Pemerintah Tebar Diskon Pajak, UMKM Untung Meski Menimbulkan Polemik
Kebijakan | 18 Oktober 2021, 12:46 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Insentif pajak digelontorkan bagi pelaku usaha lewat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Baik untuk usaha dengan skala besar, insentif atau juga menyasar pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, sejumlah fasilitas perpajakan tersebut diberikan untuk menciptakan keadilan dan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap ekonomi UMKM.
Selain itu, hal ini sebagai langkah reformasi perpajakan dan mempermudah administrasi bagi wajib pajak.
Adapun insentif pajak yang diberikan sebagai berikut;
Pertama, pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) final dengan tarif khusus sebesar 1 persen, 2 persen, atau 3 persen berdasarkan peredaran usaha atau omzet atas jenis barang atau jasa tertentu.
Kedua, mengenakan tarif pajak penghasilan (PPh) 0,5 persen untuk wajib pajak orang pribadi pelaku saham dengan dengan peredaran bruto Rp 500 juta-Rp 4,8 miliar per tahun.
Ketiga, bagi wajib pajak dengan peredaran bruto sampai Rp 500 juta dalam setahun, tidak dikenai PPh. Hal ini bakal menguntungkan UMKM.
Misalnya, wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sebesar Rp 2,5 miliar setahun hanya membayar PPh atas peredaran bruto Rp 2 miliar karena sampai dengan peredaran bruto Rp 500 juta akan dibebaskan dari PPh.
Keempat, diskon tarif PPh 50 persen dari tarif normal untuk wajib pajak badan dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar per tahun sesuai Pasal 31E UU PPh.
Baca Juga: Rencana PPN Sembako Premium, Dirjen Pajak Akui Penerimaan dari PPh, Bea Cukai, dan PNBP Kurang
Pemerintah bersama dengan DPR batal menghapus klausul ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima UU Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sementara, untuk usaha skala besar, dapat menikmati tarif PPh lebih rendah 3 persen dari tarif normal sebesar 22 persen. Mereka yang mendapat fasilitas ini adalah wajib pajak dalam negeri berbentuk PT atau bentuk usaha tetap (BUT), yang menjual saham dan diperdagangkan di bursa efek paling sedikit 40 persen, dan memenuhi persyaratan tertentu yang diatur pemerintah.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, reformasi perpajakan UMKM mengakomodasi kebutuhan pengusaha. Utamanya, ketentuan PPN final dengan tarif khusus.
Menurutnya, hal ini akan membantu UMKM masuk ke dalam sistem perpajakan. "Ini menguntungkan pemerintah dan UMKM," katanya, Senin (17/10/2021), seperti dikutip dari Kontan.co.id.
Namun, skema tersebut berpotensi menimbulkan polemik, meski di banyak negara sudah lumrah untuk digunakan.
Sebab, akan lebih menyulitkan dari sisi administrasi, meski lebih memenuhi asas keadilan. Batasan omzet atas PPh final UMKM juga akan menambah beban belanja perpajakan pemerintah.
Labih lanjut, Fajry menilai, klausul Pasal 31E UU PPh layak dihapus. Melihat, keberadaan Pasal 31E tak lagi relevan karena tarif PPh badan yang sebesar 22 persen sudah cukup rendah.
Ditambah lagi dengan adanya fasilitas PPh final UMKM sebesar 0,5 persen. "Hal ini tak hanya menyebabkan hilangnya penerimaan negara namun juga menyebabkan ketidakadilan," tambahnya.
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun mengapresiasi adanya fasilitas tak dipungut PPh bagi wajib pajak dengan omzet Rp 500 juta. Menurutnya, fasilitas ini akan mendorong cashflow usaha, mengingat tahun depan ekonomi masih dalam tahap pemulihan.
Tapi ia menilai kebijakan pajak bisa kontra produktif lantaran meski dibebaskan pungutan PPh, tetapi kena Pajak Pertambahan Nilai.
Baca Juga: Dorong Poduktivitas UMKM, Promo Tambah Daya Listrik Hingga 31 Oktober 2021,
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV/Kontan.co.id