> >

Kapasitas Pendanaan Bencana Terbatas, Pemerintah Luncurkan Skema Baru

Ekonomi dan bisnis | 24 Agustus 2021, 13:41 WIB
Kepala Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu (Sumber: KOMPAS.com/AKHDI MARTIN PRATAMA)

JAKARTA, KOMPAS.TV –  Pemerintah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB) melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana (Perpres 75/2021) pada 13 Agustus 2021.

PFB merupakan upaya Pemerintah dalam mewujudkan komitmen untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam secara efektif. PFB selain menjadi kantong kedua Menteri Keuangan dalam pendanaan bencana, juga bakal menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana ke depannya.

PFB merupakan bagian dari Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI). Strategi DRFI memungkinkan Pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga, melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat.

PFB adalah instrumen pendanaan utama pada Strategi DRFI yang merupakan skema pengumpulan dana dari berbagai sumber, yakni dari Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan mitra pembangunan, untuk diakumulasikan dan dikembangkan bagi pendanaan penanggulangan bencana, baik alam maupun non-alam.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan, PFB merupakan milestone penting dalam manajemen risiko bencana di Indonesia karena meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana khususnya pendanaan mitigasi bencana dan transfer risiko.

"PFB ini khas Indonesia dengan model gotong royong pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan swasta. Tidak banyak negara yang memiliki institusi PFB dan melakukan ini dengan baik," ujarnya dalam siaran persnya yang diterima Kompastv, Selasa (24/8/2021).

Baca Juga: Kemenkeu “Kuras Berangkas” Atasi Pandemi | B-TALK (3)

Analisis Bank Dunia (2018) menempatkan Indonesia di peringkat ke-12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam. Bahkan, saat ini Indonesia juga menghadapi bencana non-alam akibat pandemi Covid-19.

Sedangkan, proses penanganan bencana di Indonesia salah satunya mengalami kendala anggaran. Akibat berbagai jenis dan skala bencana, khususnya bencana alam. Dari hasil kajian Kementerian Keuangan (2020) rata-rata nilai kerusakan langsung yang dialami Indonesia dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp 20 triliun per tahun.

Sebagai contoh, bencana alam besar seperti gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada September 2018, mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi sekitar Rp 18,5 triliun.

Namun, Dana Cadangan Bencana di dalam APBN untuk mendanai kegiatan tanggap darurat dan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi kepada Pemerintah Daerah masih berada di bawah nilai kerusakan dan kerugian tersebut, yaitu sekitar Rp 5-10 triliun per tahun sejak 2004.

“Untuk menutup celah pendanaan atau financing gap tersebut dan mempercepat proses penanganan bencana diluncurkanlah PFB. Saat ini, dana kelolaan awal sebesar kurang lebih Rp 7,3 triliun. Dana kelolaan ini diharapkan akan terus berkembang dari tahun ke tahun," tutur Febrio.

Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat juga akan bersinergi dalam operasionalisasi PFB, mulai dari pengusulan pendanaan sampai dengan penyaluran dana PFB agar lebih tepat waktu dan sasaran. 

“PFB tidak hanya akan menjadi kantong kedua Menteri Keuangan dalam pendanaan bencana, melainkan menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana ke depannya. BKF akan terus mengawal guna memastikan terwujudnya hal tersebut,” jelasnya.

Baca Juga: Ketua DPR: Penggunaan APBN 2022 Harus Difokuskan ke Sektor Kesehatan agar Perekonomian Pulih

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU