Lesunya Permintaan Global Jadi Tantangan Besar Soal Ekspor CPO Indonesia
Ekonomi dan bisnis | 27 Juli 2022, 10:33 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Percepatan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Satu di antaranya masih lesunya permintaah CPO global.
Mengingat, ekspor CPO tersebut sangat penting untuk bisa mengosongkan tangki-tangki CPO yang saat ini penuh. Dengan adanya pengosongan, tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani bisa terserap sehingga harganya bisa membaik.
Melansir dari Kompas.id, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono pada Selasa (26/7/2022) mengatakan, permintaan CPO Indonesia memang agak melambat.
Hal itu merupakan dampak dari kebijakan larangan ekspor CPO di Indonesia. Selama pelarangan tersebut sejumlah negara mencari pengganti dengan membeli CPO dari Malaysia. India contohnya, mereka bahkan menambah impor minyak nabati lain, yakni minyak kedelai dan biji bunga matahari.
Faktor lain penyebab perlambatan permintaan itu adalah penguncian wilayah di sejumlah negara, terutama China dalam mengendalikan pandemi Covid-19.
India dan China merupakan pembeli CPO terbesar.
Per Mei 2022, India hanya mengimpor 514.022 ton CPO, turun 10 persen dibandingkan April 2022. India bahkan telah menambah impor minyak kedelai 37 persen menjadi 373.043 ton dan minyak biji bunga matahari lebih dari dua kali lipat menjadi 118.482 ton.
Sementara, impor CPO yang dilakukan China juga turun sekitar 24 persen pada periode Januari-Juni 2022. Hingga kini, China juga masih mengunci sejumlah wilayah untuk merealisasikan target nol kasus Covid-19.
Baca Juga: Merespon Anjloknya Harga Sawit, Pemerintah Upayakan Percepat Ekspor CPO
"Harga CPO global juga turun cukup signifikan, yakni 1.200 dollar AS per ton di bursa Rotterdam. Dengan kondisi ekonomi dunia yang kurang baik, dikhawatirkan harga minyak nabati dunia juga kurang baik. Hal ini juga akan berimbas kepada harga CPO dunia,” tutur Eddy.
Eddy pun menyebut, kondisi pasar dan harga CPO tersebut menempatkan ekspor CPO Indonesia dalam posisi dilematis.
Jika ekspor terus didorong, harga CPO global akan tertekan dan serapan pasar masih lambat, tetapi TBS petani bisa terserap. Namun, jika ekspor kurang optimal, tangki-tangki CPO bakal lambat kosong serta memperlambat serapan dan kenaikan harga TBS.
"Sekarang pilihannya apakah membiarkan tangki-tangki tetap penuh atau mendorong ekspor walaupun harga akan turun, tetapi nanti akan terbentuk harga keseimbangan baru. Posisi pasar yang lesu saat ini hanya sementara, ” terangnya.
Eddy melanjutkan, jika tetap mempertahankan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO), pemerintah diharapkan memperbesar rasio ekspor terhadap DMO. Program biodiesel dari 30 persen (B30) menjadi 35 persen (B35) baru bisa menyerap CPO sekitar 1,5 juta ton setahun.
Saat ini, pemerintah masih memberlakukan kebijakan DMO CPO dan sejumlah produk turunannya.
Pemerintah juga masih memberikan insentif ekspor CPO sebesar tujuh kali lipat dari pemenuhan DMO atau 1:7 bagi masing-masing perusahaan. Pemerintah berencana menaikkan insentif itu menjadi 8,4 kali lipat dari pemenuhan DMO (1:8,4).
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI), stok akhir minyak sawit pada Januari-Mei 2021 mencapai 3,07 juta ton. Sementara pada Januari-Mei 2022 jumlahnya melonjak menjadi 7,23 juta ton.
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas.id