Gempa Pasaman: Sistem Mitigasi di Sekitar Sesar Sumatera Kerap Terlupakan
Bbc indonesia | 28 Februari 2022, 19:11 WIBSejumlah korban gempa di Pasaman mengaku selama ini "tidak mengetahui" adanya ancaman bencana yang mengintai meski tinggal di kawasan rawan gempa bumi.
Salah satu korban gempa di Nagari Malampah -wilayah paling terdampak gempa—bernama Afrianto, 47, mengatakan selama ini tidak pernah mendapat sosialisasi terkait potensi gempa yang bersumber dari aktivitas sesar besar Sumatera.
"Enggak pernah tahu, ancaman getaran itu belum tahu, maklum di kampung kadang orang enggak ada yang kasih tahu," kata Afrianto kepada BBC News Indonesia, Minggu (27/02).
Mayoritas bangunan di Jorong Air Apung tempat dia tinggal, kata Afrianto, juga dibangun tidak tahan gempa.
Rumah Afrianto sendiri rusak berat akibat gempa tersebut, sehingga dia kini harus tinggal di pengungsian.
Baca juga:
- Mitigasi bencana: Masyarakat semakin peduli, tapi masih hadapi masalah biaya
- Gempa Banten: 'Saya evakuasi pakai insting saja'
- Gempa Banten: "Belum pernah latihan evakuasi, saya spontan lari keluar rumah"
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 11 orang meninggal dunia, empat hilang, dan 13.000 warga mengungsi akibat gempa yang mengguncang Pasaman pada Jumat (25/02).
Selain itu, lebih dari 1.400 rumah warga rusak akibat guncangan gempa. Jumlah itu belum termasuk fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah yang turut rusak.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pasaman, Alim Bazar, mengatakan wilayah yang terdampak memang masuk ke dalam kategori rawan bencana gempa.
Tetapi, dia mengatakan pemberitahuan terkait risiko bencana dia lakukan setelah bencana gempa itu terjadi.
Pakar Kegempaan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano, mengatakan sistem mitigasi gempa darat seperti yang mengancam di sepanjang sesar Sumatera kerap terlupakan apabila dibandingkan dengan mitigasi gempa laut dan tsunami yang lebih terencana dan sistematis.
Padahal, Sumatera Barat berpotensi diguncang gempa berkekuatan hingga 7,6 dari aktivitas sesar besar Sumatera. Potensi ancaman itu, kata Irwan, sebetulnya juga telah diketahui sejak lama oleh pemerintah daerah dan BPBD.
"Harapannya ini menjadi alarm penting bagi mereka, bahwa yang terjadi kemarin itu bisa jadi bukan magnitude sesungguhnya," kata Irwan.
'Enggak ada rumah tahan gempa'
Salah satu warga, Afrianto, mengatakan baru kali ini merasakan guncangan gempa yang begitu kuat hingga merusak rumahnya, selama tinggal di Jorong Air Apung, Malampah, sejak sembilan tahun lalu.
Selama ini, gempa yang mengguncang berkekuatan kecil dan tidak pernah menyebabkan kerusakan di kampungnya.
Afrianto pun mengaku tidak tahu dan tidak pernah diberi tahu sebesar apa potensi gempa yang mengancam di sekitar kampungnya.
Ketika gempa pertama yang berkekuatan 5,2 melanda pada Jumat pagi, dia bersama warga sontak berlari ke luar dalam keadaan panik. Selang beberapa menit kemudian gempa kedua berkekuatan 6,1 pun mengguncang.
"Rumah saya masih berdiri, tapi enggak layak huni lagi. Sudah tumbang semua, semennya sudah retak, sebagian sudah turun. Dapur malah sudah turun semua," kata Afrianto.
Pada saat itu, Afrianto mengatakan warga pun berhamburan panik. Sebagian warga, termasuk Afrianto, pergi ke sekolah menjemput anak-anak mereka.
Bangunan sekolah itu pun, kata dia, ikut hancur. Untungnya, anak-anak sekolah sedang berada di lapangan mengikuti ceramah pagi ketika gempa mengguncang.
Setelah itu, Afrianto mengetahui bahwa beberapa orang di Nagari Malampah meninggal dunia akibat tertimpa bangunan.
Menurut dia, banyak rumah warga di kampung itu dibangun dengan tembok bata, bukan lagi dengan material kayu dan bambu seperti Rumah Gadang (rumah adat khas Minangkabau).
Rumah-rumah itu pun dibangun tidak tahan gempa, sehingga banyak rumah rusak bahkan roboh usai diguncang.
"[Rumah] yang tahan gempa enggak ada. Kalau orang kampung mau ikut [spesifikasi tahan gempa], maklum kadang uangnya enggak sampai untuk beli besi," kata Afrianto.
Hal serupa juga disampaikan oleh Joni Herman, 42, yang merupakan warga Ladang Panjang, Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman.
"Kebanyakan di sini enggak pakai [spesifikasi tahan gempa]. Besi aja kurang, batu saja disilangkan [supaya tahan gempa], tapi kemarin yang sudah dibikin seperti itu roboh juga," kata Joni.
Longsor susulan pasca-gempa turut mengintai
Selain gempa, warga dihantui ancaman longsor dan banjir bandang pasca-gempa seperti yang terjadi pada Jumat malam lalu.
Pergerakan longsor tersebut sempat diasumsikan sebagai likuifaksi -pergerakan tanah akibat gempa bumi—tetapi BNPB membantahnya dan menegaskan bahwa yang terjadi adalah banjir bandang, atau yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah galodo.
Afrianto mulanya mendengar bunyi gemuruh dari arah kaki Gunung Talamau yang ternyata adalah banjir bandang itu.
"Bunyi gemuruh itu enggak henti, semacam bunyi mesin macam pesawat mendarat. Tahu-tahunya air. Kami lari ke atas bukit yang paling tinggi," kenang Afrianto.
Seorang warga lainnya bernama Sapri, 75, kehilangan anaknya banjir bandang pasca-longsor akibat guncangan gempa. Anak Sapri hilang setelah banjir bandang melanda, ketika sedang menanam jagung di ladang.
Hingga Minggu siang, Sapri masih belum mengetahui keberadaan anaknya yang bernama Safar.
Baik Sapri, Joni, maupun Afrianto tidak mengetahui bahwa longsor dan banjir bandang juga mengintai mereka pasca-gempa.
Risiko longsor ini pernah dituliskan oleh pakar dari Ikatan Ahli Geologi Sumatera Barat, Ade Edward melalui tulisannya yang dipublikasikan di situs resmi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada 2013 lalu.
Dalam tulisan itu, Ade menuturkan hampir seluruh pemukiman di sekitar Bukit Barisan berada di jalur patahan Sumatera yang cenderung membentuk lembah-lembah dan daratan.
"Dengan potensi magnitude dan kedalaman dangkal, gempa di sekitar zona patahan Sumatera juga berpotensi menimbulkan bencana ikutan yakni tanah longsor, terutama pada daerah perbukitan bertopografi terjal," tulis Ade.
Ade juga menjabarkan bahwa sekitar 3,4 juta penduduk di 12 kabupaten dan kota di Sumatera Barat berada pada zona dengan bahaya ancaman gempa bumi yang tinggi.
Seperti apa ancaman gempa bumi di patahan Sumatera?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengatakan gempa pada Jumat lalu merupakan jenis gempa kerak dangkal akibat aktivitas sesar besar Sumatera, tepatnya pada segmen Angkola bagian selatan.
Sesar Sumatera terbentuk akibat lempeng India-Australia menabrak bagian barat pulau Sumatera, sehingga menghasilkan tekanan. Sesar ini membelah Pulau Sumatera dengan bentangan dari Lampung hingga Banda Aceh dan menjadikan wilayah sekitarnya rawan gempa bumi serta longsor.
Di Sumatera Barat, terdapat empat segmen yang merupakan bagian dari sistem sesar Sumatera. Salah satunya adalah segmen Angkola.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memaparkan riwayat gempa di Sumatera Barat telah terjadi sejak 1835 dan ada potensi gempa dengan kekuatan yang lebih besar melanda wilayah ini.
"Kami mencatat segmen Angkola ini mampu membangkitkan energi dan membersihkan gempa hingga kekuatan 7,6," kata Dwikorita.
Sementara itu, peneliti geoteknologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mudrik Daryono mengatakan sumber pasti dari gempa yang mengguncang wilayah Pasaman tersebut, meski memang ada kemungkinan itu berasal dari sesar aktif Angkola.
Menurut dia, perlu ditelusuri lebih lanjut asal muasal sesar aktif tersebut untuk diketahui dampaknya terhadap pergerakan sesar-sesar aktif di patahan Sumatera.
"Kami di BRIN sedang mempersiapkan tim untuk survei ke sana untuk memastikan sumber gempa itu di mana, jadi kita bisa mempelajari lebih rinci lagi apa konsekuensi dari lepasnya energi gempa yang terjadi itu," kata dia.
Meski demikian, Mudrik sepakat bahwa potensi gempa yang terjadi di sepanjang patahan Sumatera bisa berkekuatan hingga M 7. Oleh sebab itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sekitarnya harus memahami potensi risiko tersebut.
Jatuhnya korban jiwa dan hancurnya rumah-rumah warga, kata dia, menunjukkan bahwa sistem mitigasi atas risiko itu belum berjalan baik dan perlu dievaluasi.
"Itu jelas sepanjang sesar Sumatera semuanya harus siap siaga dengan goncangan gempa bumi, itu jelas iya. Tidak mungkin tidak siap, itu enggak boleh," ujar Mudrik.
Mitigasi gempa darat diperlakukan 'tidak serius'
Pakar kegempaan dari ITB, Irwan Meilano mengatakan minimnya pemahaman masyarakat akan risiko gempa dan longsor yang mengintai di wilayah tempat tinggal mereka telah membuktikan bahwa sistem mitigasi gempa darat, seperti di area patahan Sumatera, kerap terlupakan.
Padahal, gempa darat akibat aktivitas sesar Sumatera memiliki karakteristik dangkal, kurang dari 20 kilometer, sehingga dapat menyebabkan kerusakan hebat dan bencana ikutan berupa longsor.
Kajian dan penelitian terkait ancaman potensi gempa itu, kata Irwan, sebetulnya telah diketahui dan dipahami oleh pemerintah daerah dan BPBD.
"Tapi [informasi itu] tidak dijadikan bahan pengambil kebijakan. Misalnya tidak masuk kurikulum pendidikan di Dinas Pendidikan, tidak jadi masukan bagi Bappeda untuk mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke pembangunan mereka," papar Irwan.
Baca juga:
- Terancam tsunami dan gempa besar, masyarakat di Jawa dianggap 'tidak siap'
- Ibu kota Jakarta 'terancam gempa lebih dari 8 SR'
- 10 orang meninggal, empat hilang setelah gempa di Pasaman dan Pasaman Barat
Selain itu, mitigasi akan potensi gempa darat belum seterencana sistem yang dibangun terhadap ancaman gempa megathrust dan tsunami.
Sebab menurut Irwan, mitigasi gempa megathrust dan tsunami adalah isu global yang sistem peringatan dininya bisa diadaptasi dari apa yang diterapkan di negara-negara lain.
Sedangkan ancaman gempa dari sesar aktif seperti di Sumatera dia sebut sebagai "persoalan khas Indonesia yang harus dibangun dengan kemampuan dan pengetahuan sendiri".
Penanganannya pun berbeda dengan sistem mitigasi tsunami yang melibatkan peringatan dini. Sedangkan pada gempa darat, tidak ada peringatan dini yang bisa diberikan.
Cara untuk mengurangi risikonya adalah dengan bangunan tahan gempa, serta memetakan jalur sesar aktif agar tidak dibangun.
Tetapi nyatanya sampai saat ini, dia mengatakan masih banyak bangunan strategis dan fasilitas publik dibangun di Sumatera dibangun di atas sesar aktif karena masyarakat tidak tahu.
"Pemimpin daerah harus bersedia masuk ke level komunitas dengan membawa hasil penelitian para pakar, di mana sih lokasi sesar, daerah mana yang boleh dibangun, mana yang tidak boleh dibangun."
"Misalnya disepakati ini bidang sesarnya 15 sampai 25 meter, jadikan itu wilayah hijau yang tidak boleh dibangun, tapi harus kerja sama dengan masyarakat adat. Di luar itu, misalnya 100 meter, boleh dibangun tapi dengan bangunan tertentu," jelas dia.
Irwan meminta agar guncangan gempa yang terjadi di Pasaman dapat menjadi alarm untuk memperbaiki sistem mitigasi.
"Ini mitigasi yang tidak kita berikan perhatian serius. Mungkin nenek moyang kita sudah lebih advance mengadopsi pengetahuan ini dengan beradaptasi dengan jenis-jenis bangunan yang kita bangun, tapi kita lupa akan pengetahuan dan kearifan itu," kata dia.
BNPB: Masyarakat bisa perkuat rumah masing-masing
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari mengatakan mitigasi potensi gempa darat seperti di Sumatera Barat, bisa dilakukan dengan "memperkuat rumah masing-masing".
"Ketika bicara mitigasi gempa, kita bicara satu hal, mari perkuat struktur bangunan kita minimal dari rumah kita sendiri. Lalu apakah masyarakat bisa perkuat rumah masing-masing? Bisa. Biayanya mahal tidak? Enggak. Ada metode praktis yang mungkin biayanya tidak sampai 5 juta tapi bisa perkuat rumah kita sendiri," kata Muhari.
Apabila merujuk pada pedoman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, bangunan tahan gempa memiliki sejumlah syarat seperti beratap ringan, kemudian rangka atapnya dijangkarkan pada dinding dengan besi berdiameter minimal 12 milimeter.
Selain itu, dasar pondasi berada di tanah yang kering, padat, dan merata, serta pondasinya lebih dalam dari 45 sentimeter di bawah permukaan tanah.
Terkait masyarakat yang belum memahami risiko bencana di wilayahnya seperti yang terjadi di Pasaman, Muhari "mengakselerasinya dengan program tangguh bencana". Di Indonesia, kata dia, telah ada lebih dari 11.000 desa tangguh bencana.
"Kalau [desa-desa] ini belum masuk situ, dan masih banyak lagi desa yang mungkin belum punya program tangguh bencana berdasarkan risiko masing-masing, ya ini harus diakselerasi," ujar Muhari.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC