Mimpi Punya Apartemen Masih Angan-Angan, Konsumen Apartemen Meikarta Merasa Diperlakukan Tidak Adil
Bbc indonesia | 21 Agustus 2022, 07:05 WIBLaki-laki yang baru saja diminta pensiun dini dari pekerjaannya itu cuma berharap apartemennya bakal jadi, atau kalaupun tidak, uang yang sudah dia bayarkan bisa dikembalikan.
Apa kata pihak Meikarta?
BBC News Indonesia mencoba mengonfirmasi hal ini kepada PT MSU selaku pengembang. Namun, PT MSU meminta kami menghubungi pihak Lippo Cikarang, yang berada satu payung dengan MSU.
Public Relation Head Lippo Cikarang, Jefrey Rawis, menolak permintaan wawancara BBC News Indonesia dan hanya memberikan keterangan tertulis.
Terkait tawaran relokasi yang selalu disodorkan ke konsumen ketika mempertanyakan kelanjutan proyek Meikarta, Jefrey mengatakan itu hanya pilihan.
“Terserah konsumen, apakah berkenan direlokasi. Setahu saya banyak yang setuju,” kata Jefrey tanpa menyebutkan jumlah orang yang bersedia relokasi.
Sementara itu, terkait kelanjutan proyek Meikarta, Jefrey menjelaskan saat ini pihaknya sedang melakukan kewajiban terhadap konsumen sesuai isi Proposal Perdamaian yang telah disahkan oleh Pengadilan Niaga pada 2020 lalu.
Putusan pengadilan itu terkait status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT MSU yang sebelumnya digugat pailit oleh PT Graha Megah Tritunggal karena tidak membayar uang jasa keamanan.
PT MSU akhirnya mendapatkan pengesahan hakim atas persetujuan antara debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan. Para kreditur, termasuk para pembeli apartemen, menyetujui restrukturisasi pembayaran tagihan.
“Perlu diketahui, PT MSU telah menginformasikan hasil Putusan Homologasi ini kepada seluruh Pembeli yang belum menerima unit, di mana pelaksanaan hasil putusan sudah dijalankan dalam bentuk serah terima unit secara bertahap sejak Maret 2021 lalu,” kata Jefrey dalam keterangan tertulisnya.
Grup Lippo mengklaim, hingga saat ini PT MSU sudah menyerahkan 1.600-an unit ke para pembeli. Dari jumlah tersebut, Jefrey mengatakan itu termasuk pembeli yang melakukan relokasi ke District 1, satu-satunya District yang pembangunannya pun belum mencapai 100%.
Selang tiga hari setelah artikel ini diterbitkan, PT MSU mengirim surat tanggapan kepada BBC News Indonesia.
Dalam tanggapan tersebut PT MSU menegaskan sedang melakukan kewajibannya terhadap konsumen sesuai isi Proposal Perdamaian yang telah disahkan oleh Pengadilan Niaga No. 328/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jakarta Pusat Tanggal 18 Desember 2020, di mana Keputusan telah disahkan oleh Majelis Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap ('inkracht van gewijsde') tertanggal 26 Juli 2021.
"Putusan Homologasi tersebut telah mengikat bagi para pihak (termasuk para Pembeli) dan diwajibkan para pihak untuk menghormati, tunduk dan patuh atas Putusan Homologasi tersebut. Putusan Homologasi ini membuat para pembeli tidak perlu merasa khawatir dan akan menerima unit-unitnya sesuai waktu yang ditetapkan dalam Putusan tersebut," papar PT MSU.
"Perlu diketahui, PT MSU telah menginformasikan hasil Putusan Homologasi ini kepada seluruh Pembeli yang belum menerima unit, dimana pelaksanaan hasil Putusan sudah dijalankan dalam bentuk serah terima unit secara bertahap sejak Maret 2021 lalu," imbuh PT MSU.
Soal keluhan konsumen, PT MSU menegaskan "mereka sudah mendapatkan informasi tentang Putusan Homologasi ini yang mengatur waktu pembangunan apartemen hingga serah terima unitnya."
‘Tidak adil’
Dalam proposal perdamaian, pihak Meikarta menyatakan akan memulai pembangunan selambat-lambatnya bulan ke-24, terhitung sejak Desember 2020. Kemudian, pihak Meikarta akan menyerahkan unit dalam waktu 30 bulan setelah pembangunan, atau selambat-lambatnya 55 bulan.
“Tapi itu nggak dijelaskan berapa persen ngebangun-nya. Lemah PKPU-nya, dijadikan politik saja,” kata Ketua Komunitas Peduli Konsumen Meikarta Aep Mulyana kepada BBC News Indonesia.
