> >

Kerangkeng Manusia di Langkat: Mengapa Polisi Belum Tetapkan Tersangka?

Bbc indonesia | 14 Maret 2022, 19:10 WIB
Polda Sumatera Utara melakukan autopsi jenazah Abdul Sidik Isnur, salah satu korban kerangkeng manusia Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Paranginangin, Sabtu (12/2/2022). Korban dimakamkan di TPU Pondok 7, Kelurahan Sawit Sebrang, Kecamatan Sawit Sebrang, Langkat, Sumut. (Sumber: KOMPAS TV/DEDY ZULKIFLI TARIGAN)

Selain itu, Terbit juga merupakan tokoh dari organisasi masyarakat Pemuda Pancasila. Adik Terbit, Sribana Perangin-angin, juga merupakan Ketua DPRD Kabupaten Langkat.

Namun setelah kasus ini mengemuka ke publik, Taufan mengatakan Polri dan TNI "telah berkomitmen" untuk mengusut tuntas, dan sejauh ini "tidak ada resistensi" dalam proses penyidikannya.

Komnas HAM, kata dia, akan terus memantau berjalannya proses hukum dari kasus ini.

Sementara itu, LPSK menduga jumlah anggota TNI-Polri yang terlibat selama belasan tahun ini pun "lebih banyak dari yang diperkirakan saat ini".

LPSK juga memperkirakan bahwa Bupati Terbit "diuntungkan hingga Rp177,5 miliar dengan mempekerjakan ratusan orang tanpa upah dalam 12 tahun terakhir untuk bisnis sawit ilegal miliknya".

Bagaimana perkembangan kasus ini di kepolisian?

Polda Sumatera Utara membantah anggapan bahwa lambatnya penanganan kasus ini dipicu oleh faktor keterlibatan anggota TNI-Polri.

Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, mengatakan baru empat anggota Polri yang diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Direktorat Kriminal Umum untuk mengusut dugaan pelanggaran etika maupun pidana yang dilakukan.

"Jika anggota Polri terlibat, pimpinan tidak akan segan menindak, bahkan kita sekarang sudah menindaklanjuti itu dengan penyidikan, nanti akan kami sampaikan sejauh mana dugaan keterlibatan anggota," tutur Hadi.

Dia juga membantah tuduhan bahwa "kekuasaan" Bupati Terbit memperlambat proses penyidikan. Hadi mengklaim perkembangan penyidikan justru telah berjalan "signifikan dan sangat cepat".

"Enggak ada itu, kita tidak ikut campur urusan politik. Kami bekerja profesional, termasuk keluarga bupati, ormas, sampai KPK pun kami datangi," ujarnya.

Polisi sejauh ini telah memeriksa 75 saksi dari tiga laporan polisi yang diproses terkait kematian tiga korban penghuni kerangkeng tersebut. Proses autopsi dan ekshumasi (pembongkaran kubur) dari dua korban meninggal di antaranya juga telah dilakukan.

Hadi mengklaim penyidik telah mengantungi nama-nama orang yang berpotensi kuat menjadi tersangka, namun polisi belum menetapkannya karena "ingin mengungkap kasus ini secara utuh".

"Kami tidak ingin mengungkap peristiwa yang notabene mengarah pada dugaan pelanggaran HAM kemudian hanya berkutat pada tersangka yang melakukan penganiayaan," ujar Hadi.

Baca juga:

Bagaimana dampaknya bagi korban dan saksi?

LPSK menyatakan lambatnya penanganan kasus akan membuat banyak saksi dan korban enggan memberi keterangan, karena merasa tidak ada kepastian hukum dan jaminan keamanan dari negara.

Menurut Maneger Nasution, sampai saat ini "masih sedikit" saksi dan korban yang mau memberi keterangan dan meminta perlindungan ke LPSK.

Meski kasus ini telah menjadi sorotan nasional, dia mengatakan ketakutan para saksi dan korban untuk mau melapor masih terasa hingga saat ini.

"Semakin cepat ini diproses, ini bisa menjadi penguat bagi korban dan saksi bahwa kalau melapor itu ada manfaatnya, keselamatan juga terjaga," tuturnya.

Selain itu, lambatnya penanganan kasus ini membuat kehadiran negara dalam pemulihan saksi dan korban menjadi tidak maksimal.

"Yang mestinya diterima semua saksi dan korban, tapi karena tidak semua melapor, hak mereka jadi tidak bisa diberikan negara," kata Maneger.

Komnas HAM sendiri sebelumnya meminta agar penegak hukum memastikan berapa banyak orang yang menjadi korban dari kerangkeng manusia itu.

Dalam kondisi terakhir ketika kerangkeng itu ditemukan petugas KPK, terdapat 57 orang yang menghuninya. Sedangkan sebelumnya, polisi sempat menyebut jumlah penghuninya mencapai 656 orang sejak 2010.

Komnas HAM juga menduga jumlah korban yang tewas mencapai enam orang, namun sampai saat ini polisi baru mengusut tiga laporan kematian korban.

Untuk mempercepat penanganan kasus ini di tengah "tarik menarik di tataran lokal", LPSK menyarankan agar pemerintah pusat turun tangan, bahkan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.

"Penanganan yang lambat dan berlarut-larut tidak menutup kemungkinan peristiwa di tempat lain tidak terungkap, karena dianggap percuma mengungkap," kata dia.

Sebelumnya diberitakan, Komnas HAM menyatakan telah terjadi 12 bentuk pelanggaran HAM terhadap penghuni kerangkeng itu melalui sebuah praktik perbudakan dan kekerasan yang berpola.

Komnas HAM juga menemukan ada 26 jenis kekerasan yang terjadi, seperti dipukuli, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau yang mereka kenal dengan istilah "gantung monyet".

Para korban juga dipekerjakan tanpa upah di sejumlah kebun sawit, termasuk milik Bupati Terbit.

Sedangkan hasil penyelidikan LPSK menemukan dugaan perdagangan orang, pembunuhan, hingga penganiayaan berat.

Bahkan, ada korban yang mengaku "dipaksa minum air kencing hingga mengalami kekerasan seksual seperti sodomi".

 

Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU