Gila! Ekonomi China Melesat, di Tengah Pandemi. Kenapa Bisa Begitu Sakti?
Ekonomi dan bisnis | 19 Oktober 2020, 17:32 WIBTerbukti, ekonomi Seattle justru bangkit lebih cepat karena menelan korban lebih minimal. Seattle melaju, meninggalkan New York, New Orleans dan beberapa daerah sekitar yang melonggarkan aktivitas sosial, tetapi dengan jumlah korban terbanyak.
Memang lockdown Wuhan tidak sepenuhnya tentang hasil akhir yang manis, banyak cerita pilu yang terjadi. Pelajarannya adalah, asumsi pertumbuhan ekonomi sebuah negara, bahkan berskala global, harus menghitung risiko lingkungan, seperti pandemi.
“Pada masa depan, selain risiko ekonomi dan keuangan, risiko lingkungan harus mulai dielaborasi dalam membuat kalkulasi ekonomi ataupun perencanaan bisnis. Faktor lingkungan tak lagi bisa ditinggalkan, apalagi diabaikan, demi mengejar target pertumbuhan. Kini risiko lingkungan telah mengoreksi siklus pertumbuhan yang bisa jadi telah banyak menimbulkan efek eksternalitas yang membebani lingkungan selama ini,” jelas Rektor Universitas Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko.
Bukan Kisah Roro Jonggrang
Membangun ribuan candi hanya dalam waktu semalam. Mungkinkah? Kisah ini kita temui di cerita rakyat tentang Roro Jonggrang dan Candi Prambanan. Bagaimana mungkin, candi yang rumit dengan bahan baku batu berat, rampung hanya dengan satu kali kedipan mata, kalau bukan dengan bantuan jin?
Baca Juga: Cek Vaksin Corona, MUI Kirim Utusan ke China
Apakah mungkin, China punya banyak jin, untuk mengatrol ekonomi sekaligus membendung laju penularan covid-19? Jawabannya tentu saja tidak. Negara ini punya rasionalitas mumpuni dan “sense of crisis” yang di atas rata-rata negara lain.
Tak perlu sesumbar janji, atau kompromi. Minggu 11 Oktober 2020, klaster baru infeksi virus corona muncul di Kota Qingdao, timur China. Meski mereka yang terinfeksi tidak bergejala (asimptomatik), otoritas setempat memutuskan untuk melakukan tes massal pada 9 juta penduduknya.
Tantangannya terletak pada waktu, yaitu hanya lima hari. Catat saudara, LIMA hari. Perlu strategi andal, karena berpacu dengan matahari terbenam. Otoritas China merespons cepat dengan strategi pengujian massal, meskipun, klaster yang muncul di Qingdao kalau terjadi di Indonesia, hanya “klaster remeh temeh” alias super kecil yaitu 12 kasus baru.
Komisi kesehatan Qindao menegaskan, tracing adalah “koentji”. Program pengetesan seluruh kota serentak meluncur dan terbagi-bagi menjadi beberapa distrik. Lima distrik dites selama tiga hari, melibatkan ribuan tenaga ahli, pendirian tenda-tenda tes massal dan harus rampung menyeluruh dalam waktu lima hari. Berhasil? Tentu saja, namanya juga China, negara paling tidak pernah menganggap enteng pada kerikil sekalipun.
Hari pertama tes, dilakukan pada 1.107.883 orang. Hari ke-tiga mencapai 5.410.386, kemudian ke-empat tuntas pada 8.884.565 orang secara akumulatif. Sumber klaster baru ditemukan, yaitu dari ruang CT scan RS Qingdao, yang merawat pasien positif corona dari luar negeri.
Tetapi memang pengalaman, kalau tidak dipandang sebelah mata, menjadi juara. Mei, sebenarnya China juga melakukan tes masal di kota Wuhan, episentrum pertama penyebaran corona di akhir 2019. 11 juta warga tuntas dilacak dalam waktu 10 hari dan menghentikan penularan virus secara masif.
Bagaimana dengan Indonesia? Sudah terlanjur basah. Tetap ada harapan untuk perbaikan, agar “gelar juara rekor positif” segera punah dari negeri ini. Aamiin.
Penulis : Dyah-Megasari
Sumber : Kompas TV