Wakil Menteri BUMN: Sebenarnya Garuda Indonesia Sudah Bangkrut
Bumn | 9 November 2021, 20:40 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan kondisi maskapai milik pemerintah PT Garuda Indonesia.
Menurut dia, secara teknis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sudah dalam kondisi bangkrut. Namun, hal itu belum dinyatakan secara legal.
Baca Juga: Serikat Karyawan Garuda Indonesia Dukung KPK Usut 'Mark Up' Pengadaan Pesawat
"Sebenarnya kalau dalam kondisi saat ini, kalau dalam istilah perbankan ini technically bankrupt (secara teknis bangkrut), tapi legally belum," katanya dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11/2021), seperti dikutip dari Kompas.com.
Meskipun begitu, kata dia, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk mencari jalan keluar agar keuangan maskapai pelat merah tersebut bisa kembali sehat.
"Sekarang kami sedang berusaha untuk keluar dari kondisi ini yang technically bankrupt," ucap pria yang akrab disapa Tiko itu.
Selanjutnya, Tiko menjelaskan, mengenai kondisi keuangan Garuda Indonesia yang saat ini memiliki ekuitas negatif sebesar 2,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp40 triliun per September 2021.
Baca Juga: Ungkap 3 Isu Besar Dugaan Tindak Pidana Korupsi PT Garuda Indonesia, Berikut Selengkapnya
Artinya, perusahaan memiliki utang lebih besar ketimbang asetnya. Saat ini liabilitas atau kewajiban Garuda Indonesia mencapai 9,8 miliar dolar AS, sedangkan asetnya hanya sebesar 6,9 miliar dolar AS.
Menurutnya, bahkan negatif ekuitas yang terjadi pada Garuda Indonesia telah melebihi PT Asuransi Jiwasraya.
"Neraca Garuda sekarang mengalami negatif ekuitas 2,8 miliar dolar AS, ini rekor. Dulu rekornya dipegang Jiwasraya, sekarang sudah disalip Garuda," ujarnya.
Ia mengungkapkan, liabilitas Garuda Indonesia mayoritas berasal dari utang kepada lessor yang nilainya mencapai 6,35 miliar dolar AS.
Baca Juga: Eks Komisaris Ungkap 3 Masalah yang Buat Garuda Indonesia Terancam Bangkrut
Selebihnya, ada utang ke bank sekitar 967 juta dolar AS, lalu utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA sebesar 630 juta dolar AS.
"Jadi memang utang ke lessor paling besar, 6,35 miliar dolar AS. Ada komponen jangka panjang dan komponen tidak terbayar dalam jangka pendek. Tentunya dengan kondisi seperti ini, mengalami ekuitas negatif," kata Tiko.
Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas.com