Mengapa Baliho 'Keadilan Rakyat' Karya Seniman Yogyakarta Dituding Anti-Yahudi di Jerman?
Bbc indonesia | 28 Juni 2022, 06:05 WIBDi Jerman, lambang Bintang Daud berkaitan dengan masa lalu kelam ketika Nazi mewajibkan orang-orang Yahudi mengenakan lencana itu untuk mengidentifikasi dan mengopresi mereka.
Kembali ke gambar yang ada di banner karya Taring Padi, terdapat pula figur laki-laki berjanggut di pipi kanan dan kirinya, dengan mata merah, gigi runcing, serta hidung bengkok--gambaran karikatural yang kerap dipakai Nazi untuk mendiskreditkan orang Yahudi.
Figur tersebut mengenakan topi bersimbol SS, satuan khusus Nazi yang terkenal kejam, figur inilah yang memicu kritik keras. Sementara di sisinya terlihat sejawatnya dari M15 Inggris, dan KGB Rusia.
Dikutip melalui situs documenta fifteen, Taring Padi menyatakan bahwa baliho itu "tidak dimaksudkan untuk dikaitkan dengan antisemitisme dalam cara apa pun".
Taring Padi juga mengklaim bahwa mereka "telah berkampanye untuk mendukung dan menghormati keragaman".
"Kami sedih bahwa detil dari baliho ini dimaknai secara berbeda dari maksud sebenarnya. Kami minta maaf atas luka yang timbul dalam konteks ini. Karena itu, dengan sangat menyesal, kami menutupi karya itu," tulis Taring Padi.
"Karya ini menjadi monumen duka atas ruang dialog yang tidak mungkin terlaksana pada saat ini. Monumen ini, kami harap, akan menjadi titik awal untuk berdialog."
Baca juga:
- Museum Holokos di Minahasa: Apa yang jadi keberatan, Zionisme atau Yudaisme?
- Mengenal komunitas Yahudi di Indonesia
Menurut Taring Padi, karya Keadilan Rakyat merupakan kampanye melawan militerisme dan kekerasan yang mereka alami selama kediktatoran militer Suharto selama 32 tahun di Indonesia, serta warisannya yang masih terasa sampai saat ini.
Semua tokoh yang tergambar dalam spanduk itu, kata Taring Padi, merujuk pada simbol-simbol yang umum dikenal dalam konteks politik Indonesia.
"…misalnya birokrasi korup, jenderal militer dan prajuritnya yang dilambangkan dengan babi, anjing, dan tikus untuk mengkritik sistem kapitalis yang eksploitatif dan kekerasan militer."
Spanduk ini sebelumnya juga pernah ditayangkan di sejumlah pameran, antara lain Jakarta Street Art Festival pada 2004, pameran restrospektif Taring Padi di Yogyakarta pada 2018, serta pameran Seni Polifonik Asia Tenggara di Nanjing, China pada 2019.
Setu Legi, Taring Padi: Banner mencoba mengekspos hubungan kekuasaan di balik ketidakadilan
Setu Legi menjadi anggota Taring Padi sejak komunitas ini didirikan tahun 1998.
Berikut wawancaranya dengan wartawan Lea Pamungkas yang melaporkan untuk BBC News Indonesia:
Dalam banner tersebut banyak sekali simbol-simbol yang jika dilihat sekilas tidak memiliki kaitan satu sama lain: 007, Mossad, KGB, M15, Bintang Daud, dan sebagainya. Dan ini pula tampaknya yang kemudian disorot dan jadi masalah. Dapat Anda jelaskan?
Banner tersebut kami buat tahun 2002. Manakala kami tengah hidup di bawah kediktatoran militer, di mana kekerasan negara, eksploitasi alam, dan kebebasan berpendapat menjadi kenyataan sehari-hari.
Seperti semua karya seni kami, banner tersebut mencoba untuk mengekspos hubungan kekuasaan yang kompleks yang berperan di balik ketidakadilan.
Rezim Orde Baru Soeharto adalah salah satu instrumen, namun secara struktural ini berkait dengan instrumen-instrumen negara yang lain dengan karakter penindas yang sama, baik pada masa lalu seperti yang dilakukan Nazi, atau Mossad atau M15. Di sini ada instrumen negara, atau militer dalam bentuk kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia tahun 1990-an secara struktural karakter tersebut sangat dominan, dan tidak bisa tidak karakter tersebut adalah warisan atau kontribusi daerah kekerasan penindasan sebelumnya.
Jadi figur-figur Mossad, KGB, M15 dan lain sebagainya harus dilihat sebagai satuan holistik tentang penindasan. Karena jika dilihat secara zoom maka dengan sendirinya dia akan dimaknai dengan cara yang lain.
Maksud Anda dilihat secara zoom atau pembesaran?
Tanpa hendak menarik permintaan maaf dan penyesalan kami bahwa banner tersebut telah melukai masyarakat Jerman --khususnya masyarakat Yahudi.
Lebih lagi kami belajar dari kesalahan ini, bahwa figur-figur tersebut memiliki makna tertentu dalam konteks sejarah Jerman; saya melihat jika titik pandang pada banner tersebut dilakukan secara zoom atau pembesaran pada satu-satuan figurnya; seperti barang di bawah mikroskop. Maka seketika ia muncul interprestasi yang lain.
Seperti dalam dunia perwayangan, kita dalam saat bersamaan dalam satu layar lebar kita dikenalkan dengan berbagai karakter tokoh. Misalnya dalam Perang Bharatayuda, kita dihadapkan dengan berbagai tokoh dengan ragam karakternya. Jika tokoh tersebut dicabut dari konteksnya, maka detil-detil karakternya bakal muncul lebih tajam dan kehilangan konteks perannya yang signifikan.
Dan ini yang saya kira terjadi kali ini. Kalau banner tersebut dilihat secara keseluruhan, dan tidak dipreteli satu-satu figurnya, maka bakal muncul pemahaman berbeda. Figur-figur itu adalah bagian dari instrumen penindasan.
Banner itu dikerjakan oleh 20 orang bahkan lebih. Dengan masing-masing mengerjakan dengan wawasan pikiran dan kontribusinya. Sebuah narasi besar dengan satuan-satuan kecil yang kami rangkai bersama.
Bahwa kemudian ada figur-figur yang menyinggung perasaan masyarakat Yahudi, kami sama sekali tidak memiliki tendensi itu.
Siapa Taring Padi?
Taring Padi merupakan kelompok seni yang didirikan di Yogyakarta pada 21 Desember 1998, tak lama setelah rezim Orde Baru tumbang.
Mereka meyakini bahwa seni merupakan alat untuk menyampaikan gagasan dan bisa menjadi media pendidikan untuk semua kalangan.
Mereka menentang keras paham "Seni Untuk Seni" yang diyakini selama kurun Orde Baru. Dikutip dari Kompas.com, Taring Padi meyakini bahwa seni dan politik tidak bisa dipisahkan.
Peneliti budaya Heidi Arbuckle melalui bukunya berjudul Taring Padi: Praktik Budaya Radikal di Indonesia (2010), memaparkan bahwa Taring Padi didirikan oleh sekelompok anak muda berpendidikan seni rupa sambil membayangkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), meski minimnya akses dokumentasi terhadap karya-karya Lekra membuat Taring Padi tidak banyak mengenal estetika visual yang dianut Lekra.
Berdirinya kelompok ini juga merupakan respons mereka terhadap perubahan situasi politik di Indonesia pada 1998 yang sangat monumental.
Mereka membuat karya propaganda yang mengangkat isu kerakyatan, lalu menggandakan dan memasangnya di sejumlah ruang publik di Yogyakarta tanpa izin. Akibatnya, banyak karya mereka dibakar oleh aparat.
"Bagi Taring Padi, karya menjadi alat untuk aksi. Perlakuan orang atas karya itu menjadi hal yang lain," tulis Heidi.
Ade Darmawan, ruangrupa: 'Kami sama-sama kaget'
Setelah tuduhan antisemitis pada karya People's Justice dari Komunitas Taring Padi mengemuka, serta merta semua orang berpaling pada ruangrupa, kelompok seniman yang menjadi kurator pameran internasional bergengsi itu.
Berikut wawancara wartawan Lea Pamungkas dengan Ade Darmawan, salah satu pendiri ruangrupa melalui telepon, Jumat (24/6):
Banyak orang berpendapat bahwa ruangrupa bersikap terlalu akomodatif terhadap Taring Padi. Lolosnya figur-figur yang dianggap antisemitis ini adalah salah satu bentuknya. Anda bisa menjelaskan?
Saya mungkin tidak bisa menjawab secara langsung, tetapi tampaknya konsep pendekatan kurasi kami, yakni konsep Lumbung adalah salah satu hal. Sebuah konsep yang tidak bereaksi pada satu tema yang memusat, atau katakanlah dalam manifestasi pameran yang konvensional yang biasanya kita lihat dalam sebuah peristiwa pameran seni rupa.
Kami lebih tertarik pada tawaran-tawaran model dan praktik dari seniman ataupun kolektif seni yang sudah, sedang, dan akan mereka kerjakan. Kami percaya pada seniman dan kolektif yang terlibat untuk juga berkerja bersama seniman, pelaku lain dalam ekosistem mereka.
Karya-karya yang ada dalam Documenta15 ini adalah bentuk-bentuk praktik artistik, struggles atau model ekonomi serta edukasi yang secara mendasar berakar pada sebuah komunitas seni atau pada sebuah ekosistem tertentu.
Karenanya banyak karya-karya yang ada di sini, adalah hasil pengumpulan atau tabungan atau proses yang terus menerus dari komunitas atau kolektif tersebut. Karenanya jika ditilik dalam wawasan seni yang konvensional, Documenta15 ini bukan pameran yang representatif.
Dengan pendekatan prinsip lumbung ini kami tidak melihat pameran dan engagement di Kassel sebagai sebuah halte terakhir. Tapi ia menjadi bagian dari perjalanan lumbung dan akan terus berproses bahkan setelah Documenta15 ini, lewat terbentuknya jaringan, kolaborasi dan pertemuan-pertemuan yang sudah digagas sampai saat ini.
Bagaimana proses dengan Taring Padi?
Dari awal proses Documenta15 sekitar dua tahun yang lalu, kami terus menerus melakukan dialog. Dan ya, kami betul-betul sama-sama kaget ketika banner tersebut dituduh antisemitis. Karena kami sama sekali tidak terpikirkan dan sama sekali tidak punya tendensi tentang itu.
Bagaimana Anda melihat karya tersebut pada awalnya?
Kami sudah lama mengenal komunitas Taring Padi dan karya-karyanya. Satu komunitas yang cukup tegar sejak tahun 1998, dan mempunyai sejarah evolusi tersendiri di Indonesia. Sebuah komunitas progresif yang terjun langsung ke lapangan, terlibat bersama warga dan menjadi bagian penting dari sebuah aksi. Tema-tema yang mereka usung beragam dari penindasan, militerisme, perlawanan buruh dan petani, sampai masalah lingkungan.
Bisa jadi karena ini pula ketika karya-karya mereka dipresentasikan di dalam ruangan menjadi figur lain dengan lebih banyak wajah. Banyak orang demikian terkesan dengan pameran komunitas Taring Padi. Luar biasa, menurut mereka. Dan banner itu, awalnya adalah salah satu retrospektif dalam konteks sejarah Indonesia dari tahun 1998 sampai sekarang. Dengan dimensi kuat militerisme dan manipulasi kekuasaan.
Apakah dibangun kondisi dialogis saat ada rencana pencabutan?
Sangat kecil, selain percepatan isu demikian deras baik pada tingkat real-politics maupun media yang sangat keras. Awalnya karya ditutup seluruhnya. Namun pada akhirnya semuanya dicabut. Kami menyetujui, karena ternyata banner tersebut telah melukai banyak orang.
Reportase tambahan oleh wartawan Lea Pamungkas di Belanda
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC