Revisi Biaya Kompensasi terkait PLTS Atap Dinilai akan Bebani APBN
Kebijakan | 6 September 2021, 19:42 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Pemerintah berencana merevisi peraturan tentang penggunaan sistem pembangkit listrik teknologi surya (PLTS) atap. Namun, hal ini dinilai berpotensi membebani anggaran negara.
Melihat skema ekspor kelebihan tenaga listrik yang baru, Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak lagi mendapatkan kompensasi atas risiko penyimpangan.
Diketahui, pemerintah berencana merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Aturan itu mengatur besaran kompensasi yang ditanggung PLN atas kelebihan tenaga listrik yang diekspor dari pelanggan PLTS atap ke jaringan listrik PLN. Dalam hal ini, Kompensasi kelebihan tenaga listrik dalam satuan kilowatt jam (kWh) dikali 0,65.
Sebagai gambaran, apabila kelebihan tenaga listrik pelanggan dalam sebulan mencapai 100 kWh, maka yang dihitung sebagai kompensasi untuk dijual ke PLN hanya 0,65 x 100 kWh atau 65 kWh saja.
Sementara, revisi dilakukan untuk mengganti ketentuan 0,65 menjadi 1, sehingga berapa pun kelebihan tenaga listrik pelanggan PLTS atap yang dijual ke PLN, seluruhnya akan dihargai sesuai dengan tarif berlaku.
Baca Juga: ITS Sarankan Pemerintah Turunkan Biaya Modal PLTS Atap
Ekspor listrik ini akan digunakan untuk perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dan bisa mengurangi tagihan listrik pelanggan setiap bulan. Perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh ekspor dan kWh impor.
Menurut Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor, rencana perubahan skema penjualan kelebihan tenaga listrik dari pelanggan PLTS ke jaringan listrik PLN berpotensi menggerus APBN tanpa memberikan nilai tambah bagi industri PLTS nasional.
Perhitungan 0,65, kata Mukhtasor sudah adil karena memang terdapat biaya investasi dan produksi yang dikeluarkan PLN, di antaranya seperti biaya jaringan dan pendistribusian. Sisa 0,35 tersebut dianggap sebagai biaya kompensasi terhadap PLN.
”Saya menilai perhitungan sebelumnya lebih rasional karena tenaga listrik yang diproduksi oleh PLTS atap diekspor ke jaringan PLN dikurangi 35 persen sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik,” jelas Mukhtasor dalam diskusi virtual, Sabtu (4/9/2021).
Kompensasi tersebut, lanjutnya, merupakan manifestasi dari ongkos yang diperlukan untuk mengatasi sejumlah persoalan, seperti listrik yang berubah menjadi panas selama masa transmisi, perbedaan biaya pembangkitan pada siang dan malam hari, serta biaya penyiagaan pembangkit untuk mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS.
”Rancangan revisi telah mengabaikan biaya-biaya tersebut, di mana semua listrik yang diekspor siang dapat 100 persen diimpor kembali malam. Artinya kompensasi biaya penyimpanan ditanggung oleh APBN melalui PLN,” tuturnya.
Mukhtasor menyarankan agar anggaran yang semula disediakan menutup kompensasi ekspor tenaga listrik dari PLTS atap dikonversi menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS, terutama produsen sel surya (solar cell). Sehingga, harga sel surya dari industri nasional diharapkan makin kompetitif dan terjangkau di pasaran.
”Keekonomian PLTS atap juga akan meningkat karena minat dan dukungan pada PLTS atap dari masyarakat juga akan meningkat,” ujarnya.
Baca Juga: Demi Gaet Masyarakat Pakai PLTS Atap, Kementerian ESDM Revisi Aturan PLTS Atap
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV/Kompas.id