PPKM dan Polemik Sanksi Denda Penjual Bubur di Tasikmalaya dan Pengelola Mal di Bandung
Bbc indonesia | 12 Februari 2022, 19:54 WIB
Kasus penjual bubur ayam di Tasikmalaya didenda Rp5 juta, sementara pemilik sebuah mal di Bandung didenda Rp500 ribu karena sama-sama melanggar PPKM, tidak akan terjadi apabila aturannya dibuat lebih rinci, kata ahli hukum tata negara.
Sebuah mal di Bandung didenda Rp500 ribu dan ditutup selama tiga hari karena melanggar aturan kerumunan terkait pandemi Covid-19, Jumat (04/02) lalu.
Besaran denda itu membuat masyarakat di Bandung bertanya-tanya dan kemudian membandingkan dengan denda Rp5 juta kepada penjual bubur di Tasikmalaya, Jabar, Juli 2021 silam.
Sebagian warga di kota itu menganggap perbedaan besaran denda itu menyalahi rasa keadilan, seolah-olah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Menanggapi reaksi seperti itu, seorang pejabat terkait di Bandung menyatakan besaran denda itu merujuk pada aturan hukum, yaitu peraturan wali kota.
Adapun kasus tukang bubur di Kota Tasikmalaya, yang dijatuhi denda Rp5 juta, dilaporkan menggunakan aturan yang berbeda.
BBC News Indonesia telah menghubungi Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Safrizal ZA melalui pesan tertulis, Senin (07/02), namun tidak mendapatkan tanggapan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, sebelumnya, mengatakan perbedaan besaran denda administrasi itu tergantung pada kebijakan yang diambil di daerah masing-masing.
Hal itu ditegaskan Tito ketika timbul polemik di masyarakat terkait pemberian denda sebesar Rp5 juta kepada penjual bubur di Tasikmalaya, Jabar.
"Denda hingga Rp5 juta tergantung penerapan aturan di daerah masing-masing. Ada yang menerapkan batas lima juta, ada yang kurang dari itu. Namun Perda-nya dibuat DPRD dan disepakati sesuai dengan local wisdom," katanya, awal Juli 2021.
Pakar hukum tata negara: 'Kok terasa tidak adil'
Namun menurut ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, kasus seperti ini tidak perlu terjadi apabila peraturannya dibuat lebih rinci, baik di tingkat undang-undang atau peraturan daerah.
Bivitri menjelaskan, rinciannya itu misalnya mengatur tentang dampak negatif dari pelanggaran kerumunan.
"Dari segi dampak, jelas kalau pelanggarannya dilakukan oleh pengusaha mal, kemungkinan yang terkena dampak [tertular covid-19] bisa ratusan ribu orang," katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (07/02).
"Sementara seorang tukang bubur, paling-paling berapa orang yang akan membeli bubur itu ya, mungkin 20 orang, atau maksimal 50 orang," tambahnya.
Belum lagi dari segi pendapatan ekonomi dari kedua subyek hukum itu, kata Bivitri. Pemilik mal adalah pengusaha besar, sementara penjual bubur adalah pengusaha kecil.
"Jadi saya kira menghitung dua hal itu saja, kita sudah menimbulkan pemikiran di kepala kita 'kok terasa sekali tidak adil' dari sudut kemampuannya tadi," tegas Bivitri.
Bivitri mengusulkan perincian itu dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada peraturan daerah atau undang-undang di atasnya.
Baca juga:
- Penyebaran Omicron di daerah dengan cakupan vaksinasi rendah 'berisiko fatal pada lansia'
- Pasien Covid di rumah sakit utama hampir penuh sebelum puncak gelombang ketiga
- Omicron menyebar cepat, pasien Covid di rumah sakit meningkat, intervensi pemerintah disebut 'tidak efektif'
Bagaimana reaksi warga kota Bandung?
Mal Festival Citylink Bandung dikenai denda administrasi Rp500 ribu dan ditutup selama tiga hari, karena menggelar atraksi barongsai yang menimbulkan kerumunan, Selasa (01/02).
Sanksi itu diberikan tidak lama setelah potongan video dari atraksi itu menyebar di media sosial.
Sebagian warga Bandung menilai sanksi itu terlalu ringan dan tidak bakal menimbulkan efek jera.
Apalagi jika dibandingkan dengan denda yang dijatuhkan terhadap seorang tukang bubur di Tasikmalaya yang harus membayar sebesar Rp5 juta.
Jafar, warga Kota Bandung, menilai perbedaan nominal denda menggambarkan apa yang disebutnya sebagai ketidakadilan.
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC