> >

Rupiah di Level Rp15.300 Lagi, Barang Impor Akan Makin Mahal

Ekonomi dan bisnis | 4 Oktober 2022, 13:27 WIB
Petugas menghitung uang dolar AS di BNI KC Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (21/7/2022). (Sumber: Kompas.tv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Nilai tukar rupiah kembali menembus level Rp15.300 pada perdagangan siang ini, Selasa (4/10/2022). Padahal pada pembukaan perdagangan pagi tadi, nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta sempat menguat 15 poin atau 0,1 persen ke posisi Rp15.288 per dolar AS .

Pada penutupan perdagangan Senin (3/10), rupiah berada di posisi Rp15.303 per dolar AS.

"Sentimen yang mempengaruhi pergerakan rupiah adalah mulai melandainya nilai dolar AS. USD Index saat ini berada di kisaran 111, setelah sebelumnya mencapai nilai 114," kata analis Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Revandra Aritama, seperti dikutip Antara.

Selain itu, lanjut Revandra, penguatan bursa saham Wall Street memberikan tekanan kepada dolar AS, sehingga rupiah bisa sedikit menguat.

Meskipun begitu, Revandra menilai pelaku pasar tetap harus mencermati kondisi lokal. Inflasi Indonesia pada September 2022 yang diumumkan kemarin mencapai 5,95 persen (yoy).

Baca Juga: Harga Pertamax Turun Jadi Rp13.900 Per Liter dan Sesuai Harga Keekonomian, Pertalite Kapan Turun?

"Secara bulanan, inflasi naik lebih dari 1 persen, terimbas dari kenaikan harga BBM. Tingginya nilai inflasi ini dapat memberikan pengaruh pada pergerakan nilai rupiah," ujar Revandra.

Revandra memperkirakan hari ini rupiah akan bergerak di kisaran level Rp15.250 per dolar AS hingga Rp15.350 per dolar AS.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk segera mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah. Lantaran pelemahan nilai tukar akan membuat barang-barang impor menjadi lebih mahal.

"Baik biaya bahan baku maupun juga barang jadi atau barang konsumsi itu akan mengalami kenaikan. Kemudian spesifik lagi adalah bahan pangan karena pangan ini merupakan yang paling fundamental," ujar Bhima kepada Kompas TV beberapa waktu lalu.

Baca Juga: BSU Tahap 4 Cair! Ini Cara Cek Penerima dan Link Pencairan untuk Pekerja Rekening Bank Swasta

"Dimana sebagian ketergantungan impor pangan Indonesia cukup besar. Gula, garam, bawang putih kedelai, gandum, ini yang mengalami kenaikan dan bisa memicu terjadinya imported inflation atau inflasi karena biaya impor menjadi lebih mahal," sambungnya.

Ia menambahkan, hal di atas tentu akan menekan daya beli masyarakat dan membuat prospek pemulihan ekonomi menjadi terganggu.

Yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan bank Sentral, lanjut Bhima, adalah menarik devisa hasil ekspor yang semenjak satu semester terakhir ditopang oleh batubara-sawit yang harganya cukup baik.

"Nah kita tidak menginginkan devisa hasil ekspor ini disimpan di perbankan luar negeri. Kita ingin ditarik pulang dengan berbagai jalan baik insentif maupun kebijakan yang mungkin lebih represif sehingga suplai dari valas di dalam negeri pun juga meningkat," tuturnya.

Baca Juga: Warga RI Gandrungi Sepak Bola, Jadi Incaran Sponsor dengan Nilai Ekonomi Rp3 T Per Tahun

Selanjutnya, pemerintah harus memperkuat fundamental perekonomian yang ditopang oleh UMKM dan industri pengolahan. Pasalnya, UMKM adalah salah satu penyerap tenaga kerja yang cukup besar.

Sehingga ketika terjadi pelemahan nilai tukar, UMKM yang menjadi penopang dari bahan baku dalam negeri kemudian pasarnya juga adalah pasar lokal ini bisa menahan guncangan dari eksternal.

Berikutnya adalah kebijakan suku bunga. Bhima setuju suku bunga memang harus dinaikkan tapi harus ada insentif juga ke sektor properti dan sektor otomotif yang terdampak dari naiknya tingkat suku bunga.

"Karena suku bunga yang naik artinya bunga KPR juga meningkat, masyarakat mungkin akan mengurangi pembelian dari properti. Ini harus dipikirkan akses akses negatifnya," terang Bhima.

Baca Juga: Program Kartu Prakerja Lanjut di 2023, Jumlah Bantuannya Naik Jadi Rp4,2 Juta

Kemudian soal pangan, harus dipastikan bagaimana menjaga produksi pangan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan.

Pemerintah juga harus bisa mencari substitusi pangan. Misalnya gandum dengan mokas dan sorgum di Indonesia bagian timur.

"Sehingga kita tidak terlalu bergantung pada fluktuasi nilai tukar yang mempengaruhi stabilitas harga pangan," tandas dia.
 

Penulis : Dina Karina Editor : Purwanto

Sumber : KompasTV


TERBARU