Penetapan Harga Perdagangan Karbon Dalam Negeri Oleh Pemerintah Dinilai Terlalu Murah
Ekonomi dan bisnis | 16 Agustus 2021, 15:23 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mulai uji coba perdagangan karbon antarpembangkit listrik. Hal tersebut dilakukan untuk menekan emisi di sektor ketenagalistrikan.
Sayangnya, harga yang ditetapkan dalam perdagangan karbon masih terlalu rendah jika dibandingkan tolok ukur dunia sehingga berpotensi tak berdampak signifikan dalam mengurangi emisi.
Adapun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan batas intensitas emisi karbon dioksida (CO2) pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU dengan kapasitas lebih dari 400 megawatt (MW) sebesar 0,918 ton CO2 per MW jam.
Batas untuk PLTU dengan kapasitas 100-400 MW senilai 1,013 ton CO2 per MW jam, sedangkan PLTU jenis mulut tambang dengan kapasitas yang sama sebesar 1,094 ton CO2 per MW jam.
Uji coba perdagangan karbon PLN melibatkan PLTU Tanjung Jati B unit 4 yang memiliki surplus kuota emisi. Imbasnya, PLTU tersebut dapat mentransfer kuota ke PLTU Punagaya, PLTU Pangkalan Susu, PLTU Sebalang, dan PLTU Teluk Sirih dengan harga Rp 30.000 per ton CO2.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, harga perdagangan karbon tersebut tergolong rendah.
Baca Juga: Kejar Target Energi Terbarukan, PLTS Terapung Cirata Berpotensi Kurangi Emisi Karbon 214 Ribu Ton
”Harga sebesar Rp 30.000 per ton CO2 masih jauh di bawah rekomendasi global,” katanya, Minggu (15/8/2021), seperti dikutip dari Kompas.id.
Berdasarkan dokumen berjudul Effective Carbon Rates 2021 yang diterbitkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tolak ukur harga karbon terendah sebesar 30 euro per ton CO2 atau sekitar Rp 508.300 per ton CO2.
Tolak ukur harga karbon di tingkat berikutnya secara berturut-turut senilai 60 euro per ton CO2 dan 120 euro per ton CO2.
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV/Kompas.id