Sri Mulyani Nilai Inggris Krisis Karena Kebijakan Ekonomi Negara Itu Sendiri
Ekonomi dan bisnis | 30 September 2022, 09:02 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, Indonesia masih kuat dalam menghadapi gejolak global. Namun pemerintah tetap mewaspadai kondisi global yang dapat menjadi sentimen negatif terhadap perekonomian Indonesia, termasuk krisis yang terjadi di Inggris.
Sri Mulyani menjelaskan, krisis ekonomi yang dialami Inggris disebabkan oleh kebijakan fiskal negara itu sendiri. Beberapa hari Menkeu Inggris mengumumkan rencana memangkas pajak dan memberikan insentif investasi bagi dunia usaha.
Padahal saat ini Bank Sentral Inggris juga menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan yang berfokus pada pertumbuhan itulah yang membuat nilai tukar poundsterling anjlok.
Hal itu juga menyebabkan pelaku pasar khawatir utang Inggris akan kembali meningkat. Di mana saat ini rasio utangnya sudah lebih 100 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
"Itu lebih spesifik karena policy mereka sendiri, tetapi juga bisa mempengaruhi sentimen karena kejadiannya berurutan pada saat Federal Reserve di AS menaikkan (suku bunga) 75 basis poin. Jadi itu menimbulkan kombinasi dua sentimen yang men-drive selama seminggu ini," kata Sri Mulyani seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (29/9/2022).
Baca Juga: Krisis Inggris Memilukan, Anak Sekolah Pura-Pura Makan dari Kotak Kosong Karena Tak Mampu Beli Bekal
Hal serupa juga terjadi di negara-negara lainnya. Sri Mulyani mengatakan, kondisi perekonomian suatu Negara pasti disebabkan oleh kebijakan otoritas negara tersebut. Walaupun, kondisi ekonomi internal suatu Negara akhirnya juga sentimen kepada perekonomian global.
Oleh karena itu, pemerintah akan terus memperhatikan dinamika yang terjadi.
"Setiap negara punya situasi khusus masing-masing. Kalau kita lihat apa yang terjadi di Inggris itu tentu pertama akan menimbulkan sentimen kepada seluruh dunia," ujarnya.
Optimisme Sri Mulyani terhadap ketahanan ekonomi Indonesia karena melihat beberapa indikator. Seperti pertumbuhan ekonomi yang terjaga positif, pada kuartal I-2022 tercatat tumbuh 5,01 persen, berlanjut di kuartal II-2022 tumbuh di 5,44 persen.
Pemerintah juga yakin pemulihan berlanjut di kuartal III-2022 dengan mampu tumbuh di kisaran 5,6 persen-6 persen yang ditopang oleh kinerja ekspor, konsumsi, dan investasi. Oleh sebab itu, perekonomian Indonesia dalam posisi yang relatif jauh lebih baik.
Baca Juga: Biaya Hidup Kian Naik, Warga Inggris Pilih Berjudi dan Investasi Kripto
"Penerimaan negara yang kuat, belanja yang tetap bisa kita jaga secara hati-hati, sehingga issuance atau penerbitan dari surat berharga kita jauh lebih rendah 40 persen, menurun sangat tajam. Ini juga menempatkan kita dalam posisi tidak terlalu vulnerable (rentan) terhadap gejolak yang diakibatkan berbagai sentimen tadi," papar Sri Mulyani.
APBN yang kuat, lanjut Sri Mulyani, juga mampu menjadi peredam atau shock absorber, bukan menjadi menjadi sumber masalah baru atau shock producer. Maka dari itu, pemerintah perlu mengelola APBN dengan sangat hati-hati, fleksibel, dan akuntabel.
"APBN kalau tidak kuat, tidak akan mungkin melakukan fungsi sebagai shock absorber, bahkan bisa jadi shock producer. Nilai tukar (poundsterling) yang jatuh sampai 20 persen, itu adalah karena APBN-nya (Inggris) menjadi shock producer," pungkasnya.
Di sisi lain, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk segera melakukan langkah antisipasi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah.
Lantaran pelemahan nilai tukar akan membuat barang-barang impor menjadi lebih mahal.
"Baik biaya bahan baku maupun juga barang jadi atau barang konsumsi itu akan mengalami kenaikan. Kemudian spesifik lagi adalah bahan pangan karena pangan ini merupakan yang paling fundamental," ujar Bhima kepada Reporter Kompas TV Cindy Permadi, Kamis (29/9/2022).
Baca Juga: Harga Pangan Melonjak di Inggris akibat Perang Rusia-Ukraina hingga Larangan Ekspor CPO RI
"Dimana sebagian ketergantungan impor pangan Indonesia cukup besar. Gula, garam, bawang putih kedelai, gandum, ini yang mengalami kenaikan dan bisa memicu terjadinya imported inflation atau inflasi karena biaya impor menjadi lebih mahal," sambungnya.
Ia menambahkan, hal di atas tentu akan menekan daya beli masyarakat dan membuat prospek pemulihan ekonomi menjadi terganggu.
Yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan bank Sentral, lanjut Bhima, adalah menarik devisa hasil ekspor yang semenjak satu semester terakhir ditopang oleh batubara-sawit yang harganya cukup baik.
"Nah kita tidak menginginkan devisa hasil ekspor ini disimpan di perbankan luar negeri. Kita ingin ditarik pulang dengan berbagai jalan baik insentif maupun kebijakan yang mungkin lebih represif sehingga suplai dari valas di dalam negeri pun juga meningkat," tuturnya.
Selanjutnya, pemerintah harus memperkuat fundamental perekonomian yang ditopang oleh UMKM dan industri pengolahan. Pasalnya, UMKM adalah salah satu penyerap tenaga kerja yang cukup besar.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut APBN Jadi Alat Turunkan Kemiskinan, Targetnya 8,5 Persen di 2023
Sehingga ketika terjadi pelemahan nilai tukar, UMKM yang menjadi penopang dari bahan baku dalam negeri kemudian pasarnya juga adalah pasar lokal ini bisa menahan guncangan dari eksternal.
Berikutnya adalah kebijakan suku bunga. Bhima setuju suku bunga memang harus dinaikkan tapi harus ada insentif juga ke sektor properti dan sektor otomotif yang terdampak dari naiknya tingkat suku bunga.
"Karena suku bunga yang naik artinya bunga KPR juga meningkat, masyarakat mungkin akan mengurangi pembelian dari properti. Ini harus dipikirkan akses akses negatifnya," terang Bhima.
Kemudian soal pangan, harus dipastikan bagaimana menjaga produksi pangan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
Pemerintah juga harus bisa mencari substitusi pangan. Misalnya gandum dengan mokas dan sorgum di Indonesia bagian timur.
"Sehingga kita tidak terlalu bergantung pada fluktuasi nilai tukar yang mempengaruhi stabilitas harga pangan," tandasnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber :