> >

Ironi, Indonesia Penghasil Sawit Dunia tapi Harga Minyak Goreng Melambung Tak Terkira

Ekonomi dan bisnis | 31 Januari 2022, 05:26 WIB
Ilustrasi minyak goreng (Sumber: Antara)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Harga minyak goreng tengah melonjak drastis. Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global.

Bahkan di beberapa daerah, harga minyak goreng menembus Rp 20.000 per liter. Padahal sebelum melonjak, harga minyak nabati ini berkisar Rp 11.000 hingga Rp 13.000.

Lonjakan harga minyak goreng di Indonesia ini pun jadi ironi, sebab Indonesia termasuk salah satu negara penghasil kelapa sawit dunia. Pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah. Bahkan tercatat jadi negara penghasil CPO terbesar di dunia.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, polemik mengenai mahalnya minyak goreng di Indonesia ibarat ayam yang mati di lumbung padi. 

"Dalam gejala minyak goreng di pasar ibarat ayam mati di lumbung padi. Mengapa? karena kita penghasil CPO yang terbesar tapi negara gagal memasok harga minyak yang rasional kepada masyarakat dengan harga yang tinggi bahkan kalah jauh dengan Malaysia. Ini malah sebaliknya, penghasil CPO terbesar tapi harganya malah yang termahal," ujarnya dikutip pada Minggu (30/1/2022).

Baca Juga: Rincian Harga Minyak Goreng per 1 Februari 2022, Mulai dari Curah hingga Kemasan Premium

Indikasi Permainan Kartel

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bakal membawa permasalahan minyak goreng di Indonesia  ke ranah penegakan hukum. Sebelumnya KPPU juga menyatakan ada indikasi permainan kartel harga minyak goreng.

Hal ini dinyatakan Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama KPPU Deswin Nur, Sabtu (29/1/2022).

Menurutnya, KPPU telah melakukan pendalaman soal harga minyak goreng. Setelah itu berbagai temuan telah dibawa dalam rapat KPPU.

“Berdasarkan berbagai temuan saat ini, Komisi memutuskan pada rapat Komisi hari Rabu (26/1/2022) kemarin bahwa permasalahan minyak goreng dilanjutkan ke ranah penegakan hukum di KPPU,” ujar Deswin Nur.

Nantinya, kata Deswin, KPPU akan fokus mendalami sejumlah hal yang berpotensi melanggar  undang-undang.

“Dalam proses penegakan hukum, fokus awal akan diberikan pada pendalaman berbagai bentuk perilaku yang berpotensi melanggar pasal-pasal tertentu di undang-undang,” tukasnya.

Pihak KPPU misalnya akan menyelidiki berbagai fakta soal kelangkaan minyak goreng. Selain itu juga mendalami adanya potensi penimbunan.

“Sinyal-sinyal harga atau perilaku pasar akan menjadi bagian dari pendalaman,” tutur Deswin.

Baca Juga: Harga Minyak Goreng di Palopo Belum Bisa Satu Harga Rp14.000, Ini Penjelasan Pedagang

Dugaan Permainan Harga Minyak Goreng

KPPU juga mengendus sinyal adanya praktik kartel di balik kenaikan harga minyak goreng belakangan ini.

Hal ini lantaran perusahaan-perusahaan besar di industri minyak goreng kompak untuk menaikkan harga secara bersamaan.

"Kompak naiknya ini harga minyak goreng. Ini yang saya katakan ada sinyal terjadinya kesepakatan harga,” kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Kamis (20/1) pekan lalu.

Namun menurut Ukay, adanya sinyalemen kartel tersebut tetap harus dibuktikan secara hukum. “Tapi ini secara hukum harus dibuktikan," kata Ukay seperti dikutip Antara.

KPPU telah melakukan penelitian selama tiga bulan terakhir. Hasilnya KPPU mendapati bahwa kenaikan minyak goreng disebabkan oleh kenaikan harga bahan baku utamanya yaitu minyak kelapa sawit (CPO) di level internasional akibat permintaannya yang meningkat.

Berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019 terlihat pula bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng.

Dengan struktur pasar yang seperti itu, maka industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli.

"Ini perusahaan minyak goreng relatif menaikkan harga secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi kartel," katanya.

Baca Juga: Cium Indikasi Permainan Kartel, KPPU Bakal Bawa Masalah Minyak Goreng ke Ranah Hukum

Turun Usai Disubsidi

Setelah pemerintah menggelontorkan subsidi Rp 3,6 triliun melalui perusahaan minyak goreng, harganya mulai turun di level Rp 14.000 per liter sesuai ketetapan pemerintah. 

Dengan dana subsidi sebesar itu, pemerintah melibatkan 70 industri minyak goreng. Di tahap awal, ada sekitar 5 industri yang akan menyiapkan minyak goreng kemasan sederhana. 

Namun, Tulus juga mengkritisi terkait program satu harga karena  semua minyak goreng dibanderol Rp 14.000 per liter. 

Dalam program ini, pemerintah menyiapkan 1,2 juta miliar liter minyak goreng untuk didistribusikan dengan harga yang sama. 

Tulus menilai pemerintah dalam membuat program ini justru salah kaprah karena tidak mengetahui dan memahami psikologi konsumen. 

Bukan hanya itu, Tulus juga mengatakan, pemerintah gagal dalam mendalami dan memahami supply chain terhadap minyak goreng. 

"Saya simpulkan subsidi 1,2 juta miliar liter itu kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti kan programnya tidak efektif," ungkap Tulus.

Baca Juga: Daftar HET Minyak Goreng yang Mulai Berlaku Februari 2022, Tak Lagi Sama Rata Rp14.000 Per Liter

Penulis : Hedi Basri Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/kompas.com


TERBARU