Ibu Kota Baru: Pemerintah Baru Tetapkan 0,6% Hutan Adat, Mengapa Upaya Lindungi Warga Adat Lamban?
Bbc indonesia | 27 April 2022, 03:05 WIBMekanisme penetapan hutan adat disebut tidak kunjung dipermudah sehingga upaya melindungi masyarakat adat 'jalan di tempat'. Padahal hutan adat diyakini merupakan solusi terbaik menjauhkan komunitas asli dari konflik lahan akibat berbagai proyek.
Usulan kelompok advokasi terkait penetapan lebih dari satu juta hektare hutan adat, misalnya, belum terwujud meski berbagai persyaratan telah terpenuhi.
Pemerintah pusat mengklaim telah mempercepat proses penetapan berbagai hutan adat, tapi tak memungkiri bahwa kendala tumpang tindih kewenangan dan peraturan yang mesti diatasi.
Baca juga:
- Petani 75 tahun divonis bersalah usai tebang pohon jati yang ditanam sendiri, mengapa konflik agraria sasar 'orang-orang kecil'?
- Sri Hartini, perempuan penjaga 'hutan adat satu-satunya di Yogyakarta': 'Demi mata air, bukan air mata'
- Ibu kota baru: Pemerintah klaim dapat dukungan warga lokal, petani adat sebut ‘yang diundang hanya elite’
Bukannya menggenjot jumlah hutan adat, pemerintah malah menggelar berbagai program yang kontraproduktif, seperti pembangunan ibu kota negara (IKN) baru, kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Hukum dan Kebijakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Arman dan sejumlah aktivis mendampingi komunitas adat Paser Balik dalam sidang perdana gugatan terhadap UU 3/2022 tentang IKN, Senin (25/04), yang digelar secara virtual oleh Mahkamah Konstitusi.
Arman berkata, beleid itu mengabaikan partisipasi warga Paser Balik dan berpotensi merampas ruang hidup kelompok adat yang tidak memiliki hak atas tanah leluhur mereka itu.
"Ada pernyataan pejabat publik bahwa wilayah IKN berstatus clean and clear. Kami ingin membuktikan bahwa itu tidak benar. Ada kelompok orang tinggal di sana dan mereka punya wilayah," kata Arman via telepon.
"Kami ingin memberi kesempatan bagi tetua adat di sana untuk menjelaskan bagaimana sejarah mereka di atas tanah itu dan sikap mereka terhadap proyek IKN ini," tuturnya.
Pejabat yang dimaksud Arman adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil. Awal April lalu, dia menyebut 90% kawasan hutan yang akan menjadi lokasi IKN sepenuhnya dikuasai dan dimiliki negara.
Istilah lahan yang clear and clean yang dimaksud Sofyan berarti bebas dari kegiatan ekonomi atau tidak ditempati masyarakat serta tidak memiliki persoalan hukum.
Suku Paser Balik merupakan satu dari 21 komunitas masyarakat yang disebut AMAN sudah tinggal dan menetap di kawasan IKN selama beberapa generasi.
Menurut aduan yang diterima AMAN, wilayah seluas sekitar 30.000 hektare yang ditinggali kelompok adat ini telah diserahkan kepada perusahaan perkebunan dan pertambangan dalam bentuk izin, sebelum proyek IKN.
Persoalan yang dialami kelompok Paser Balik dalam menghadapi proyek IKN, kata Arman, juga dihadapi banyak masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia.
Arman berkata, minimnya perlindungan dalam bentuk pemberian hak atas hutan adat memaksa mereka berhadapan dengan proyek negara dan swasta.
"Jika merujuk Nawacita, salah satu yang disebut adalah pemulihan hak masyarakat adat terkait hutan. Implementasinya jauh dari harapan," ucap Arman.
"Kalau dibandingkan dengan capaian skema perhutanan sosial lain, misalnya hutan tanaman rakyat, luasnya sudah jutaan sedangkan hutan adat hanya beberapa puluh ribu.
"Dengan cara kerja hari ini, butuh berapa ratus tahun untuk menetapkan hutan adat di wilayah Indonesia? Sebelum seratus tahun pun hutan itu sudah habis karena ekspansi perkebunan dan pertambangan," ujarnya.
Hingga Maret 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menerbitkan 89 surat keputusan berisi pengakuan terhadap hutan adat. Luas hutan adat milik 89 komunitas itu mencapai 89.783 hektare.
Angka itu hanya 0,65 persen dari potensi hutan adat yang dicatat kelompok advokasi sipil, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), yakni sekitar 13,76 juta hektare.
Kepala BRWA, Kasmita Widodo, menyebut penetapan hutan adat mesti didasarkan pada sejumlah syarat utama. Salah satunya, kelompok adat itu harus diakui secara hukum melalui peraturan daerah.
Namun Kasmita menyebut pemerintah ternyata belum kunjung menetapkan banyak hutan adat meski berbagai syarat telah terpenuhi.
"Dalam beberapa pertemuan dengan lembaga negara, kami mengusulkan 27 lokasi prioritas untuk hutan adat tapi sampai saat ini baru tiga hutan adat yang diakui," ujarnya.
"Ada sekitar 1 juta hektare wilayah yang sudah lengkap peraturan daerahnya, memiiki surat keputusan pengakuan masyarakat adat, tapi verifikasi KLHK baru dilakukan untuk tiga hutan adat," kata Kasmita.
Apa jawaban pemerintah?
Pemerintah telah berupaya mempercepat penetapan berbagai hutan adat, kata Yuli Prasetyo, Kepala Subdit Pengakuan Hutan Adat KLHK.
Yuli berkata, lembaganya telah mengubah sejumlah peraturan menteri untuk meringkas prosedur. Salah satu yang dipermudah, kata dia, pemda dan DPRD tidak perlu lagi menerbitkan satu perda untuk satu kelompok adat.
Namun strategi itu disebutnya belum cukup karena persoalan ini juga melibatkan kewenangan kementerian dan lembaga negara lain.
"Kami tidak bisa bekerja sendiri. Kami sangat bergantung pada Peraturan Menteri Dalam Negeri 52/2014 tentang pengakuan masyarakat hukum adat," kata Yuli.
"Dalam proses pengakuan hutan adat, kami berada di ujung dan mengurus objeknya, sedangkan kewenangan mengakui masyarakatnya berjenjang, ada di kabupaten, provinsi, bahkan membutuhkan peraturan pemerintah jika wilayah adatnya lintas provinsi," ucapnya.
Walau sejumlah kendala di internal pemerintahan belum teratasi, Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan, menyebut pemerintah pusat dan daerah selama ini terus berupaya melindungi masyarakat adat.
Pemerintah, kata dia, akan memperkuat kerja sama di antara lembaga sehingga perlindungan terhadap masyarakat adat, salah satunya dalam bentuk hutan adat, dapat terlaksana secara efektif.
"Terlepas dari berbagai kekurangannya, dalam regulasi, anggaran, dan sumber daya manusia, komitmen presiden dan jajaran hingga daerah sudah ada dan tinggal diperkuat di lapangan," ujarnya.
"Perlindungan ini bukan sampai akhir pemerintahan Jokowi. Ini pekerjaan sepanjang hayat yang tidak dibatasi pemerintahan, tapi ini komitmen bersama," tuturnya.
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, konflik lahan di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 207 kasus, mencakup lebih dari 500 ribu hektare lahan. Masyarakat adat merupakan salah satu yang terdampak dalam konflik ini.
Adapun pada 2021 KLHK memiliki target untuk menetapkan 14 hutan adat, tapi akhirnya hanya delapan yang terwujud hingga tahun berganti 2022.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC