> >

Pelanggaran HAM Berat di Paniai: Mengapa Pegiat HAM Sebut Penyidikan Kejagung Tidak Transparan?

Bbc indonesia | 29 Maret 2022, 19:10 WIB
Warga Papua menuntut penyelesaian kasus Paniai Berdarah pada Senin, 15 Desember 2021. (Sumber: Warta Kota/Henry Lopulalan)

Menjelang rencana pengumuman tersangka kasus kekerasan di Paniai, Papua, oleh Kejaksaan Agung, para pegiat HAM dan perwakilan keluarga korban mengkritik proses penyidikan yang dianggap tidak transparan.

Namun, Kejaksaan Agung mengatakan pihaknya sudah transparan dan proses penyidikan kasus pelanggaran HAM berat itu sudah dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

KontraS, YLBHI, Amnesty International Indonesia dan keluarga korban kasus Paniai mempertanyakan mengapa dalam penyidikan kasus tersebut Kejaksaan Agung tidak melibatkan penyidik ad hoc dari unsur masyarakat.

Padahal, menurut mereka, langkah ini penting untuk membuat penyidikan partisipatif dan independen.

"Tim ini tertutup, dalam artian, satu, update-nya tertutup dan tim ini tidak memasukkan masyarakat sipil dalam tim penyidiknya," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tiorita Pretty, dalam jumpa pers, Senin (28/03).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan hal tersebut dilakukan agar penyidikan bisa segera dilakukan.

"Kalau kita kembalikan kepada aturan, tidak ada yang melarang bahwa penyidikan mutlak dilakukan Jaksa Agung."

"Tapi, memang ada juga bahwa melibatkan ad hoc juga bisa, cuma prosedur pemilihannya akan memakan waktu yang cukup panjang."

"Kalau makin lama, nanti kita kehilangan waktu dan kehilangan momen untuk melakukan penyidikan," kata Ketut kepada BBC News Indonesia, Senin (28/3).

Sementara itu, peneliti menilai penyelesaian kasus tragedi Paniai ini, jika benar-benar dilakukan dengan baik, akan menjadi harapan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.

Baca juga:

Perspektif korban

Selain soal transparansi dan pelibatan unsur masyarakat sipil— tentunya yang memiliki rekam jejak dalam kasus pelanggaran HAM—beberapa organisasi hak asasi manusia juga mempertanyakan pelibatan keluarga korban maupun korban terluka dalam mengungkap kasus yang menewaskan empat orang itu.

Padahal dalam sistem peradilan pidana termasuk untuk pelanggaran HAM berat, para pegiat HAM mengatakan jaksa merupakan sosok pembela dan pendamping korban untuk bisa meraih keadilan dan hak-hak lainnya.

Yones Douw, pendamping keluarga korban tragedi Paniai, mengatakan hingga saat ini mereka tidak pernah bertemu dengan tim penyidik.

"Sampai saat ini Kejaksaan Agung tidak pernah ketemu dengan keluarga korban, dengan korban, sampai hari ini."

"Kita tanya kepada keluarga korban, apakah Jaksa Agung atau tim yang dari Jakarta sudah ketemu keluarga atau korban, tapi mereka mengatakan sampai saat ini mereka belum ketemu," kata Yones.

Menurut keterangan para keluarga dan korban kepada Yones, hanya ada pejabat-pejabat dan ormas yang mengunjungi mereka dan menanyakan kasus Paniai.

Hal tersebut membuat keluarga korban meragukan proses penegakan hukum yang sedang berjalan akan berujung pada keadilan.

Mereka berkaca pada beberapa kasus seperti Kasus Dogiyai yang menewaskan dua orang (Dominokus Auwe dan Alwisus Waine) pada 2011 dan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani pada 2020.

Kejaksaan Agung: 'Kita tidak mau melebar ke mana-mana'

Terkait pelibatan keluarga korban maupun korban terluka, Kejaksaan Agung melalui Ketut Sumedana mengatakan penyidikan yang dilakukan oleh pihaknya sudah dilakukan sesuai kebutuhan.

"Penyidikan itu tergantung kebutuhan penyidikan, artinya penyidik menentukan apa yang dilakukan dalam menyelesaikan proses penyidikan itu, apa yang diperlukan, itulah yang dicari dulu."

"Kita tidak melebar ke mana-mana. Nanti kalau kita melibatkan sesuatu yang tidak terkait dengan pembuktikan, nanti malah ke mana-mana kasusnya," kata Ketut.

Namun, peneliti Adriana Elisabeth menilai, kekhawatiran para pegiat HAM, keluarga korban, maupun korban itu wajar, apalagi kasus ini terjadi pada 2014 lalu, sudah lebih dari tujuh tahun.

'Perspektif korban kerap tidak didengar'

Adriana menambahkan, dalam kasus pelanggaran HAM di Papua yang terjadi sampai sekarang, perspektif korban kerap kali tidak didengar.

Padahal menurutnya, perspektif korban sangat penting.

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU