> >

Pemerintah Masih Utang Rp109 T ke Pertamina dan PLN untuk Subsidi BBM-Listrik

Kebijakan | 29 Maret 2022, 06:23 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan pers tentang realisasi pelaksanaan APBN 2021 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (3/1/2022). (Sumber: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah memiliki utang sebesar Rp109 triliun ke PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Utang tersebut terkait kompensasi penyaluran BBM dan listrik yang harus dibayar hingga tahun 2021.

Ia menjelaskan, kompensasi yang harus dibayarkan ke 2 BUMN itu terus naik lantaran harga minyak dunia juga terus naik, namun harga jual BBM dan listrik ke masyarakat belum naik.

"Sebetulnya untuk Pertamina masih ada Rp 15,9 triliun kewajiban kompensasi 2020 yang belum kita lunasi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (28/3/2022).

Ia merinci, pada tahun 2020 pemerintah telah membayar kompensasi sebesar Rp47,9 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak Rp30 triliun untuk subsidi BBM ke Pertamina dan Rp17,9 triliun untuk subsidi listrik ke PLN.

Baca Juga: PLN Bayar Utang Rp52 T, Sisa Utangnya Masih Ratusan Triliun

Seharusnya untuk Pertamina, pemerintah membayarkan Rp33,8 triliun di tahun 2020. Sehingga pemerintah masih memiliki kompensasi yang belum dilunasi ke Pertamina yakni Rp 15,9 triliun untuk tahun 2020.

Sedangkan di tahun 2021, berdasarkan audit BPKP total subsidi BBM naik menjadi Rp 68,5 triliun dan subsidi untuk listrik sebanyak Rp24,6 triliun.

"2021 berdasarkan audit BPKP kita sudah menerima bahwa kompensasi akan makin melonjak. Untuk biaya kompensasi BBM akan melonjak Rp 68,5 triliun. Ini tagihan Pertamina kepada kami. Dan untuk listrik Rp 24,6 triliun, jadi masih ada Rp 93,1 triliun. Secara total dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban Rp 109 triliun," ungkap Sri Mulyani.

Ia menuturkan, harga minyak dunia sudah naik sebelum adanya krisis Rusia-Ukraina dan melonjak tinggi setelah Putin menginvasi Ukraina. Namun APBN lah yang meredam konsekuensi kenaikan harga minyak dengan memberi subsidi ke masyarakat.

Baca Juga: Orang Kaya AS Akan Kena Pajak 20 Persen, Uangnya Dipakai Biden Tambal Defisit

"Ini yang disebut shock absorber, APBN mengambil seluruh shock yang berasal dari minyak dan listrik. Masyarakat tidak mengalami dampak namun APBN yang harus mengambil konsekuensinya," katanya.

Di sisi lain, naiknya harga minyak juga membuat penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dari sumber daya alam, minyak dan gas, meningkat tajam. Yaitu sebesar 128,8 persen menjadi Rp15,5 triliun pada Februari 2022.

 "Kita sudah mencapai 18,1 persen dari target APBN karena adanya kenaikan ICP (Indonesian Crude Price)," ucap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengungkapkan realisasi ICP dalam dua bulan terakhir meningkat cukup tajam. Rata-rata ICP Desember 2021 hingga Januari 2022 mencapai 79,63 dollar AS per barel atau naik 57,7 persen.

Baca Juga: Ini Daftar Barang/Jasa yang Bebas PPN 11 Persen Mulai 1 April 2022

"Namun, kita harus hati-hati walaupun harga naik, tetapi lifting kita menurun jauh di bawah target APBN," ujarnya.

Ia mencatat lifting minyak Januari 2022 sebesar 573.000 barel per hari, di bawah target APBN 703.000 barel per hari. Hal ini membuat Indonesia harus banyak mengimpor di tengah kenaikan harga minyak.

Sedangkan PNBP dari sumber daya alam minerba, termasuk batu bara, tumbuh 51,1 persen mencapai Rp7,1 triliun. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga batu bara mencapai 49,3 persen menjadi 173,4 dollar AS per ton pada periode Januari-Februari 2022.

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber :


TERBARU