> >

Ekonom Sebut Negara G20 Perlu Buka Diri untuk Kerja Sama Pangan Terutama dengan Negara Miskin

Ekonomi dan bisnis | 29 Juni 2022, 22:31 WIB
Seorang pekerja menyegel karung berisi gandum di Gurdaspur, di negara bagian Punjab, India utara, 30 April 2014. India hari Jumat, (13/5/2022) mengeluarkan kebijakan pelarangan total ekspor gandum yang berlaku saat ini juga, dengan alasan risiko terhadap ketahanan pangannya, sebagian karena perang di Ukraina. (Sumber: AP Photo/Channi Anand, File)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Negara-negara  anggota G20 dinilai perlu bersepakat untuk tidak menerapkan kebijakan proteksi komoditas pangan untuk mengatasi krisis pangan global makin parah.

Hal itu diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara pada Rabu (29/6/2022), dilansir dari Antara.

Selain itu, menurutnya, negara G20 perlu membuka diri bagi kerja sama pangan terutama dengan negara miskin.

“Serta, segera melakukan realisasi pendanaan pada peningkatan produksi pangan dengan pemberian subsidi pupuk, pendampingan petani, dan menjaga harga jual panen tetap stabil, juga meningkatkan penyaluran pinjaman ke sektor pertanian khususnya petani dengan luas lahan di bawah dua hektare,” tutur Bhima.

Baca Juga: Ekonom Sebut Masyarakat Tidak Perlu Khawatir Pengawasan Impor oleh Satgas Pangan, Ini Sebabnya

Mengingat, terdapat beberapa penyebab krisis pangan global saat ini, antara lain disrupsi rantai pasok karena perang di Ukraina, proteksionisme (paham bahwa ekonomi dalam negeri harus dilindungi pemerintah terhadap persaingan dari luar negeri) dagang negara penghasil pangan, cuaca ekstrem, dan kenaikan konsumsi pasca pandemi Covid-19.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam Konferensi Tingkat-Tinggi (KTT) G7 menyerukan agar negara-negara G7 dan G20 bersama-sama mengatasi krisis pangan yang mengancam 323 juta orang, terutama di negara berkembang.

Baca Juga: 323 Juta Orang Terancam, Jokowi Serukan Negara G7 dan G20 Atasi Kerawanan Pangan Akut

Melalui Presidensi G20 itu, Bhima berpendapat, Indonesia dapat melakukan negosiasi ke Presiden Putin agar jalur gandum dari Ukraina tetap dapat berjalan normal.

“Kemudian sebisa mungkin melalui pendekatan lobi ekonomi diyakinkan ke Rusia bahwa melanjutkan eskalasi militer hanya berdampak buruk bagi pemulihan ekonomi global, meningkatkan kemiskinan serta stagflasi. Krisis pangan bisa merugikan Indonesia dan Rusia sendiri yang sama sama negara G20,” jelasnya.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV, Antara


TERBARU