Mengapa Baliho 'Keadilan Rakyat' Karya Seniman Yogyakarta Dituding Anti-Yahudi di Jerman?
Bbc indonesia | 28 Juni 2022, 06:05 WIBBanner karya kelompok seniman Taring Padi asal Yogyakarta yang ditampilkan di Kassal, Jerman diturunkan setelah dituding bermuatan "antisemitisme" alias anti-Yahudi oleh publik dan pemerintah Jerman.
Di sisi lain, pakar dan kritikus seni di Indonesia menilai bahwa banner itu lebih dimaksudkan untuk mengkritik militerisme dan otoritarianisme di era Orde Baru di Indonesia, seperti yang juga dijelaskan oleh Taring Padi.
Baliho berjudul "People's Justice" atau "Keadilan Rakyat" itu ditampilkan di salah satu pameran seni kontemporer terbesar di dunia, Documenta15, yang digelar setiap lima tahun sekali di Kota Kassel.
Karya seni yang dipamerkan pada pameran tahun ini dikurasi oleh kelompok seniman kolektif yang berbasis di Jakarta, ruangrupa, yang namanya selalu ditulis menggunakan huruf kecil dan tanpa spasi.
"Kami kaget ketika baliho People's Justice karya Taring Padi, dituduh antisemitis. Kami gagal membaca bahwa simbol tersebut ada di dalamnya. Tapi di atas semuanya, kami sama sekali tidak punya tendensi ke arah itu," demikian tegas Ade Darmawan dari ruangrupa kepada wartawan Lea Pamungkas yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Jumat (24/6).
Hal senada dinyatakan Setu Legi dari Komunitas Taring Padi.
"Gambar-gambar itu sama sekali tidak dimaksudkan sebagai kebencian yang ditujukan pada kelompok etnis atau agama tertentu, tetapi sebagai kritik terhadap militerisme dan kekerasan negara. Kami menggambarkan keterlibatan pemerintah negara Israel dengan cara yang salah - dan kami meminta maaf. Antisemitisme tidak memiliki tempat di hati dan pikiran kami," jelasnya dengan suara lelah.
Kedua kelompok seniman ini juga telah menyampaikan permintaan maaf tertulis. Wawancara lengkap dengan Ade Darmawan dan Setu Legi dapat dibaca di bagian bawah artikel ini.
Pakar seni dan kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Faruk Tripoli, menilai simbol-simbol yang diperdebatkan dalam banner itu lebih bertujuan untuk merepresentasikan otoritarianisme, namun kritik yang terkandung lebih mengarah pada konteks politik di Indonesia yang selama 32 tahun dikuasai Orde Baru.
Namun menurut Faruk, simbol-simbol itu "memang bermasalah" karena mengandung pencitraan yang mengandung "hegemoni kolonial".
Sebaliknya, kritikus seni rupa di Indonesia, Bambang Bujono, menilai karya itu bersifat "karikatural" dan dia "tidak menemukan antisemitisme" dalam karya itu.
Namun, perbedaan pemaknaan atas simbol yang digunakan sebaiknya, kata dia, dibahas melalui diskusi intelektual.
"Dari karyanya sendiri, itu sangat Indonesia. Apa konteks itu nggak ditangkap? Itu seperti lukisan Bali, karikatural karena ada figur Mossad, James Bond, lalu MI6, seharusnya ditanggapi secara santai," kata Bambang kepada BBC News Indonesia.
Baca juga:
- Kritik 'Jokowi 404: Not Found' berujung penghapusan mural: 'mengapa kita tidak boleh protes?'
- Pameran 'Revolusi! Kemerdekaan Indonesia' di Belanda dan istilah periode 'Bersiap' yang memantik polemik
- Sediakan patung Hitler untuk selfie, museum di Yogyakarta dikecam dunia
Sebelumnya, seruan untuk menurunkan baliho "Keadilan Rakyat" itu telah disuarakan oleh Kedutaan Besar Israel di Jerman yang menyebut bahwa "itu bukan lah kebebasan berekspresi, melainkan ekspresi dari anti-semitisme gaya lama".
Menteri Kebudayaan Jerman, Claudia Roth, yang awalnya gigih mempertahankan prinsip kebebasan artistik, akhirnya berkomentar keras. Pernyataannya dikutip berbagai media Jerman, bahwa antisemitisme seharusnya tidak mendapat tempat dalam masyarakat maupun tempat seni di Jerman.
Roth menuturkan bahwa manajemen dan kurator Documenta15 telah berulang kali meyakinkan bahwa tidak ada antisemitisme pada pameran seni itu.
"Saya mempercayai itu. Kepercayaan itu telah dikhianati," kata Roth.
Sebagai tindak lanjut atas peristiwa ini, Roth melalui keterangan tertulis, menyatakan perlu ada "reformasi struktural yang fundamental terhadap documenta".
Perdebatan terkait antisemitisme telah mewarnai Documenta15 sejak Januari lalu, ketika pihak yang menamai dirinya sebagai Aliansi Melawan Antisemitisme Kassel menuduh ruangrupa mendukung aksi boikot terhadap Israel.
Mereka juga mempertanyakan keikutsertaan kelompok seniman kolektif asal Palestina, The Question of Funding, yang mendukung gerakan pemboikotan Israel dalam pameran ini.
Kemudian pada Mei, sejumlah orang tidak dikenal mencoret dinding di ruang pameran yang rencananya akan menjadi tempat bagi karya-karya The Question of Funding dengan grafiti bertuliskan "187" dan "PERALTA".
Penyelenggara meyakini "187" bermaksud sebagai ancaman pembunuhan apabila merujuk pada pasal terkait pembunuhan di hukum pidana California, AS.
Sedangkan "PERALTA" diyakini mengacu pada pemimpin kelompok sayap kanan Spanyol, Bastian Frontal, bernama Isabel Media Peralta yang dihukum atas tuduhan menghasut kekerasan terhadap Muslim.
Pada saat itu, ruangrupa menyatakan bahwa mereka menolak melanggar kebebasan artistik, namun mendukung netralitas politik.
ruangrupa juga bersedia untuk berdialog terkait hal ini, hanya saja rencana dialog itu dibatalkan oleh penyelenggara.
'Terjebak hegemoni kolonial'
Menurut Faruk Tripoli dari UGM, kehadiran figur berhidung bengkok serta sosok tentara berkepala babi dan bertopi Mossad dalam baliho yang diperdebatkan itu "mengandung hegemoni kolonial".
"Citra yang ditampilkan seperti hidung bengkok itu kan menunjukkan stereotip kolonial [Yahudi], ini kan sudah masalah," ujar Faruk.
"Kemudian karena di situ juga ada simbol-simbol [terkait holokos] Nazi, maka menjadi wajar yang ada di pikiran masyarakat Jerman ketika melihat itu sudah pasti berasumsi bahwa itu antisemit."
Oleh sebab itu, Faruk mengatakan dirinya bisa memaklumi reaksi yang timbul di Jerman.
"Tanpa dipamerkan di Jerman pun, itu harus dikoreksi sebetulnya. Wajar menjadi masalah karena Jerman sendiri sedang berusaha menebus dosanya, tidak mau mengulang itu."
"Memang saatnya kita kembali belajar menggunakan wawasan yang lebih baru terkait hegemoni ini. Karena kalau dibilang seni itu bebas, itu hanya ilusi saja, tetap kita harus melihat konteksnya," ujar dia.
Kritikus seni rupa di Indonesia, Bambang Bujono, menilai perbedaan perspektif terkait pembacaan karya seni tersebut seharusnya dibahas melalui dialog intelektual.
"Bukan ditindaklanjuti lewat campur tangan kekuasaan [pemerintah] seperti ini, diturunkan begitu saja tanpa dialog," ujar Bambang.
Menurut Bambang, figur tentara bersenjata yang ada pada baliho tersebut lebih merupakan simbol yang digunakan oleh Taring Padi untuk menggambarkan opresi militer yang terjadi pada era Orde Baru.
Konteks itu, kata dia, juga perlu dipahami untuk membuka perspektif lain dari karya seni tersebut.
"Mereka tidak melihat ini sebagai karya seni dari Indonesia. Jadi emang perlu dijelaskan konteksnya dari sudut pandang Indonesia," tuturnya.
Terkait batasan-batasan dalam penggunaan simbol-simbol dalam seni, Bambang mengatakan hal itu sulit dirumuskan.
"Karena kalau semuanya harus mengacu pada batas-batas sensitivitas, tidak akan ada habisnya, sebab dalam satu lukisan dengan yang lain, sebuah simbol yang sama bisa jadi memiliki makna yang berbeda," kata Bambang.
Kassel, Documenta, dan sejarahnya
Sempat terjadi suasana tegang dan ketidakpastian pascapenurunan baliho People's Justice, demikian menurut Arif Yudi dari Jatiwangi art Factory (JaF).
"Bukan satu dua kali, tiba-tiba banyak penduduk setempat kami temui selagi belanja misalnya, justru meminta maaf kepada kami atas ketidaknyamanan yang kami alami," jelasnya dengan nada heran.
Documenta15 adalah Documenta terbesar, yang menyertakan 67 komunitas seniman dari berbagai penjuru dunia, dan menampilkan lebih dari 1.000 karya. Sebagian besar berasal dari dunia bagian selatan, kecuali komunitas Black Lives Matters dari Belanda.
Menurut banyak pengamat, Documenta kali ini adalah yang pertama menawarkan ruang lingkup lebih luas kepada seniman dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Atau dalam istilah sejarawan seni dari Universitas Leiden, Janneke Wesseling, dalam koran Belanda NRC (22/6), untuk pertama kalinya hegemoni seniman Barat dipatahkan.
Bagi penduduk Kassel, pameran Documenta yang berlangsung lima tahun sekali ini adalah peristiwa yang ditunggu. Bisa jadi karena berkat Documenta, perhatian dunia internasional tertuju ke kota berpenduduk sekitar 200.000 orang ini.
Documenta pertama kali digelar pada 1955 dengan pemrakarsanya, Arnold Bode (1900-1977). Bode seorang pelukis dan guru yang terlibat konflik tajam dengan rezim Nazi pada Mei 1933.
Lembaran kelam pernah dialami kota ini dikarenakan kebrutalan Nazi. Militer pimpinan Adolf Hitler itu menghancurkan semua sinagoga, institusi, dan bangunan Yahudi di Kassel.
Pengeboman terberat terjadi pada 22 Oktober 1943. Dalam satu malam, 10.000 orang tewas dan 80% perumahan hancur. Kota tua dengan banyak rumah setengah kayunya merupakan target ideal dalam strategi yang disebut pengeboman moral.
Sementara Documenta sendiri kerap diwarnai dengan kejutan. Seni dan politik kerap bertemu di sini, misalnya situasi menyedihkan dari Afrika, Asia dan Amerika Latin dikecam melalui instalasi dan pertunjukan. Seniman China, Ai Weiwei, juga pernah hadir di sini dengan protesnya terhadap situasi kemanusiaan di China.
Seperti apa karya seni yang dituding anti-Yahudi?
Baliho karya Taring Padi yang dibuat pada 2002 itu menampilkan barisan tentara bersenjata, salah satunya sosok berkepala babi, menggunakan syal Bintang Daud, serta helm bertuliskan "Mossad", yang merupakan badan intelijen Israel.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC