Perusahaan Sawit di Papua Buka Lahan meski Izin Sudah Dicabut, Aktivis Sebut Ada 'Unsur Pidana'
Bbc indonesia | 16 Juli 2022, 07:58 WIBSebuah bukti baru menunjukkan perusahaan kelapa sawit di Papua melakukan pembukaan lahan, kendati izin pelepasan kawasan hutan telah dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), langkah yang menurut aktivis sebagai 'unsur pidana'.
Bukti visual yang dimiliki Greenpeace baru-baru ini mendokumentasikan operasi PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di Kabupaten Jayapura, Papua.
Citra penginderaan jauh menunjukkan pembukaan hutan baru pada minggu pertama bulan Juli, menyusul pembukaan lahan seluas 70 hektar pada awal tahun.
"Temuan yang terbaru adalah mereka melakukan aktivitas di lokasi yang kemarin dibuka oleh mereka, sekitar 70 hektar," kata Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin kepada BBC News Indonesia, Kamis (14/07).
"Seharusnya mereka tidak melakukan aktivitas karena Dinas Penanaman Modal Perizinan Satu Pintu (PTSP), sudah mengirimkan surat kepada perusahaan untuk menghentikan segala aktivitasnya di lapangan," imbuhnya.
Baca juga:
- Lisensi keberlanjutan Korindo dicabut lembaga sertifikasi hutan
- Luhut hendak audit perusahaan sawit, namun ‘diragukan’ akan menindak mafia sawit
- ‘Kami sudah sering dibohongi’ - Tiga generasi Suku Anak Dalam mengaku tertipu janji perusahaan sawit
Padahal, pada Januari silam, Presiden Joko Widodo mencabut izin sejumlah perkebunan kelapa sawit, yang diikuti oleh surat keputusan Menteri LHK yang mencabut izin pelepasan kawasan hutan negara bagi PT PNM.
Pakar hukum lingkungan di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), memandang apa yang dilakukan perusahaan itu melanggar hukum lingkungan hidup dan berpotensi pidana, karena melakukan pembukaan lahan tanpa izin yang bertentangan dengan sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang Kehutanan.
BBC Indonesia telah menghubungi PT PNM dan KLHK untuk dimintai tanggapan, namun hingga berita ini diturunkan mereka tidak memberikan komentar.
Kelompok masyarakat adat setempat mengatakan langkah perusahaan itu "merusak hutan kami", yang menjadi andalan hidup mereka.
Adapun, Delila Giay dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Jayapura berkata, saat ini tim lintas dinas yang dibentuk di kabupaten Jayapura tengah membahas masalah itu, termasuk tentang klaim masyarakat adat bahwa mereka tidak pernah melepaskan hak adat atas wilayah yang kini menjadi area PT PNM.
Pembukaan lahan sekitar 70 hektar
Bukti terbaru mengungkap operasi pembukaan lahan di lokasi PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di Kabupaten Jayapura Papua, baru-baru ini.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin mengungkapkan citra penginderaan jauh yang dilakukan oleh Greenpeace menunjukkan perusahaan itu melanjutkan pembukaan lahan pada pekan pertama Juli, menyusul pembukaan lahan seluas 70 pada bulan Februari.
"Tapi tanggal 5 Juli kemarin kami menemukan mereka sedang melakukan land clearing (pembukaan lahan) dan melakukan aktivitas di lokasi tersebut. Itu temuan terbaru," tambah Asep.
Video dan foto-foto yang didistribusikan oleh Greenpeace menunjukkan aktivitas operasi perusahaan dan alat berat di lokasi konsesi PT PNM, termasuk enam ekskavator bersama dengan kendaraan perusahaan lainnya.
"Aktivitasnya kalau kita lihat, kita melihat dengan kamera dari jarak jauh, di sana terlihat ekskavator perusahan sedang membersihkan lahan dan asumsi kita mereka sedang melakukan pembenihan untuk perkebunan mereka," terang Asep.
Adapun, citra penginderaan jauh menunjukkan pembukaan hutan yang luas sekitar awal tahun diikuti oleh pembukaan baru pada minggu pertama bulan Juli.
Padahal, izin pelepasan hutan perusahaan itu telah dicabut oleh KLHK pada Januari silam, di hari yang sama ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan mencabut izin sejumlah perkebunan kelapa sawit.
Asep Komarudin mengungkap, beberapa hari setelah pengumuman itu, mesin berat mulai menebangi 70 hektar hutan di dalam konsesi PT PNM, yang memicu aksi protes dari masyarakat adat yang wilayahnya menjadi area konsesi perusahaan.
Sebulan kemudian, otoritas penanaman modal setempat mengeluarkan perintah agar perusahaan menghentikan operasinya.
"Di awal bulan Februari kami sudah menyurati PT PNM untuk sementara dihentikan dulu kegiatannya, sampai ada kejelasan dari persoalan ini. [Kami] sudah menyurat ke PNM dan memang mereka hentikan sementara," jelas Delila Giay, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Jayapura.
Namun sekitar sepekan lalu, tambah Delila, masyarakat melaporkan bahwa perusahaan melanjutkan operasinya. Masyarakat meminta agar pemerintah setempat segera bertindak.
"Itu yang kemarin masyarakat sempat tanya ke saya, apakah dari kabupaten ada mengeluarkan surat ke perusahaan untuk mereka melanjutkan pekerjaannya. Saya bilang, 'Tidak, kami tidak pernah mengeluarkan surat selain surat untuk menghentikan sementara aktivitas perkebunannya'," aku Delila.
Delila juga menambahkan PT PNM beberapa kali mendatanginya untuk menanyakan kejelasan status area konsesinya.
"Menurut mereka, yang terkena dampak dari keputusan menteri LHK itu kan yang kawasan konsesi, APL (area penggunaan lain)-nya tidak," katanya.
"Saya sarankan sama mereka, kalau tentang itu sebaiknya langsung ke Dinas Kehutanan, karena mereka yang lebih paham tentang status lahan. Apakah itu kawasan APL atau kawasan yang lainnya, tanyakan ke Dinas Kehutanan. Baru kemarin mereka telepon saya," aku Delila.
Adapun, PT PNM telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk membatalkan surat keputusan Menteri LHK tentang pencabutan izin pelepasan kawasan hutan pada perusahaan tersebut.
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, PT PNM mengajukan gugatan terhadap Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan nomor perkara 167/G/2022/PTUN Jakarta pada 14 Juni silam.
Hingga saat ini proses persidangan masih berlangsung.
'Operasi perusahaan merusak hutan kami - kami hidup dari kebun'
Rosita Tecuari, Ketua organisasi perempuan masyarakat adat Namblong yang mendiami lembah Grime Nawa, mengatakan akibat operasi perusahaan, mereka kehilangan hutan adat tempat mereka menggantungkan hidupnya.
"Operasi perusahaan yang berkelanjutan merusak hutan kami. Jika perusahaan bahkan mengabaikan perintah pemerintah, lalu seberapa besar perhatian yang akan diberikan kepada kami sebagai pribumi?" tutur Rosita.
Dirinya meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura, untuk segera mencabut izin lokasi dan izin lingkungan perusahaan itu.
"Kalau tidak dicabut izinnya, berarti hampir sebagian kebun habis. Kami masyarakat adat Namblong kami punya kehidupan cuma dari kebun.
"Kami bukan pegawai negeri rata-rata. Kami hidup dari kebun, kami hidup dari berburu. Jadi kalau hutan diambil, kebun kami dimusnahkan, terus kami harus ke mana?"
Asep Komarudin dari Greenpeace mengungkapkan masyarakat adat menuntut bupati mencabut izin lokasi dan izin lingkungan perusahaan tersebut, karena masyarakat adat tidak pernah melepaskan hak adatnya untuk perusahaan tersebut.
"Jadi masyarakat adat kaget kenapa wilayah adat mereka kemudian ada di wilayah konsesi perusahaan tersebut," katanya.
Selain pencabutan izin, kata Asep, masyarakat adat juga menuntut agar wilayah konsesi PT PNM dikembalikan ke pemiliknya, yakni masyarakat adat.
"Masyarakat adat menganggap pemberian izin lokasi dan izin lingkungan cacat karena tidak melibatkan masyarakat dalam pelepasan kawasan hutannya," terang Asep.
Delila Giay dari PTSP Kabupaten Jayapura berkata, saat ini tim lintas dinas telah dibentuk untuk menyelesaikan persoalan ini, termasuk tentang klaim masyarakat adat bahwa tidak pernah melepaskan hak adat mereka atas wilayah tersebut.
"Sampai sekarang belum [ada keputusan] karena tim masih dalam proses rapat dan diskusi untuk bahas, karena ini terkait dengan banyak sekali dinas terkait. Ada dinas ATR/BPN, perkebunan, kehutanan, kemudian dari PTSP, baik tingkat kabupaten maupun provinsi," jelas Delila.
Berpotensi pidana?
Direktur program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini, memandang apa yang dilakukan perusahaan itu berpotensi pidana, sebab melakukan pembukaan lahan tanpa izin bertentangan dengan sejumlah regulasi, termasuk undang-undang kehutanan.
"Kalau ditanya apakah ini bisa masuk ke hukum pidana? Ini bisa sekali. Ini sudah masuk ke dalam unsur yang ada dalam Undang-Undang Kehutanan, dia bisa masuk UU No 18 tahun 2013 (tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan) karena dia tetap melakukan pembukaan lahan tanpa izin. Itu termasuk unsur-unsur pidana," kata Grita.
Dia menambahkan, setelah melakukan pencabutan izin semestinya pemerintah melakukan monitoring, apakah perusahaan itu mematuhi keputusan tersebut.
"Jadi tidak hanya pencabutan izin saja kemudian selesai, tapi harus melihat bagaimana compliance pelaku usaha terhadap pencabutan izin ini.
Baca juga:
- Eksklusif: Investigasi ungkap perusahaan sawit Korsel 'sengaja' membakar lahan di Papua
- Investigasi ungkap pembakaran lahan di Papua: DPR sebut 'sudah menginjak harga diri bangsa', perusahaan bantah hasil investigasi
- Sejumlah perusahaan di balik karhutla lolos dari sanksi serius
"Pemerintah perlu memastikan dan memonitor apakah pelaku usahanya sudah betul-betul keluar atau sudah tidak melakukan kegiatan-kegiatan lagi, seperti kasus ini," jelas Grita.
Pendapat senada dikemukakan juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia Asep Komarudin, yang menyebut penegakan hukum "belum maksimal".
"Kita sudah terjadi banyak permasalahan, kemudian harus bergerak penegakan hukumnya. Itu yang kita lihat masih kurang," katanya.
Dia merekomendasikan agar Pemerintah Kabupaten Jayapura, selain mencabut izin lokasi dan izin lingkungan, juga memberikan teguran dan sanksi kepada perusahaan karena tetap melanjutkan pembukaan lahan kendati telah diperintahkan untuk menghentikan aktivitasnya.
"Maka sudah sangat layak Bupati Jayapura untuk memberikan teguran pada perusahaan," kata Asep.
"Yang paling mendasar adalah kemudian setelah semua izin dicabut dan HGU (hak guna usaha)-nya dinyatakan sebagai HGU terlantar, maka kita minta status wilayah tanah ini dikembalikan ke pemiliknya, masyarakat adat. Jadi menjadi tanah adat, bukan tanah negara karena tidak pernah ada pelepasan hak dari masyarakat adat terkait tanah tersebut," imbuh Asep.
PT PNM merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengantongi izin lokasi untuk lahan seluas 32.000 hektar dari Bupati Jayapura pada 2012. Sedangkan izin lingkungan mereka miliki sejak 2014.
Awal Januari lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut izin pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT PNM seluas sekitar 16.000 hektar.
Tapi keputusan ini tak membuat perusahaan menghentikan aktivitasnya.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC