Dugaan Korupsi Dana Bantuan Pesantren Rp2,5 Triliun, Kementerian Agama Perlu Reformasi Tata Kelola
Bbc indonesia | 2 Juni 2022, 05:05 WIBIndonesia Corruption Watch, ICW, menyatakan dugaan korupsi di Kementerian Agama terkait dana Bantuan Operasional Pendidikan atau BOP, dengan nilai sekitar Rp2,5 triliun diduga terjadi karena belum ada upaya memperbaiki aturan penyaluran dana.
ICW menemukan indikasi korupsi dalam penyaluran BOP pesantren untuk masa pandemi di lingkup Kemenag dengan dugaan terjadi baru di lima daerah, yakni Aceh, Sumatra Utara dan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. ICW mengirim surat tentang temuan tersebut ke Kementrian Agama, tetapi belum mendapatkan respons.
Sementara pengamat menilai korupsi yang terus terjadi di Kementerian Agama (Kemenag) adalah akibat "masalah birokrasi yang mengakar" dan karenanya perlu "reformasi tata kelola" untuk memperkecil kemungkinan penyelewengan atau kesalahan administrasi.
Baca juga:
- Dugaan jual beli jabatan hingga korupsi Quran dan dana haji: Ada apa dengan Kementerian Agama?
- Dugaan suap: Jaksa KPK sebut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin terima uang Rp70 juta
- Korupsi: Ongkos politik sangat mahal, pejabat 'terpaksa perdagangkan kewenangan'
Koordinator Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, mengatakan korupsi di Kemenag yang terus berulang disebabkan masalah birokrasi yang sudah mengakar, yang sebenarnya juga terjadi di berbagai instansi pemerintah lainnya. Sebagian besar pelakunya pun para birokrat, yang duduk sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), di luar pejabat politik.
"Birokrasi kita, sektor publik kita ini tidak profesional, tidak otonom, tidak steril dari pengaruh kelompok lain yang itu bisa dimanfaatkan oleh kelompok lain di luar yang itu bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan rente dari relasinya secara patronase dengan sektor publik ini," kata Adnan, Selasa (31/05).
Cendekiawan perempuan Muslim, Lies Marcoes, juga mengatakan hal yang sama dengan Adnan. Dia menyarankan Kemenag melakukan "reformasi tata kelola" untuk memperkecil kemungkinan penyelewengan atau kesalahan administrasi.
"Harus ada upaya reformasi di Kementerian Agama. Kasihan mereka di sekolahnya belajar teologi tiba-tiba jadi birokrat. Harus inklusif dan terbuka, mengundang ahli-ahli di bidang keuangan misalnya, jangan background-nya selalu dari IAIN," ujar Lies.
Dalam laporan terbarunya, ICW menemukan indikasi penyimpangan dan korupsi dalam penyaluran Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) pesantren, yang nilainya keseluruhan nilai programnya mencapai Rp2,5 triliun.
BBC News Indonesia sudah menghubungi Inspektur Jenderal Kemenag, Nizar, terkait dugaan korupsi ini namun sampai berita ini diturunkan belum mendapatkan jawaban.
Indikasi korupsi dana BOP, Aceh terbesar
ICW menemukan beberapa penyalahgunaan dalam penyaluran BOP Pesantren— di Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten—antara lain soal kecacatan administratif, praktik pemotongan, penyalahgunaan BOP untuk utang, sampai "kampanye politik".
Pemantauan hanya dilakukan pada pondok pesantren dengan pertimbangan luasnya cakupan penerima BOP bagi lembaga pendidikan Islam.
Beberapa kecacatan administratif yang ditemukan ICW meliputi identitas pesantren yang tidak lengkap, pesantren fiktif, hingga jumlah bantuan yang diduga tidak sesuai dengan kategori pesantren.
Dari lima daerah yang menjadi pantauan, potensi kerugian akibat ketidaksesuaian penyaluran terdapat di Aceh. Nilainya mencapai Rp7 miliar.
Anggota Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Hafijal, mengatakan dari 44 pesantren penerima BOP yang tersebar di Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh Utara, terdapat belasan penyelewengan. Hafijal juga merupakan bagian dari tim pemantau untuk laporan ICW kali ini.
"Kami mengambil 22 pesantren untuk sampel, dari jumlah ini terdapat sembilan pesantren yang ada pemotongan, dua tidak ada lagi aktifitas mondok, dan satu pesantren yang tidak pernah ada keberadaannya, serta sejumlah penerima bantuan yang tidak sesuai," kata Hafijal, kepada Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (31/05).
Diduga penyimpangan juga terjadi di wilayah lain di Aceh, tapi kali ini fokus pemantauan hanya ke dua kabupaten yang berada di wilayah timur Aceh.
"Kita menduga juga ada penyimpangan yang terjadi, sebenarnya ini semua salah, tim verifikasi salah, anggota politik yang terlibat salah dan masyarakat juga salah karena membiarkan hal ini terjadi," kata Hafijal.
Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Aceh, Ali Rasab Lubis, mengatakan pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu laporan hasil pemantauan program BOP dari ICW itu.
"Kita akan pelajari dulu kebenaran laporan tersebut," kata Ali Rasab, Selasa (31/05).
BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi Kepala Kantor Wilayah Kemenag Aceh dan Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Aceh, keduanya saat ini sedang berada di luar kota dan baru bersedia untuk di wawancara dalam beberapa hari mendatang.
BOP dipotong sampai digunakan untuk kampanye
Ada pula dugaan praktik pemotongan bantuan oleh pihak ketiga di lima provinsi yang menjadi tempat pemantauan, menurut laporan ICW. Besarannya mulai dari Rp1 juta hingga 50% dari nilai bantuan yang didapat.
"Pihak ketiga diketahui tidak hanya membantu mengurus pencairan dana bantuan BOP, tetapi juga membantu proses laporan pertanggungjawaban penggunaan dana BOP."
"Artinya ada kemungkinan laporan penggunaan dana BOP yang disampaikan pondok pesantren merupakan laporan fiktif karena ada penggunaan dana yang tidak sesuai dengan aturan Juknis, yaitu mengenai peruntukan penggunaan dana BOP," tulis ICW dalam laporannya.
Praktik pemotongan BOP ditemukan di Kabupaten Pekalongan oleh Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah setempat. Pengelola lembaga pendidikan di Desa Linggoasri, Pekalongan, Mustajirin, mengatakan dana BOP yang dia cairkan sebesar Rp10 juta dipotong sebesar Rp3 juta oleh koordinator kecamatan pada 2020 lalu.
Kasus tersebut sudah ditangani pihak Kejaksaan Negeri Kajen.
Namun, kejaksaan menemukan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Pekalongan hanya memotong sebesar Rp500.000. Kemungkinan potongan uang itu dibagi secara berjenjang mulai dari pengurus FKDT tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten.
Kasus di Pekalongan itu mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp713 juta.
Selain itu, ada juga penggunaan bantuan yang tidak sesuai dengan pemanfaatan, salah satunya untuk melunasi utang-utang pesantren yang sudah ada sebelum pandemi.
Bahkan pencairan dana BOP yang seharusnya diterima langsung oleh pengurus pondok pesantren melalui bank, ternyata dimanfaatkan oleh oknum politisi untuk mencari simpati di kalangan pesantren, seperti yang terjadi di Banten.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menghadiri acara penyerahan dana bantuan operasional pondok pesantren, TPQ, dan madrasah, di Pondok Pesantren Al-Qur'an Bai Mahdi Sholeh Ma'mun, Lontar Kota Serang pada September 2020 lalu.
Dalam acara tersebut terpampang spanduk bergambar wajah Yandri Susanto dan juga papan simbolis dengan Namanya, padahal program BOP berasal dari APBN Tahun Anggaran 2020 Kementerian Agama.
Pengawasan dan pendampingan ekstra
Jika temuan indikasi korupsi ICW itu benar, Lies Marcoes menilai inspektorat Kemenag "lalai" melakukan kontrolnya. Oleh sebab itu, dia menyarankan ada pengawasan dan pendampingan yang lebih lagi, pada "celah-celah" yang rentan dimanfaatkan untuk korupsi.
"Kalau temuan ICW masih ada, itu berarti pengawasan terhadap Kemenag itu harus diperlakukan beda juga. Harus ada lebih banyak pengawasan dan pendampingan. Kontrol terhadap mereka harus lebih ekstra agar tidak terjadi penyelewenang-penyelewengan, kalau itu memang terjadi," kata Lies.
Perihal ketimpangan relasi antara eksekutif dan legislatif juga perlu diperhatikan, menurut Lies. Ketika posisi Kemenag lebih lemah, hal itu akan menjadi Kemenag sebagai "sasaran ATM oleh oknum-oknum partai" yang berada di legislatif.
"Kalau Kementerian Agama begitu banyak celah, misalnya manajemennya kurang baik, itu menjadi sasaran bagi oknum legislatif untuk mencecar Kementerian Agama dan Kementerian Agama membutuhkan cara agar dananya cair.
"Mekanisme apa yang bisa memastikan agar dana itu cair? Satu, memperbaiki manajemen atau membayar. Kalau manajemennya di dalamnya buruk, itu bagaimana caranya? Itu menyebabkan ada peluang korupsi," kata Lies menjelaskan.
Oleh sebab itu, Lies mengatakan harus ada "upaya reformasi dan memperkuat manajerial" di Kemenag.
Mengapa tidak takut dan tidak ada efek jera?
Penyimpangan dan indikasi korupsi yang ditemukan ICW, mengingatkan pada kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di Kemenag.
Pada 2006 lalu, Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar terbukti menyalahgunakan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), Dana Abadi Umat (DAU), dan rekening lain di luar DAU.
Dia divonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Total kerugian negara pada kasus Said Agil diduga mencapai lebih dari Rp700 miliar.
Pada 2011-2012, seorang pejabat Kemenag, dua anggota DPR, dan pihak swasta terlibat kasus korupsi pengadaan Al-Qur'an. Pada saat itu, kerugian negara mencapai Rp27 miliar.
Berikutnya, kasus korupsi yang menjerat Menteri Agama Suryadharma Ali pada 2014. Dia terbukti menyalahgunakan Biaya Penyelanggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Dana Operasional Menteri. Total kerugian negara pada saat itu sebesar Rp27,3 miliar dan 18 juta riyal.
Pada 2019, pejabat Kemenag dan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy terlibat kasus dugaan korupsi jual beli jabatan. KPK, yang saat itu melakukan penangkapan, menemukan uang senilai Rp300 juta.
Kasus ini juga sempat menyeret nama Menteri Agama Lukman Hakim pada kala itu.
Adnan mengatakan ada beberapa hal yang menjadikan korupsi terus terjadi di instansi-instansi pemerintah, tak terkecuali Kemenag. Selain masalah birokrasi, tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku korupsi juga belum dilakukan, menurut Adnan. Bahkan terkesan adanya "pembiaran".
"Kalau kita coba kaitkan dengan konteks hari ini, ketika banyak ASN yang sudah dipidana korupsi, putusannya sudah inkracht, kemudian tetap dijadikan sebagai ASN, mereka tidak dipecat, berarti ini ada problem dalam pengelolaan ASN kita, dan itu akan melahirkan ekosistem yang subur bagi korupsi kalau pengelolaan sistemnya tidak memadai," kata Adnan.
Oleh sebab itu, dia menilai tidak ada efek jera yang ditimbulkan dari pengungkapan kasus-kasus korupsi yang pernah terjadi sebelumnya karena penegakan hukum saja ternyata memang tidak cukup.
"Menurut saya memang tidak ada niat dari pemerintah untuk serius memperbaiki SDM-nya dan ini yang akan membuat masalah korupsi akan terjadi berulang dan ongkosnya itu bukan hanya pada anggaran negara, tetapi juga pada tujuan-tujuan pembangunan secara keseluruhan," ujar Adnan.
Wartawan Hidayatullah, di Aceh, berkontribusi dalam laporan ini.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC