Ternyata Ini Penyebab Naiknya Harga Daging Sapi di Pasaran
Kompas bisnis | 27 Februari 2022, 11:29 WIB
JAKARTA, KOMPAS.TV — Pakar Peternakan Universitas Padjajaran (Unpad) Rohadi Tawaf menyatakan kenaikan daging sapi dipasaran salah satunya disebabkan oleh Australia sebagai negara importir sedang mengalami musibah.
Menurut Rohadi, musibah tersebut yang menyebabkan stok di Indonesia lebih sedikit daripada permintaan atau demand. Hingga kemudian, kenaikan tidak dapat dihindari meskipun sudah diprediksi.
"Kenaikan harga daging sapi sudah diprediksi dua tahun yang lalu, kalau Australia kena musibah artinya banjir dan kebakaran hutan depopulasi terjadi di sana," kata Rohadi Tawaf dalam program dialog Sapa Indonesia Akhir Pekan KOMPAS TV, Minggu (27/2/2022).
Ia juga menyebut, antisipasi kenaikan harga ini seharusnya bisa dicegah apabila pemerintah melakukan substitusi sapi-sapi dari Brazil. Sehingga kemudian, negara penyuplai impor tidak hanya Australia saja.
Namun Rohadi menyebut, impor sapi dari Brazil hingga kini belum terealisasi.
"Kita sudah mengantisipasi oleh sebab itu pemerintah sudah mengantisipasi meletakkan sapi-sapi untuk mensubtitusi ini dari Brazil. Tapi kan sampai hari ini belum terealisasi," jelasnya.
Rohadi menegaskan, impor sapi yang selama ini dilakukan Indonesia ialah single supply. Artinya hanya satu negara yang menjadi negara importir sapi ke Indonesia.
Baca Juga: Tuntutan Telah Dipenuhi, Pedagang Daging Sapi Batal Mogok Jualan
Padahal menurutnya, single supply sangat berbahaya terutama ketika terjadi masalah seperti musibah yang sedang dialami Australia saat ini.
"Single supply ini sangat berbahaya ketika mereka terjadi masalah kita akan menjadi pengurasan sapi lokal akan terjadi. Kenapa itu terjadi karena demandnya naik tinggi sekali dibanding dengan supply-nya," ungkap Rohadi.
Ia menyebut, penyebab lainnya dari kenaikan harga daging sapi yaitu karena dari beberapa hasil kajian, demand Indonesia terhadap daging sapi sangatlah tinggi daripada pertumbuhannya di dalam negeri.
"Demandnya itu bahwa 6,4 persen per tahun sementara supply-nya pertumbuhan sapi kita hanya 1,3 persen. Senjangnya luar biasa," imbuhnya.
Ia menilai hal ini perlu ditindaklanjuti dengan solusi yang luar biasa, bukan lagi konvensional. Pasalnya kenaikam yang terjadi pada 2022 ini tidak normatif sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
"Kalau ini diselesaikan secara konvensional maka dari tahun ke tahun akan terjadi. Memang jika mendekati hari raya terjadi kenaikan harga namun normatif, tahun ini tidak normatif karena ada dua masalah besar di Australia dan supply kita sebagai substitusinya dari negara lain tidak masuk ke Indonesia," jelasnya.
"Realitanya dari Brazil itu tidak masuk sehingga tidak ada persaingan supply sapi ke indonesia. Itu yang menjadi masalah," sambungnya.
Penyebab lainnya, Rohadi menyatakan bahwa permintaan sapi di Australia tidak hanya dilakukan oleh Indonesia. Melainkan juga negara lain seperti Vietnam dan China.
"Permintaan sapi Australia bukan dari negara kita saja. Vietnam meningkat tajam, China meningkat tajam. Ini posisi luar biasa bagi Indonesia. Disinilah saya kira kelemahan kita kalau kita selesaikan dengan cara konvensional dengan tambal sulam setiap tahun," paparnya.
"Sementara pengurasan populasi terus terjadi, ini harus ada jalan keluar yang luar biasa yang harus ditempuh yang berani pemerintah lakukan," pungkasnya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama Ketua Jaringan Pemotong & Pedagang Daging Indonesia Asnawi mengatakan bahwa kenaikan harga daging sapi diakibatkan dari permintaan daging fresh atau fresy meat yang masih tinggi.
"Kenaikan tertinggi itu ada diposisi sapi siap potong yang orientasinya tadi malam dipotong pagi ini dijual. Jadi diposisi hot meat atau fresh meat," kata Asnawi dalam progam dialog yang sama.
Menurutnya, dari hasil riset tahun 2017-2018 demand masyarakat masih berada diposisi hot meat yakni sebesae 83 persen.
"Kemudian itu juga yang menjadi perhatian pemerintah secara utuh masih dilakulan untuk meningkatkan posisi stok dalam negeri kalau kita ingin mengurangi beban dan kondisi (kenaikan harga) yang terjadi setiap tahun," jelasnya.
Terkait Brazil yang diusulkan menjadi negara importir sapi bagi Indonesia, Asnawi menyebut hingga saat ini yang baru terealisasi adalah frozen meat bukan sapi.
"Persoalannya negara ekspor itu hanya Australia. Dua tahun lalu itu kami sering menyampaikan daging dari Brazil sudah masuk untuk dagingnya (frozen meat), namun untuk sapinya memang pemerintah sudah ada tapi belum lebih lanjut," tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, Jaringan Pemotongan dan Pedagang Daging Sapi (JAPPDI) batal melakukan aksi mogok jualan, sebagaimana yang direncanakan akan berlangsung Senin (28/2/2022).
Mereka memutuskan batal mogok jualan karena merasa tuntutan sudah dipenuhi pemerintah.
Hal ini disampaikan Ketua JAPPDI Asnawi, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (26/2/2022).
"Kami bersama pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD), serta anggota menyatakan tidak ada aksi mogok," kata Asnawi.
Dia menyampaikan, sebelumnya JAPPDI ikut mendukung aksi libur berdagang yang diserukan, tetapi setelah mendapat jalan keluar dan terpenuhi tuntutannya, maka JAPPDI menolak aksi mogok jualan.
JAPPDI bahkan menginstruksikan kepada pemotong dan pedagang sapi untuk tetap berjualan seperti biasa.
Menurut Asnawi, JAPPDI meminta pemerintah mengintervensi fluktuasi harga daging sapi yang naik sejak Desember 2021 hingga Februari 2022.
Baca Juga: Kementan Sebut Pasokan Daging Sapi Aman, Tapi di Pasar Harganya Capai Rp140.000 per Kg
"Pertama, kelangkaan pasokan karena memang pasokan, kalau mengandalkan sapi impor itu memang kurang. Oleh karena itu, dikerahkan sapi lokal untuk didatangkan ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek)" ujar Asnawi.
Sementara itu, pedagang daging sapi dalam hal ini memandang bahwa kenaikan harga pada level 5 persen masih wajar. Namun, yang terjadi saat ini adalah kenaikan hingga 15 persen di tingkat pemotong.
Dengan kenaikan 15 persen, maka harga jual daging sapi kepada konsumen mencapai Rp140.000 per kilogram (kg).
Harga tersebut dinilai membebani konsumen yang akhirnya berpengaruh terhadap daya beli.
Namun, dengan kenaikan 5 persen, lanjut Asnawi, harga jual daging sapi ke konsumen menjadi Rp125.000 per kg atau Rp130.000 per kg untuk daging sapi jenis has dalam.
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV