HIPPI Sebut Cuti Melahirkan Enam Bulan Bikin Pengusaha Pilih Pekerja Kontrak
Kebijakan | 24 Juni 2022, 15:28 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta meminta pemerintah dan DPR mengkaji kembali rencana penerapan cuti melahirkan enam bulan.
Seperti diberitakan, pemerintah dan DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Salah satu poin pembahasannya adalah perpanjangan masa cuti melahirkan menjadi enam bulan.
Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, selain memperhatikan kondisi ibu melahirkan, pemerintah juga perlu memperhatikan kondisi pengusaha.
"Pelaku usaha berharap agar pemerintah dan DPR melakukan kajian dan evaluasi yang mendalam dan komprehensif sebelum menetapkan UU tersebut karena menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha," kata Sarman dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (24/6/2022).
Baca Juga: RUU KIA: Suami Berhak Cuti Dampingi Istri Melahirkan 40 Hari, Jika Keguguran 7 Hari
Ia menjelaskan, aspek-aspek apa saja yang perlu dikaji sebelum meresmikan aturan itu.
Pertama, jika aturan cuti ini diganti, dapat berpeluang mendorong pengusaha untuk menyiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak. Lantaran pengusaha harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil tersebut.
Kedua, kebijakan cuti ini dapat berpotensi menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang saat ini sudah jauh tertinggal.
Sarman mengutip data dari Asian Productivity Organization (APO) 2020 yang menunjukkan, posisi produktivitas per pekerja Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.
Baca Juga: DPR akan Lanjutkan Bahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, 6 Bulan Cuti Melahirkan hingga Penggajian
Bahkan posisi Indonesia berada di bawah rata-rata tingkat produktivitas tenaga kerja enam negara anggota ASEAN dan peringkat dunia, yaitu Indonesia berada diurutan 107 dari 185 negara.
Ketiga, kata Sarman, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak aturan ini jika diterapkan kepada pelaku usaha UMKM yang berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM berjumlah 64,2 juta di 2018.
Berdasarkan data Kementerian KUKM 2019, tenaga kerja UKM setara dengan 96,92 persen dari total tenaga kerja di Indonesia, yaitu sebanyak 119,6 juta orang.
"Pelaku UMKM memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang. Bisa dibayangkan jika pekerja wanitanya cuti selama 6 bulan dan harus mengeluarkan gaji selama cuti tersebut apakah dari sisi finansial UMKM tersebut memiliki kemampuan?" tutur Sarman.
Ia menilai bisa saja hak cuti melahirkan 6 bulan dan cuti suami 40 hari diterapkan, tapi untuk instansi pemerintahan dan usaha kelas menengah ke atas.
Namun, menurutb dia, bagi kalangan pelaku usaha UMKM harus ada kebijakan khusus sehingga kebijakan ini nantinya dapat diterima pelaku usaha.
Baca Juga: Negara-Negara Ini Beri Cuti Panjang untuk Melahirkan dan Merawat Anak
"Perlu suatu kajian yang mendalam apakah harus 6 bulan atau cukup 4 bulan misalnya. Kemudian apakah cuti suami 40 hari juga menjadi keharusan," ujar Sarman.
Di sisi lain, Sarman tak memungkiri jika kebijakan itu dibuat untuk kesehatan ibu dan bayinya.
Ia pun meminta pemerintah dan DPR juga melibatkan pengusaha dalam pembahasan RUU KIA. Sehingga, aturan yang dihasilkan lebih tepat sasaran dan tetap produktif.
Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : KOMPAS TV