11:16 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil menyampaikan, warga Jabar yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan yang terdampak langsung resesi, akan mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT).
Resesi global diperkirakan akan terjadi pada 2023. Sektor usaha di Indonesia yang paling terdampak adalah bisnis yang berorientasi ekspor, seperti industri alas kaki dan garmen. Dua sektor padat karya itu banyak terdapat di Jawa Barat.
"Kepada yang terdampak langsung, kena PHK oleh perusahaan yang perdagangannya global karena pesanan turun, pabrik kurangi produksi. Nah, nanti ada Bantuan Langsung Tunai (BLT)," kata Ridwan Kamil seperti dikutip dari Antara, Jumat (18/11/2022).
Pria yang kerap disapa Kang Emil ini menjelaskan, saat resesi melanda global, pesanan barang akan menurun, sehingga pabrik mengurangi jumlah produksi yang dampaknya pada pengurangan karyawan.
"Yang terdampak biasanya yang berhubungan dengan padat karya, tekstil dan lainnya," ujar Kang Emil.
Baca Juga: Belum Lama IPO, GOTO Dikabarkan akan PHK 1.000 Karyawan
BLT akan dicairkan, saat ada pengumuman resmi kondisi kedaruratan. Pemprov Jabar sudah mengalokasikan untuk BLT ini dari anggaran Biaya Tak Terduga dan Dana Transfer Umum sebesar dua persen.
"BLT ini sesuai dengan kondisi saat ada pengumuman kondisi kedaruratan, anggarannya dari BTT (Biaya Tak Terduga) dan Dana Transfer Umum dua persen sudah dialokasikan," ujarnya.
Ia melanjutkan, Indonesia diprediksi akan terdampak resesi ekonomi di tahun 2023, akan tetapi tidak terlalu signifikan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap terjaga.
Menurutnya, mayoritas ekonom dunia yang dimintai pendapat menyatakan, Indonesia tak akan mengalami resesi terlalu besar. Negara-negara di zona Asia relatif lebih kecil terkena resesi dibandingkan dengan negara di luar zona Asia.
"Diprediksi tahun depan terjadi resesi, khsususnya negara di luar zona Asia. Zona Asia relatif tak akan terlalu terkena resesi. Dari 100 persen ekonom dunia yang dimintai pendapat pun 90 persennya menyatakan, Indonesia tak akan terdampak terlalu besar," ucapnya.
Baca Juga: 10.865 Orang di PHK Sepanjang 2022, Menaker: Kurangi Upah Manajer dan Direktur
Selain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih tumbuh positif, kesenjangan dengan angka inflasi pun tidak terlalu jauh. Artinya, kenaikan harga masih terkendali.
"Pertumbuhan ekonomi kita masih positif, gap dengan inflasi juga tidak terlalu jauh, artinya kenaikan harga masih terkendali," lanjutnya.
Begitu pula di Jabar, pertumbuhan ekonomi di kuartal III tahun ini hampir menyentuh 6 persen. Menurut Ridwan Kamil, meningkatnya inflasi lebih karena dipengaruhi oleh harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sedangkan harga sembako di pasar-pasar tradisional di Jabar masih terkendali.
"Jabar juga mewakili, kita tumbuh tertinggi di kuartal III hampir 6 persen pertumbuhan ekonominya. Inflasi tinggi lebih karena BBM, bukan sembako," katanya.
Sepanjang Januari-September 2022, ada lebih dari 10.000 pekerja yang terkena di PHK di seluruh Indonesia. Mayoritas PHK terjadi di sektor padat karya.
Baca Juga: Apindo DKI Ingin Kenaikan UMP 2023 Dihitung Berdasarkan Putusan PTTUN DKI yang Rp4,5 Juta
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, adanya PHK di Indonesia juga dibarengi dengan pembukaan industri baru yang serupa di tempat lainnya. Sehingga menurutnya, PHK yang terjadi karena relokasi bisnis pengusaha.
“Data kami menunjukkan bahwa betul terjadi penutupan di satu wilayah provinsi, tapi buka di provinsi lain. Judul di media ngeri-ngeri sedap, katanya terjadi PHK massal padahal yang tutup cuma dua perusahaan. Itu saya cek, dan itu cuma relokasi saja,” kata Bahlil di Nusa Dua, Bali, seperti dikutip dari Antara, Senin (14/11/2022).
Ia mengungkapkan, ada izin usaha di Jawa Tengah yang keluar di saat pabrik di Jawa Barat ditutup. Artinya, meski ada kemungkinan terjadi PHK di Jawa Barat, tetapi terjadi penciptaan lapangan kerja baru di Jawa Tengah.
Menurutnya, pabrik sepatu atau pakaian di Jawa Barat kemungkinan tutup karena biaya operasional yang tinggi akibat upah pekerja yang tinggi di wilayah tersebut.
Padahal, profit perusahaan tersebut sangat bergantung dari pendapatan. Sedangkan upah di Jateng memang lebih murah.
“Kalau capex (belanja modal) dia sudah tinggi di satu wilayah, dia akan mencari daerah lain yang capex-nya lebih rendah. Nah kebetulan di Jawa Tengah itu upaya tenaga kerja murah, operasional murah. Harga nasi pecel di Jateng dan Jabar beda, tenaga kerja beda, sewa beda, jadi mereka tutup sebagian di Jabar tapi mereka bangun di Jateng,” tutur Bahlil.
Baca Juga: Waspada! Bukan Cuma Industri Garmen, Ekonom Sebut PHK juga Ancam 5 Sektor Ini
Namun, ia juga mengakui masih harus memeriksa dan mencocokkan data dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terkait isu tersebut.
Tapi selama relokasi bisnis masih dilakukan di dalam negeri seharusnya bukan masalah besar. Ia menilai hal tersebut wajar di industri padat karya.
“Bagi saya selama mereka di RI, oke-oke saja. Yang kita khawatir itu tutup di Jabar, pindah ke negara lain,” ucap mantan Ketua HIPMI itu.
“Terjadi penurunan, yes, tapi ada juga yang baru masuk. Jadi ya biasalah. Orang di padat karya begitu semua, mencari suasana baru," katanya.
Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Antara