Perwira TNI Jadi Penjabat Kepala Daerah: 'Mencederai Reformasi dan Prinsip Demokrasi'
Bbc indonesia | 27 Mei 2022, 09:34 WIB
Penunjukan perwira TNI aktif sebagai penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku dipandang sebagai preseden buruk yang akan membangkitkan kembali dwifungsi TNI, sekaligus mencederai reformasi dan prinsip demokrasi.
Penunjukan Kepala Badan Inteligen Negera (BIN) Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat menuai pro dan kontra sebab dianggap melanggar ketentuan perundangan, salah satunya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut anggota TNI dan Polri aktif dilarang menjadi penjabat kepala daerah.
Menkopolhukam Mahfud MD dan Wakil Komisi II DPR, Junimart Girsang berkukuh bahwa merujuk ketentuan lain, yakni Undang-Undang tentang Pilkada, siapapun yang menjabat sebagai pimpinan tinggi pratama, termasuk anggota TNI, bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.
Namun pakar hukum dan ilmu politik menyebut bahwa penunjukan perwira TNI dan Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah adalah preseden buruk karena mengembalikan Indonesia pada era dwi fungsi ABRI di era Orde Baru dan memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah.
Baca juga:
- Mendagri klaim penunjukan penjabat kepala daerah sudah 'demokratis', tapi mengapa dituding 'tidak transparan' dan rentan 'dipolitisasi'?
- Jenderal polisi jadi pejabat gubernur Jabar, yang boikot dan mengecam
- Penunjukan dua jenderal polisi sebagai pejabat gubernur dinilai tak layak
"Kekhawatiran publik itu bahkan tak hanya tentang dwifungsi TNI yang akan kembali, tapi ada upaya untuk memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah yang ini dimanfaatkan melalui mekanisme penunjukan penjabat itu," ujar Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Rabu (25/05).
Penunjukan bupati ini merupakan bagian dari lebih 250 kepala daerah yang habis masa jabatannya dan posisinya diganti sementara sampai Pilkada pada 2024.
Sebanyak 24 gubernur serta 248 bupati dan/atau wali kota masa jabatannya berakhir pada rentang 2022-2024. Menempatkan perwira TNI/Polri sebagai penjabat akan makin menjauhkan profesionalisme TNI/Polri yang berfokus pada pertahanan dan keamanan.
Sebelumnya, pengangkatan Komisaris Jenderal Polisi Mochamad Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat pada 2018, sempat menuai kontroversi serupa.
Apa polemiknya?
Kementerian Dalam Negeri menunjuk Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin menjadi penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Ia dilantik pada Selasa (24/05) silam.
Chandra dilantik menggantikan bupati sebelumnya, Timotius Akerina, yang masa jabatannya berakhir pada 22 Mei lalu.
Penunjukkan pria yang berstatus sebagai perwira TNI aktif ini menjadi polemik, karena menuai pro dan kontra.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) sekaligus dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, menegaskan bahwa pengangkatan anggota TNI aktif itu bertentangan dengan sejumlah aturan dan regulasi, yakni bertentangan dengan UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) serta Undang-Undang (UU) TNI dan UU Kepolisian.
Dalam UUD 1945, dijelaskan oleh Feri, bahwa pembentukan TNI dan kepolisian adalah "untuk pertahanan dan keamanan, bukan penyelenggara pemerintah daerah".
Adapun UU TNI dan UU Kepolisian juga melarang anggota TNI dan kepolisian yang aktif untuk mengisi jabatan-jabatan yang tidak ditentukan di dalam ketentuan undang-undang.
"Anggota TNI dan kepolisian yang aktif bisa saja mengisi jabatan di Lembaga negara lain, sepanjang disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan undang-undang itu, misalnya, tim SAR dan BNN," jelas Feri.
"Tetapi dalam ketentuan itu tidak sama sekali disebut soal eksekutif di daerah. Artinya, anggota TNI dan kepolisian, selagi masih aktif tidak diperbolehkan untuk mengisi jabatan atau penjabat kepala daerah," tegasnya kemudian.
Pelarangan itu, sambung Feri, dipertegas lagi dengan putusan MK tekait penjabat kepala daerah, yakni Nomor 67 Tahun 2021, Nomor 15 Tahun 2022, serta Nomor 18 Tahun 2022.
"Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 15 dan 18 Tahun 2022 melarang pengisian penjabat kepala daerah dilakukan oleh anggota TNI dan kepolisian aktif."
"Oleh karena itu memang menteri dalam negeri ketika melakukan pengangkatan ini melanggar putusan MK, UU TNI dan kepolisian, termasuk melanggar undang-undang dasar," terang Feri.
Namun pemerintah memiliki dalih pembenarannya sendiri.
Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan putusan MK menyatakan anggota TNI/Polri yang ditugaskan di institusi lain bisa menjabat sebagai penjabat kepala daerah.
Dalam hal ini Andi Chandra memiliki jabatan di luar struktur TNI yakni di Badan Intelijen Negara (BIN), kata Mahfud.
Ia menambahkan, anggota TNI/Polri yang alih status juga boleh menjabat sebagai penjabat kepala daerah. Mahfud mencontohkan Komjen (Purn) Paulus Waterpauw.
Panglima tinggi Polri bintang tiga itu kini menjabat sebagai penjabat Gubernur Papua Barat. Ia sebelumnya bekerja di Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Senada, Wakil Ketua Komisi II DPR, Junimart Girsang menegaskan "tidak ada larangan" perwira TNI/Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah.
Ia melandaskan argumennya pada UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur bahwa siapapun pejabat dengan posisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama, menjadi ditunjuk sebagai penjabat bupati/wali kota.
"Sehingga berdasarkan aturan tersebut, perwira TNI/Polri aktif yang bertugas di luar struktur organisasi TNI/Polri dan menjabat sebagai JPT Pratama boleh ditunjuk sebagai Pj," ujar Junimart yang berasal dari Partai PDI-P yang mendukung pemerintah.
"Yang dilarang itu apabila dia (perwira TNI/Polri) itu masih aktif dan bertugas dalam struktur TNI/Polri, ini yang dimaksud dalam pertimbangan dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata dia kemudian.
Ia menambahkan, sesuai Perpres Nomor 79 tahun 2020, jabatan kepala BIN daerah adalah JPT Pratama.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC