Minyak Goreng Melimpah setelah HET Dicabut, tapi Harganya Melonjak
Bbc indonesia | 20 Maret 2022, 18:03 WIBStok minyak goreng kini melimpah di supermarket dan minimarket setelah pemerintah resmi mencabut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan per 16 Maret 2022. Akan tetapi ketersediaan minyak goreng tersebut dibarengi dengan harga yang melonjak.
Sebelum dicabut, harga eceran tertinggi minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500/liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000/liter.
Kini, harga-harga tersebut telah meningkat dan stok pun melimpah.
Baca juga:
- Harga minyak goreng sudah murah tapi stok terus habis, apa yang sebenarnya terjadi?
- Mengapa pemerintah Indonesia mensubsidi perusahaan sawit triliunan rupiah?
- Mengapa dunia kesulitan mencari pengganti sawit?
Berdasarkan pemantauan BBC News Indonesia pada Sabtu (19/03), minyak goreng dengan berbagai merek terlihat memenuhi lagi rak-rak sejumlah supermarket—yang kosong selama beberapa pekan terakhir.
Namun, harga-harga minyak goreng kemasan tersebut hampir menyentuh Rp25.000/liter di berbagai daerah. Untuk kemasan dua liter, harga dibanderol dari Rp48.300 sampai Rp49.600.
Lantaran harga sedemikian tinggi, tak lagi terlihat antrean warga untuk membeli minyak goreng seperti tampak beberapa pekan terakhir.
"Kemarin-kemarin sempat langka karena harganya Rp28.000 untuk kemasan dua liter, sekarang banyak tapi harganya mahal," keluh Elin, warga Padalarang, Jawa Barat, sebagaimana dikutip Kompascom.
Kelangkaan minyak goreng sempat terjadi di mana-mana
Sebelum kebijakan terbaru itu, kelangkaan minyak goreng masih terjadi di banyak tempat sehingga banyak warga harus antre untuk membeli walau pemerintah sudah mengeluarkan beberapa aturan untuk menstabilkan harga dan pasokan sejak Januari lalu.
Bahkan kelangkaan minyak goreng juga terjadi di daerah-daerah lumbung kelapa sawit, yaitu Riau dan Kalimantan Barat, seperti yang diungkap warga setempat kepada BBC News Indonesia.
Kelangkaan minyak goreng di pasaran terjadi sejak pemerintah memberikan subsidi, memberlakukan kebijakan minyak goreng Rp14.000 per liter, pada 19 Januari lalu.
Per 1 Februari, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET), masing-masing untuk minyak goreng curah Rp11.500, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.000, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000.
Sampai Selasa (15/03), kelangkaan minyak goreng masih terjadi di berbagai daerah, bahkan di lumbung kelapa sawit, seperti Riau dan Kalimantan Barat.
Warga bahkan harus bolak-balik mengecek ketersediaan minyak goreng di minimarket atau warung terdekat.
Santi, warga Pekanbaru, akhirnya memilih membeli minyak goreng curah di pasar tradisional, kendati harganya mencapai Rp20.000 per liter, tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah
Santi berharap pemerintah bertindak cepat dan tidak membiarkan persoalan ini berlarut-larut.
"Kami risau setiap hari harus masak tapi minyak goreng langka. Jadi bingung, bagaimana pemerintah biar bisa cepat menyelesaikan masalah ini," keluhnya kepada BBC News Indonesia.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, stok minyak goreng juga susah didapatkan. Padahal Kalimantan Barat juga merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia.
"Sudah tiga hari tak dapat antrean minyak. Cari ke Mitra Anda tak ada, kosong katanya. Ke Harmonis kosong, ke mana-mana kosong. Sekarang pakai minyak yang ada saja lah, banyakin rebusan," kata Puji Haryati, warga Pontianak kepada BBC News Indonesia.
Hasil pemantauan Ombudsman di 274 pasar di seluruh wilayah di Indonesia, stok minyak goreng mengalami penurunan, terutama minyak goreng kemasan sederhana dan premium.
"Minyak goreng ternyata masih langka. Bahkan kelangkaan itu semakin memburuk. Sebentar lagi kita akan menghadapi hari raya, oleh karena itu pemerintah harus segera melakukan evaluasi, jangan hanya sekadar menyalahkan hal yang tidak bisa secara nyata meningkatkan ketersediaan minyak goreng ini," kata anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika kepada BBC News Indonesia, Selasa (15/03).
Ombudsman menilai akar permasalahan dari kelangkaan minyak goreng saat ini adalah disparitas harga yang mencapai Rp8.000-9.000 per kilogram. Disparitas harga terjadi karena terdapat perbedaan harga yang sangat signifikan pada suatu harga komoditas bahan pokok, dalam hal ini minyak goreng, antar daerah.
"Para spekulan memanfaatkan disparitas harga minyak goreng di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi pemerintah. Aktivitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng," ujar Yeka.
Harga minyak goreng sudah diprediksi naik
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengumumkan bahwa pemerintah akan mensubsidi harga minyak kelapa sawit curah sebesar Rp14.000 per liter.
Terkait dengan harga minyak goreng kemasan, "ini tentu akan menyesuaikan terhadap nilai keekonomian sehingga kita berharap dengan nilai keekonomian tersebut minyak sawit akan tersedia di pasar modern maupun di pasar tradisional, ataupun di pasar basah," katanya dalam konferensi pers di Istana Kepresidenen Jakarta usai rapat terbatas, Selasa (15/3).
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Sahat M. Sinaga, mengatakan, Menteri Airlangga sudah menyampaikan kebijakan baru itu kepada para pengusaha.
"Tadi telah disampaikan oleh Pak Menko kepada 320 peserta webinar, mencakup seluruh asosiasi DMSI, GIMNI, AIMI, GAPKI, APKASINDO," ujar dia.
Sahat memprediksi stok minyak goreng akan melimpah dan harganya bakal naik.
"Saya kira mungkin tanggal 21 regulasi ini akan diberlakukan. Saya yakin lapangan akan banjir (stok minyak goreng)," kata Sahat kepada BBC News Indonesia.
Sahat, yang juga Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), memperkirakan harga minyak kemasan premium nantinya sekitar Rp24.800 dan harga minyak goreng sederhana sekitar Rp23.000.
Sementara harga minyak goreng curah tetap Rp14.000 karena pemerintah memberikan subsidi yang dananya berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang bersumber dari perusahaan-perusahaan kelapa sawit.
Keputusan pemerintah untuk memberikan subsidi hanya pada minyak goreng curah dinilai Mohammad Faisal, Direktur CORE Indonesia, lebih ideal dibandingkan menerapkan subsidi untuk semua jenis minyak goreng sampai akhirnya menciptakan kelangkaan di pasar.
"Kalau menurut saya idealnya targeted, ke golongan minyak goreng yang curah, yang untuk kalangan bawah, yang dijual di pasar-pasar tradisional. Yang kemasan, yang dijual di pasar-pasar modern, bisa dilepas ke harga pasaran.
"Konsekuensinya memang golongan menengah yang tidak dapat subsidi, tapi jadinya itu lebih tepat. Yang terjadi sekarang itu ketidaktepatan sasaran," kata Faisal.
Subsidi pada semua jenis minyak goreng, menurut Faisal, membuat warga-warga yang mampu berpotensi melakukan "penimbunan". Untuk menghindari hal serupa terjadi pada minyak goreng curah, Faisal meminta pemerintah melakukan pengawasan yang ketat.
"Kalau tidak diperketat kontrolnya, khawatir kejadian lagi. Yang curahnya yang langka, yang ada hanya kemasan. Jadi, artinya yang miskin tidak kebagian lagi," tambah Faisal.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah juga sepakat dengan pengawasan distribusi dan perdagangan minyak goreng curah, sebab 61% konsumsi minyak goreng rumah tangga di Indonesia adalah minyak goreng curah.
"Dipastikan pelaporan selisih harga keekonomian dan HET 14.000 transparan. Jangan menjadi ajang mencari untung. Pada saluran distribusi, dipastikan jangan sampai ada yang bocor di jalan," kata Rusli.
Sahat juga meminta pemerintah melakukan pengawasan perdagangan minyak curah di lapangan agar "tidak dikumpulkan untuk jadi black market" dan meminta sanksi tegas terhadap pedagang yang tidak menerapkan harga Rp14.000.
Dalam konferensi pers, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan siap untuk mengawal distribusi dan ketersediaan minyak goreng di pasar.
"Kami akan bekerja sama dengan seluruh stakeholder yang ada untuk memastikan bahwa minyak curah, minyak kemasan, semuanya ada di pasar," kata Listyo.
Wartawan Ilham Yafiz (Pekanbaru) dan Aesanty Pahlevi (Pontianak) berkontribusi dalam laporan ini.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC