Akankah Stagflasi yang pernah Terjadi Tahun 1970-an Bisa Terulang Tahun Ini?
Ekonomi dan bisnis | 1 Oktober 2022, 13:21 WIBSOLO, KOMPAS.TV – Banyak yang memperkirakan ada perlambatan ekonomi global di tahun depan, dan memperkirakan ekonomi dunia terpeleset ke jurang resesi.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun mengakui, pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan bakal makin menantang.
Perkembangan yang dinamis bahkan terlihat di negara-negara adidaya, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China, yang ini memengaruhi seluruh dunia.
"Negara-negara terbesar dunia dalam suasana dan proses penyesuaian yang tidak mudah. Ini akan memberi dampak ke seluruh dunia, dan mungkin memberi dampak pada Indonesia," jelasnya saat menemui awak media, Kamis (29/9/2022) di Jakarta Pusat.
Namun, ditegaskannya, Indonesia akan memasang kuda-kuda yang kuat. Bahkan, ini sudah diantisipasi sejak tahun 2022, terutama untuk semester II-2022.
Baca Juga: Yuk, Waspadai Dampaknya Jika Resesi Terjadi di Indonesia
Dalam hal ini, pemerintah berupaya menjaga konsumsi rumah tangga, pertumbuhan dunia usaha, dan stabilitas harga.
"Kami akan menjaga permintaan dalam negeri, konsumsi dijaga hati-hati, meningkatkan kredit dunia usaha, menciptakan lapangan kerja dan menambah pendaptaan dan daya beli masyarakat, pun akan menjaga tingkat inflasi," tuturnya.
Adapun, pada 2022, Bank Dunia memperingatkan bahwa, sebagai buntut pemulihan dari pandemi Covid-19 yang dijegal dampak perang Rusia-Ukraina, karantina ketat di China, dan disrupsi rantai pasokan, ekonomi global terancam menghadapi stagflasi lagi pada tahun ini.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global yang dirilis pada Juni 2022, Bank Dunia memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global tahun ini.
“Kejutan-kejutan merugikan yang lain akan meningkatkan kemungkinan bahwa ekonomi global mengalami periode stagflasi seperti pada 1970-an,” demikian tulis Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global versi Juni 2022.
Baca Juga: Kenali Krisis Ekonomi dan Resesi, Perbedaan dan Kemungkinan Dampaknya
Sejarah stagflasi yang pernah terjadi
Menyinggung soal stagflasi, hal ini pernah terjadi pada tahun 1970-an. Istilah stagflasi ini tidak memiliki definisi formal atau batasan statistis yang jelas. Para ekonom pun punya definisi yang sedikit bervariasi.
Namun, proyeksi ekonomi global Bank Dunia yang semakin suram dan faktor-faktor lain membuat isu stagflasi semakin santer dibicarakan.
Sekitar 50 tahun lalu, kalangan ekonom menganggap fenomena stagflasi sebagai sesuatu yang hampir tidak mungkin. Ekonom masih mengamini teori Kurva Phillips yang dicetuskan A.W.H. “Bill” Phillips (1914-1975), ekonom asal Selandia Baru.
Teori Phillips mengklaim bahwa inflasi dan tingkat pengangguran bergerak ke arah berlawanan, tidak bisa sama-sama memburuk. Wiseman mengumpamakan teori Phillips sebagai berikut:
Jika ekonomi lemah dan banyak pengangguran, bisnis akan kesulitan meningkatkan harga-harga karena tidak akan ada yang mampu membelinya. Demikian, angka inflasi akan tetap rendah.
Di lain sisi, jika ekonomi cukup bergairah untuk mengakomodasi kenaikan harga-harga, maka tingkat pengangguran yang berpengaruh ke daya beli konsumen seharusnya tetap rendah.
Akan tetapi, realitas ekonomi ternyata tidak demikian. Hal yang mengacaukan teori Phillips adalah disrupsi mendadak pada rantai pasokan.
Misalnya, kenaikan tiba-tiba harga-harga material mentah yang memicu inflasi dan melemahkan daya beli konsumen untuk menggerakkan ekonomi.
Hal itulah yang terjadi pada 1970-an. Berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.
Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo AS dan negara lain yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur pada 1973.
Embargo itu memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS, pada 1974-1982, inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5 persen.Ini kemudian merembet ke negara-negara lain yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun.
Baca Juga: Ekonomi Dunia Alami Resesi, Bagaimana Kondisi Indonesia Saat Ini?
Pasalnya, bank sentral perlu mengatasi stagflasi dengan menaikkan suku bunga cukup tinggi hingga menyebabkan resesi.
“Pemulihan stagflasi pada 1970-an memerlukan penaikkan suku bunga yang cukup tajam di negara-negara berekonomi maju, yang mana memainkan peran menonjol dalam memicu serangkaian krisis finansial di negara-negara berkembang dan emerging market,” demikian tulis laporan Bank Dunia.
Lebih lanjut, Bank Dunia merekomendasikan kepada pemangku kebijakan agar tidak membuat kebijakan yang "mengganggu" seperti kontrol harga, subsidi, dan larangan ekspor.
Kebijakan-kebijakan itu disebut dapat memperburuk meroketnya harga-harga komoditas belakangan ini.
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV/Berbagai sumber