Aep menyebut situasi ini ‘tidak adil’.
Komunitas Peduli Konsumen Meikarta resmi berdiri tahun ini. Anggotanya sudah lebih dari 100 orang. Semuanya merupakan para pembeli apartemen, baik secara tunai maupun menyicil, yang sampai saat ini belum mendapatkan haknya. Waluyo dan Suryadi juga termasuk anggota komunitas ini.
Dalam homologasi Meikarta, Aep menilai banyak ketentuan yang menguntungkan PT MSU, seperti pengurangan denda atau keterlambatan menjadi 0,5% dan maksimal hanya 5%, serah terima unit sampai tujuh tahun, dan opsi pengembalian dana lebih dari tujuh tahun tanpa kompensasi pertambahan nilai atau bunga, serta tidak ada kepastian tanggal, bulan, dan tahun serah terima.
“PT MSU sepertinya tidak punya iktikad baik untuk mengembalikan dana kami. Pada saat melakukan proses PKPU pun, konsumen tidak diberitahu secara personal, baik lewat telepon maupun surel, sehingga tidak semua konsumen apartemen Meikarta yang bisa ikut memberikan hak suaranya, karena tidak tahu proses PKPU. Kami merasa hak kami sangat dilanggar, terabaikan, dan tertindas,” tegas Aep.
Namun, Public Relation Head Lippo Cikarang, Jefrey Rawis, mengatakan pihaknya sudah melakukan pemberitahuan melalui koran Harian Terbit dan Republika pada 28 Juli 2021.
Bertahun-tahun tidak melihat titik terang, komunitas kemudian mengadu hingga ke DPR dan presiden. Aep mengatakan pada 23 Juni 2022 lalu, pihaknya mengirim surat ke DPR dan pada 27 Juni mengirim surat ke presiden.
Konflik pengembang dan konsumen sering terjadi
Pengamat dan konsultan properti, Anton Sitorus, mengatakan konflik antara pengembang dan konsumen, seperti yang terjadi di Meikarta, bukanlah yang pertama kali terjadi. Dia menilai, kasus Meikarta menjadi besar karena proyeknya berskala besar dan pada saat itu pemasarannya sangat ‘fenomenal’ dan ‘luar biasa’.
Pada periode 1990-an, banyak pengembang yang tidak bisa memenuhi kesepakatan, hingga terkena wanprestasi. Masalahnya pun beragam. Ada pengembang yang tidak bisa menyelesaikan bangunannya, sampai pengembang yang kabur.
“Dulu banyak kasus seperti itu. Makanya pemerintah membuat aturan, kalau pengembang ingin menjual propertinya, perizinannya harus sudah selesai di lokasi yang ditentukan sudah ada progres pembangunan,” kata Anton kepada BBC News Indonesia.
Penerapan aturan yang lebih ketat itu pun, tambah Anton, juga diikuti oleh perbankan. Pencairan kredit dilakukan berdasarkan progres konstruksi pembangunan.
“Sehingga kalau belum apa-apa, ya nggak dikasih. Tujuannya untuk melindungi dari kejadian-kejadian one prestasi, baik dari sisi pengembang maupun konsumennya,” ujar Anton.
Salah satu aturan yang mengatur hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Anton juga mengatakan, tiap-tiap daerah juga memiliki aturan sendiri terkait perizinan.
‘Konsumen mesti belajar’
Untuk menghindari risiko kerugian di kemudian hari, Anton menyarankan konsumen untuk membekali diri dengan informasi yang cukup, sebelum membeli properti.
“Artinya membeli barang seperti properti itu bukan kayak kita beli makanan. Namanya juga beli capital expenditure, yang harganya mahal. Jadi, mesti banyak belajar, sebenarnya seperti apa transaksinya,” kata dia.
Sebelum membeli properti, konsumen harus mengetahui dulu rekam jejak pengembangnya. Kendati rekam jejak pengembang sudah baik, Anton menyarankan konsumen harus tetap teliti dan jeli, terutama tentang peraturan-peraturan yang berlaku, sampai hak dan kewajiban yang dimiliki.
“Contohnya kejadian yang Meikarta itu, kita tahu Lippo itu pengembang besar yang punya track record bagus. Kenapa terjadi masalah? Nah, itu kan sebenarnya bukan hanya karena masalah pengembangnya, tapi ada yang lain juga seperti masalah peraturan, masalah teknis perizinan, yang harusnya konsumen juga melek akan hal itu,” ujar Anton.
Konsumen diminta proaktif, menanyakan segala hal mulai dari hal-hal teknis pada bagunan, sampai masalah yang rumit seperti regulasi karena itu merupakan hak konsumen.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC