Ancaman Resesi Global 2023, Ekonom: Tetap Konsumsi dan Belanja Seperti Biasa
Ekonomi dan bisnis | 7 Oktober 2022, 13:06 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Tahun 2023 bisa dipastikan akan terjadi resesi di banyak negara dunia. Penyebabnya, kondisi yang belum pulih dari pandemi, sudah dihantam krisis pangan dan krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina.
Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para menterinya menyebut Indonesia tidak akan terlalu terdampak, karena kondisi perekonomian Indonesia mulai membaik. Apakah benar rakyat Indonesia tidak perlu khawatir dengan ancaman resesi global yang di depan mata?
Co founder dan Direktur Eksekutif Segara Institut Piter Abdullah menilai, masyarakat Indonesia bisa tetap melakukan konsumsi dan berbelanja seperti biasa. Seperti pemerintah, Piter juga yakin kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan tahun depan masih baik.
"Biasa saja, konsumsi seperti biasa. Kalau masyarakat berpikir jangan belanja, pegang uang tunai saja, kalau kita tidak bergerak, nanti kejadian resesi beneran," kata Piter saat diwawancara Kompas TV, Jumat (7/10/2022).
Baca Juga: Sri Mulyani Nilai Inggris Krisis Karena Kebijakan Ekonomi Negara Itu Sendiri
Piter menjelaskan, Indonesia bisa tidak terdampak resesi global karena ekonominya tidak ditopang oleh ekspor, tapi oleh konsumsi masyarakat di dalam negeri. Kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya sekitar 10 persen. Sedangkan konsumsi mencapai 60 persen dan investasi sebesar 20 persen.
Sehingga jika ada resesi dunia yang menyebabkan permintaan ekspor melemah, tidak akan terlalu mempengaruhi ekonomi RI. Menurut Piter, Indonesia saat ini justru sedang dalam masa euforia setelah pandemi mereda.
"Lihat saja banyak yang mulai belanja, mulai kembali ke mall, konsumsi kita naik," ujat Piter.
Ia kemudian menyebut Indeks keyakinan konsumen terbaru yang skornya berada di atas 100 dan indeks manufaktur (PMI) yang skornya berada di atas 50. Dua indeks itu bisa dibilang sebagai indikator geliat ekonomi Indonesia.
Baca Juga: Bos OJK: Resesi Bisa Saja Lebih Cepat Sebelum 2023, Tapi Belum Bisa Diukur Seberapa Berat
"Skornya semua naik. Artinya mobilitas masyarakat mulai pulih karena tidak ada ketakutan akan pandemi lagi," ucapnya.
Penulis pun menyodorkan fakta saat ini harga-harga bahan pangan masih tinggi. Lalu produsen tempe yang mengecilkan ukuran produknya, padahal tempe adalah makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Kemudian riset terbaru konsultan properti Colliers yang mengungkap penjualan properti tahun ini, anjlok dibanding tahun lalu.
Piter lalu menjawab jika kenaikan harga bukan terjadi saat ini saja, saat ada ancaman resesi global. Ia mengatakan jika kenaikan harga pangan sudah terjadi sejak tahun lalu dan banyak di antaranya yang sudah menurun. Misalnya harga telur ayam.
Kemudian untuk ukuran tempe yang kian mengecil, ia menilai itu karena mahalnya harga kedelai impor. Masalahnya terletak pada Indonesia yang tidak bisa menghidupkan pertanian kedelai dalam negeri, sehingga terus bergantung pada impor.
Baca Juga: Kurangi Ukuran Tahu Tempe Bukan Solusi, Pengrajin Mengeluh Omset Turun
Bahkan kenaikan harga BBM, lanjut Piter, tidak serta merta membuat inflasi meroket seperti yang ditakutkan sebelumnya.
"Kenaikan harga itu karena gejolak dinamika pasar. BBM naik tadinya inflasi diperkirakan tinggi banget, tapi ternyata masih aman. Tadinya diperkirakan tembus 8 persen, tapi ternyata hanya 5,9 persen," tutur Piter.
"Dampak kenaikan BBM itu hanya di awal terasa besar sebelum pengumuman, lalu di beberapa minggu di awal juga terasa tapi makin lama makin menurun dampaknya (terhadap kenaikan harga)," ujarnya.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data inflasi September 2022. Hasilnya, indeks harga konsumen (IHK) pada bulan September 2022 mencatatkan inflasi sebesar 5,95 persen, dibanding September 2021. Sedangkan untuk bulan September, inflasi nya tercatat 1,17 persen. Angka itu merupakan yang tertinggi sejak tahun 2014.
Baca Juga: Jokowi: Perang Rusia-Ukraina akan Lama, 19.600 Orang Mati Kelaparan Setiap Hari
Kemudian untuk inflasi tahun kalender, yakni September 2022 dibanding Desember 2021 tercatat sebesar 4,84 persen.
"Jika ada kenaikan harga, yang paling terdampak itu memang masyarakat golongan bawah. Tapi tingkat konsumsi yang dihitung itu bukan dari belanja tempe, melainkan dari belanja barang-barang yang mahal dan mewah. Itu perhitungan BPS," jelas Piter.
"Jadi bukan ditentukan oleh konsumsi tempe, tapi konsumsi barang mewah," ujarnya.
Ia kemudian mencontohkan, saat pandemi tingkat konsumsi Indonesia negatif. Indonesia juga pernah mengalami resesi teknikal pada tahun 2020, yaitu saat pertumbuhan ekonomi di kuartal II dan kuartal III negatif berturut-turut.
"Padahal saat itu kita tetap makan kan, tetap beli tempe dan tahu kan. Nah kenapa konsumsi disebut negatif? Karena kelompok menengah atas tidak belanja, tidak liburan," sebutnya.
Baca Juga: Beda dari Resesi Ekonomi, RI Pernah Alami Krisis Ekonomi Parah pada 1998
Piter tidak memungkiri memang ada pelemahan di sektor properti. Namun menurutnya itu pelemahan sektoral, karena sektor properti sudah melemah sejak pandemi melanda.
"Orang beli apartemen itu rata-rata buat investasi, buat di sewain. Lah kalau masyarakat nya pas pandemi tidak bekerja dari kantor, siapa yang mau tinggal di apartemen?" katanya.
Piter mengatakan, bukan hanya tahun ini dan tahun depan ada resesi global. Pada 2008 Amerika krisis keuangan, 2011-2012 giliran Eropa yang krisis, namun nyatanya Indonesia tidak terdampak saat itu.
Apalagi selama pandemi kemarin, ekonomi Indonesia berhasil bertahan dan tidak seburuk negara lainnya. Sehingga saat perang Rusia-Ukraina terjadi dengan segala dampaknya, Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi seperti Sri Lanka dan Inggris.
Sebelumnya, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menjelaskan, pola pemulihan ekonomi Indonesia juga berbeda dengan negara lainnya. Amerika Serikat misalnya.
Baca Juga: Krisis Inggris Memilukan, Anak Sekolah Pura-Pura Makan dari Kotak Kosong Karena Tak Mampu Beli Bekal
Sehingga walaupun ada kenaikan suku bunga acuan yang berdampak pada naiknya bunga kredit bank, orang tetap mencari pinjaman ke bank.
Eko menyatakan ekonomi Indonesia saat ini tengah mendapat momentum untuk tumbuh. Penyebab utamanya adalah peralihan pandemi Covid-19 menjadi endemi. Sehingga aktivitas ekonomi di seluruh wilayah dan sektor kian bergeliat.
Hal itu juga terlihat dari penyaluran kredit perbankan yang masih tumbuh di atas 10 persen.
"Orang usaha itu, nyari modal, faktor utamanya bukan bunganya tinggi terus dia enggak jadi pinjam. Buat mereka enggak apa-apa bunga tinggi yang penting ekonomi jalan," kata Eko saat dihubungi Kompas TV beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Bujet Bulanan Menipis karena Harga-harga Naik, Ini Daftar Investasi dengan Modal Kecil
Jika ekonomi bergerak, pengusaha akan dapat pemasukan banyak untuk menjalankan bisnisnya, membayar cicilan ke bank, namun tetap mendapat keuntungan.
Ia menambahkan, tingkat inflasi di Indonesia juga tidak setinggi di Amerika Serikat yang lebih dari 8 persen.
"Selama para pencari kredit masih banyak, dampak kenaikan suku bunga acuan tidak akan terlalu terasa," ujarnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti
Sumber :