Ketua Kadin DKI Jakarta Ungkap Penyebab Belum Banyak Pelaku Usaha Ikuti Tax Amnesty Jilid 2
Kompas bisnis | 1 Juni 2022, 00:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengakui, banyak pelaku usaha yang belum bisa mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II.
Menurutnya, saat ini perekonomian di Indonesia dan dunia masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan karena pandemi dan politik global.
“Kondisi ini menyebabkan belum adanya penambahan aset yang signifikan dari banyaknya pengusaha yang belum bisa melapokan hal ini (PPS),” jelasnya dalam Business Talk Kompas TV, Selasa malam (31/5/2022).
“Kami dari Kadin sudah beberapa kali melakukan sosialisasi pada teman-teman, untuk semaksimal mungkin mengikuti program pengungkapan sukarela.”
Dia menyebut, pandemi Covid-19 yang mulai pada tahun 2020 menyebabkan kondisi para pelaku usaha kolaps.
Baca Juga: 55 Ribu Wajib Pajak Ikuti Program PPS, Satfsus Menkeu Optimistis Meningkat Sebulan Terakhir
Hal itu menjadi salah satu penyebab belum banyaknya pelaku usaha yang mengikuti PPS tersebut.
“Kalau optimis, kami sangat optimis dan berharap sekali, karena masih ada satu bulan ya. Di akhir pelaporan akan ada peningkatan yang signifikan.”
“Saya sangat optimistis, kalau biasanya orang Indonesia itu kalau sudah saat terakhir-terakhir baru mulai sadar dan ingat. Jadi saya yakini persentasenya akan lebih besar dalam satu bulan ini,” imbuhnya.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengakui bahwa dari sisi statistik, ada perbedaan antara capaian Tax Amnesty 2016 dengan Program Pengungkapan Sukarela yang dilaksanakan tahun ini.
Salah satu penyebabnya, kata Yustinus, banyak dari wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty pada tahun 2016 lalu.
Selain itu, tarif yang dikenakan pada tax amnesty jilid pertama hanya sekitar dua persen.
“Kami meyakini memang sudah cukup banyak wajib pajak ikut tax amnesty pertama sejak kurang lebih 25 tahun terakhir, dan tarifnya lebih rendah waktu itu, sekitar 2 persen,” jelasnya.
“Kalau ini memang tarifnya lebih tinggi, kurang lebih 6 persen untuk yang lama, dan 14 persen untuk yang baru. Artinya memang ada perbedaan dari sisi tarif, meskipun tetap lebih rendah dibanding tarif normal 3 persen,” urainya.
Yustinus menambahkan, pihaknya juga terus menerima serta mengumpulkan informasi dan data dari negara mitra, dengan harapan para wajib pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri mengikuti PPS tersebut.
Pihaknya masih akan menunggu hingga program tersebut berakhir pada 30 Juni 2022 mendatang.
Jika mereka tidak mengikuti PPS, lanjut Yustinus, Ditjen pajak akan melakukan tindak lanjut.
“Memberikan imbauan untuk pembetulan, lalu diimbau untuk membayar pajak, pemeriksaan ataupun penyidikan.”
Baca Juga: Dirjen Pajak Soal Tax Amnesty Jilid II: Kami Ada Catatan Harta yang Belum Dilaporkan
“Pada intinya bukan karena kami sulit untuk menjangkau, tetapi memang pada periode ini kita beri kesempatan lebih dulu pada wajib pajak untuk melaporkan secara suka rela,” jelasnya.
Menurutnya, setelah 3 Juni 2022, baru pihaknya akan melakukan tindakan-tindakan, termasuk juga bisa meminta pada negara mitra untuk memberikan informasi yang diminta.
“Sepanjang kita sedang melakukan upaya hukum pada wajib pajak tersebut.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV