> >

Perjalanan Ibu dan Anak dari Desa di Jawa Tengah yang Jadi "Korban Kerja Paksa" di Malaysia (2)

Bbc indonesia | 4 Februari 2022, 10:07 WIB
Lasri dan anaknya Nur Kholifah, yang disebut sebagai korban perdagangan orang dan kerja paksa di Malaysia, menceritakan apa yang mereka alami, mulai dari dijanjikan kerja dengan upah besar oleh perekrut sampai tak digaji. (Sumber: BBC Indonesia)
'Kerja paksa' terjadi di semua level

Dubes Hermono mengatakan kasus "kerja paksa" yang dialami para pembantu rumah tangga ini terjadi dalam semua level masyarakat di Malaysia.

"Menurut saya forced labour (kerja paksa) yang paling parah dan masih ada adalah di sektor rumah tangga dan ini tak pernah ditangani secara serius. Makanya kami minta, Malaysia tandatangani MOU (perlindungan tenaga kerja) atau kita tetap stop pengerahan tenaga kerja."

Hermono mengatakan yang dilakukan KBRI bila ada kasus gaji tak dibayar adalah menghubungi majikan dan akan mengontak polisi bila majikan tak bisa dihubungi atau tak mau bekerja sama menyelesaikan masalah, atau ada kasus kekerasan fisik.

"Setiap hari dapat laporan seperti ini, kesimpulan saya di luar sana banyak sekali, tapi tak bisa dijangkau karena mereka di dalam rumah majikan."

"Ini masif, di seluruh level masyarakat dari orang biasa, sampai terhormat dari pejabat sampai orang biasa juga melakukan hal-hal yang sifatnya forced labour (kerja paksa), gaji tak dibayar, mempekerjakan undocumented workers (pekerja tak berdokumen resmi), tidak boleh berkomunikasi. Paspor ditahan, ini banyak sekali, kesimpulan saya ini masif, karena tiap hari terima laporan," kata Hermono lagi.

Dengan begitu banyaknya kasus pekerja migran tak berdokumen ini, kata Hermono, pihaknya juga tidak dapat melaporkan apapun ke Kementerian Tenaga Kerja setempat dan diselesaikan pihak KBRI.

Dari 2017 sampai tahun ini terdapat lebih dari 1.700 pekerja migran yang ditampung di penampungan KBRI di Kuala Lumpur dengan sebagian besar kasus gaji tak dibayar.

Untuk kasus Lasrini dan Kholifah, kata Hermono, KBRI berhasil menagih dan majikan telah membayar gaji mereka masing-masing sebesar RM7.500 (Rp25.7 juta) dan ongkos pulang sekitar RM1.500 (Rp5,1 juta). Keduanya direncanakan akan dipulangkan pada Jumat (04/02).

Hermono juga mengatakan berdasarkan UU Keimigrasian Malaysia, pekerja gelap dan majikan yang mempekerjakan "harus sama-sama dikenakan hukuman."

"Tapi dalam praktiknya, jarang majikan yang dikenakan sanksi. Jadi tak ada efek jera. Saya melihatnya, justru ada preferensi majikan memilih pekerja yang tak punya dokumen resmi, lebih murah, tanggung jawab kurang, gaji bertahun-tahun tak dibayar. Ini masalahnya adalah penegakan hukum di Malaysia terhadap majikan yang mempekerjakan pekerja tak berdokumen dan melakukan forced labour, sangat lemah, jadi tak ada efek jera."

Baca juga:

Tetapi Hermono juga mengatakan ia mengakui ada kelemahan di Indonesia dalam pencegahan praktik perdagangan orang.

"Persoalan sekarang ada dua isu, satu kelemahan pencegahan di dalam negeri, menyangkut banyak instansi, BP2MI, imigrasi, polisi dan TNI. Dalam beberapa kasus yang kita jumpai, instansi yang seharusnya melakukan pencegahan, justru bagian dari masalah. Ini yang menjadi masalah," tambahnya.

Di Malaysia, menurutnya, ada juga faktor pendorong, yaitu kekurangan parah pekerja rumah tangga.

Hermono mengatakan pihaknya akan menginfokan institusi terkait untuk mengejar pelaku pengiriman ibu dan anak ini ke Malaysia.

Suami Lasrini: Keluarga Ali bilang kerjanya resmi

BBC News Indonesia mendatangi kediaman Lasri dan anaknya di Desa Bogorejo, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (02/02).

Rumahnya berdinding dan beralaskan semen, dan di depan pintu tertulis keluarga miskin penerima bantuan.

Wartawan Arif Syaefudin yang melaporkan untuk BBC News Indonesia bertemu dengan suami Lasri, Muzammil.

Muzammil yang mengenakan baju putih menunjukkan foto anaknya, dan bercerita proses awal keberangkatan.

"Dulu saya tanya, itu resmi atau tidak. Keluarganya Ali bilang resmi, tahunya sekarang ternyata kan tidak. Soal visa, paspor seperti apa, katanya bersih, ternyata ilegal itu kan," kata Muzammil.

Bahkan Ali, katanya, bercerita kerja di Malaysia enak, terjamin dan gaji besar.

Ia menambahkan, istri dan anaknya berangkat pada 8 November 2019 ke Batam menggunakan jalur laut dan didampingi oleh Ali, padahal dijanjikan naik pesawat.

"Seingat saya pas berangkat waktu itu sempat dikasih uang Rp1,5 juta sama Pak Ali lewat istri saya," katanya.

Selama bekerja, kata Muzammil, istri dan anaknya selalu mengeluh dengan pekerjaan yang berat dan tidak menerima gaji.

"Istri saya digaji enam bulan sekali, itu juga berebut, marah-marah, sampai menangis-menangis. Bahkan anak saya dari awal sampai sekarang tidak digaji," keluhnya.

Muzammil berharap agar istri dan anaknya dapat segera pulang ke rumah.

Baca juga:

Sementara itu, Nuroshyid, Kepala Desa Bogorejo, Rembang, Jawa Tengah, mengatakan, suami Lasri sempat mengontaknya dan memberitahukan bahwa istri dan anaknya ingin pulang.

"Istrinya, katanya sudah dua tahun kerja, katanya tidak bisa pulang, katanya tidak digaji, mau melarikan diri, dan katanya disuruh ke kedutaan, lapornya seperti itu," kata Nurosyid kepada BBC News Indonesia.

Nurosyid mengatakan tidak mengetahui apakah ibu dan anak itu pergi secara resmi atau tidak karena mereka berangkat ke negara jiran tersebut sebelum ia menjabat sebagai kepala desa.

Naik bus dan kapal dari desa ke Johor Baru - bertemu "Polwan Walinda"

Perjalanan Lasri dan putrinya ke Malaysia bermula setelah dijanjikan Ali Ahmadi, gaji sebesar RM1,200 (Rp4,1 juta) untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan mengasuh anak.

Mereka baru menyadari yang mereka harus jaga adalah orang dewasa lumpuh berusia 21 tahun dan harus dirawat sepanjang hari dan malam, termasuk menggendong untuk dibawa ke kamar mandi.

Dari desa, mereka naik bus ke Semarang dan kemudian menuju Jakarta, menginap semalam.

"Dari Tanjung Priok (pelabuhan di Jakarta), ke Batam. Dua hari tiga malam. Naik Kapal Kelud. Paspor dibawa agen, dan suruh tandatangan. Kalau ditanya, bilang kamu mau berkunjung ke rumah Polwan Walinda," cerita Lasri tentang perjalanan ke Malaysia pada November 2019.

Nama Polwan Walinda diperkirakan adalah nama sandi untuk mereka yang terlibat dalam perekrutan gelap ini.

"Dari Batam naik kapal selama empat jam ke Johor Baru, dan tak ada imigrasi lagi (pemeriksaan) di sana. Sampai sekitar jam 05:00 pagi, melewati hutan sawit, dibawa mobil van tertutup dan kami tak bisa melihat sopir," sambungnya.

Ali, kata mereka, ikut mengantar mereka termasuk dengan satu orang calon pembantu rumah tangga juga.

Lasri dan Kholifah mengatakan mereka bertemu majikan di satu pusat perbelanjaan dan mereka melihat "Ali minta uang lagi ke majikan dan langsung diberikan."

Ali Ahmadi mengaku menawari pekerjaan

BBC News Indonesia menjumpai Ali Ahmadi di tokonya, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (02/02), yang di depannya terpampang spanduk bertuliskan Agen Tiket Pesawat Murah.

Ali mengaku menawarkan pekerjaan sebagai PRT ke Lasri, dan juga mengaku menemani mereka ke Malaysia setelah ditanya yang bersangkutan "ingin bekerja di luar negeri."

"Dua tahun lalu. Orang dia (Lasri) kerja di sebelah sini. Dia datang ke saya, bilang punya utang, bagaimana bayarnya. Saya bilang kamu harus kerja kuat, kalau di sini tidak cukup."

"Bagaimana kalau kerja ke luar negeri, bagaimana caranya. Lah saya ada kenalan di Malaysia, dulu kan saya pernah kerja di Malaysia. Saya kenal orang di Malaysia yang punya anak cacat dan minta pembantu."

"Lalu dia (Lasri) bilang, saya kalau boleh sama anak saya (ke sana), ya tidak masalah, saya hubungkan. Saya hubungi langsung sama majikan, akhirnya sudah deal, saya disuruh mengantarkan," ungkap Ali.

Ali menambahkan, ia mengurus dokumen seperti paspor dan surat rekomendasi yang menghabiskan Rp5 juta, dan itu utang majikan yang diganti ke Ali setelah bertemu di Malaysia.

"Majikan yang bilang, nanti Pak Ali uruskan, habis berapa saya tanggung," kata Ali.

Ali juga mengatakan utang Lasri - untuk bayar utang dan pengurusan paspor - sekitar RM2.000 dibayarkan majikan dan akan dipotong gaji empat bulan.

Perjanjian kerja dan apa yang mereka kerjakan, kata Ali, dibicarakan sendiri oleh Lasri dan majikan di Malaysia itu.

"Saya (hanya) menjual tiket dan mengantar saja," kata Ali tentang perannya.

Ali menjelaskan, ia mengantarkan mereka menggunakan pesawat sampai ke Batam, berbeda dengan keterangan Lasri yang menggunakan kapal.

Ali pun menegaskan, Lasri dan anaknya adalah satu-satunya TKI yang dikirimkan ke Malaysia.

"Sebelumnya tidak ada, Bu Lasri ini yang pertama, bahasnya coba-coba saja," katanya.

Ali sendiri juga mengatakan pernah bekerja di Malaysia pada 1992 dan dikirim ke sana melalui Kepulauan Riau.

Berdasarkan laporan tahunan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Juli tahun lalu, kerja paksa, seperti yang dialami Lasrini dan putrinya, adalah kejahatan utama dalam perdagangan manusia di Malaysia.

Laporan itu menyebutkan, Malaysia terus "melakukan kejahatan perdagangan manusia dan penyelundupan migran, dan tidak menangani atau menyelesaikan tuduhan yang kredibel tentang perdagangan tenaga kerja."

Indonesia dan Malaysia belum menandatangani MOU tentang perlindungan pekerja migran. Indonesia mengatakan sepanjang MOU belum diteken, pengiriman pekerja ke negara itu secara resmi akan tetap dihentikan.

 

Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU