Perwira TNI Jadi Penjabat Kepala Daerah: 'Mencederai Reformasi dan Prinsip Demokrasi'
Bbc indonesia | 27 Mei 2022, 09:34 WIBAkan tetapi polemik ini pun menuai pro dan kontra di kalangan parlemen.
Anggota Komisi II DPR dari partai oposisi PAN, Guspardi Gaus tidak sepakat dengan pernyataan Junimart.
"Yang jadi persoalan ini adalah ada putusan MK yang menyatakan meminta kepada pihak pemerintah agar dalam pengisian jabatan kepala daerah yang bersifat penjabat ini untuk tidak, bukan menghindari, untuk tidak menunjuk mereka yang berstatus TNI/Polri aktif. Yang dimaksud dalam hal itu berarti personalnya, bukan jabatannya," terang Guspardi.
Diakui politisi Partai PAN ini bahwa dalam Undang-Undang Pilkada membenarkan TNI/Polri aktif yang berada dalam jabatan ASN bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.
Namun jika menimbulkan perdebatan, "kenapa harus dipaksakan? Kan masih banyak tenaga pratama untuk diberi amanah sebagai penjabat kepala daerah itu sehingga tidak menimbulkan pro dan kontra?" tegas Guspardi.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benny Irwan mengatakan pemerintah memiliki "dasar sendiri" dan "memperhatikan aturan-aturan dan regulasi yang berlaku".
"Kemudian melalui mekanisme yang berjalan panjang. Bukan hanya pada penujukan atau penugasan penjabat kepala daerah kali ini, tapi sudah dimulai sejak 2017, 2018, dan 2020," kata Benny.
Kembali ke dwi fungsi era Orde Baru
Akan tetapi, penunjukan perwira TNI sebagai penyelenggara pemerintah daerah, kata Guspardi, tak ubahnya dwi fungsi ABRI selama 30 tahun pemerintahan Soeharto di era Orde Baru.
Salah satu agenda Reformasi pada 1998, menurut Guspardi, adalah "mengembalikan TNI/Polri pada porsi sesuai dengan tupoksi TNI/Polri".
"Jadi ranah jabatan politis harus dipegang oleh sipil. Kalau seandainya ada TNI/Polri ingin maju, silakan mundur dari jabatan TNI/Polri-nya itu. Sama seperti ASN (aparatur sipil negara) yang ingin jadi kepala daerah," tegas Guspardi.
Pakar hukum tata negara Feri Amsari juga menganggap bahwa insiden ini akan "memaksa dwi fungsi terulang kembali".
"Padahal konsep itu jelas melanggar reformasi yang kita gadang-gadangkan di tahun 98," kata dia.
Lantas, apa yang terjadi jika dwi fungsi terulang kembali?
Sederhananya, kata Feri, jika nilai-nilai konstitusional dilanggar - termasuk dilakukannya dwi fungsi TNI dan kepolisian, itu akan berdampak pada penurunan nilai demokrasi dan semakin mempersempit ruang demokrasi.
"Pasti nilai demokrasi kita akan menurun, ruang-ruang demokrasi akan tertutup, dan paling penting nilai konstitusional kita dengan terlalu mudah dilanggar oleh penyelenggara negara," cetusnya.
Merujuk pada laporan bertajuk Generals gaining ground: Civil-military relations and democracy in Indonesia menyebut bahwa selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, tampak militer mendapatkan pijakan yang lebih besar dalam peran sipil-militer, ditandai dengan pengangkatan beberapa tokoh Orde Baru dalam politik.
Laporan itu juga mengungkap meningkatnya ketergantungan pada sistem teritorial TNI Angkatan Darat, dan semakin berperannya pensiunan perwira militer dalam membentuk wacana publik dan kebijakan.
Menurut indeks Demokrasi Freedom in the World 2020 dari Freedom House, Indonesia dianggap sebagai "partly free" (sebagian bebas) dengan skor kebebasan 61 (dari 100). Peringkat ini turun selama pemerintahan Jokowi, dari 65 pada 2017, menjadi 64 pada 2018, dan menjadi 62 pada 2019.
Sementara skor kebebasan sipil negara saat ini adalah 31 (dari 60), kemunduran lain dari 34 pada 2018 dan 32 pada 2019.
Sentralisasi dan campur tangan pusat ke daerah
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menyebut selain melanggar sejumlah perundangan dan mencederai reformasi, penunjukan ini juga memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah.
"Kekhawatiran publik itu bahkan tak hanya tentang dwifungsi TNI yang akan kembali, tapi ada upaya untuk memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah yang ini dimanfaatkan melalui mekanisme penunjukkan penjabat itu," katanya.
Hurriyah juga menegaskan pentingnya "keterbukaan" dan "transparansi publik dalam penunjukan penjabat kepala daerah."
"Jangan sampai muncul persepsi bahwa mekanisme penunjukkan kepala daerah dimanfaatkan untuk memperkuat sentralisasi dan campur tangan pemerintah pusat," tutur Hurriyah.
Baca juga:
- Pemekaran Papua: Jokowi setuju bahas regulasi dengan DPR, sejauh mana aspirasi warga lokal akan didengar?
- Bagaimana kemampuan pemerintah Papua kelola dana otonomi khusus yang terkadang disebut 'uang darah'?
- Puluhan triliun dana otonomi khusus dialirkan, mengapa masih ada tuntutan 'Papua merdeka'?
Feri Amsari dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas menduga "visi sentralistik" ini yang mendasari penunjukan Andi Chandra sebagai penjabat kepala daerah.
"Saya pikir ada unsur kesengajaan penempatan ini dengan visi kurang lebih sentralistik di pemerintahan kita," kata dia.
"Ada upaya untuk memperpanjang tangan-tangan pemeritah pusat di daerah, padahal konsep konstitusional kita adalah otonomi yang seluas-luasnya."
Akan tetapi Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benny Irwan, menegaskan bahwa penunjukan perwira TNI aktif sebagai penjabat kepala daerah itu "tidak serta merta diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri".
"Keputusan ada di pimpinan sidang TPA (tim penilai akhir yang diketuai oleh Presiden Joko Widodo)."
"Kewenangan ini sepenuhnya adalah [hak] prerogeratif-nya presiden. Untuk bupati dan wali kota, untuk penerbitan keputusannya memang didelegasikan pada Menteri Dalam Negeri," terang Benny.
Ia juga beralasan, Andi Chandra ini adalah "pejabat tinggi pratama yang tepat" untuk ditugaskan menjadi penjabat Bupati Seram bagian barat.
"Kita memahami dari pemetaan kondisi di wilayah itu beberapa kabupaten di Maluku perlu mendapatkan perhatian khusus, ada karakteristik yang perlu diperhatikan secara spesifik di Seram Bagian Barat, sehingga persoalan-persoalan yang potensi menimbulkan konflik bisa diatasi," katanya.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC