Perjalanan Ibu dan Anak dari Desa di Jawa Tengah yang Jadi "Korban Kerja Paksa" di Malaysia (1)
Bbc indonesia | 4 Februari 2022, 09:53 WIBSeorang ibu dan anaknya yang disebut "sebagai korban perdagangan orang dan kerja paksa" di Malaysia, menceritakan apa yang mereka alami, mulai dari dijanjikan kerja dengan upah besar oleh perekrut sampai tak digaji.
Lasri dan anaknya Nur Kholifah, yang berasal dari desa Bogorejo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dibantu oleh seorang pekerja migran lain untuk keluar dari rumah majikan dan ditampung di KBRI, Malaysia.
Mereka bekerja di Malaysia sejak November 2019 dan mengatakan belum digaji saat disuruh keluar tanpa diberi upah.
"(Yang dijanjikan saya kerja) membantu di rumah, ngasuh anak. Bukan kerja di kilang (pabrik suku cadang kendaraan milik majikan). Tapi di sini kerja 24 jam dari pagi sampai tengah malam...tidak hanya di rumah, tapi juga di kilang," cerita Lasri.
"Anak yang sakit (usia 21 tahun dan lumpuh dan harus dijaga) tidak tidur kalau malam. Tapi begitu di kilang pagi hari, kami ngantuk dan kena marah. Tidak pernah berhenti. Disuruh lap meja. Baru mau makan, dipanggil lagi, kalau enggak buru-buru, dimarahi," cerita Lasri. Putrinya, Nur Kholifah mengatakan berat badannya turun sekitar 17 kilogram karena kondisi yang mereka alami.
Baca juga:
- 'Mereka digeledah, ditelanjangi, dipukul', cerita WNI yang menjadi 'trainer' agen perekrut pembantu di Malaysia.
- 'Wajah bengkak, luka bakar, gigitan anjing' - Upaya mencari keadilan bagi Adelina Lisao
- Anggota TNI/Polri dituding terlibat sindikat penyelundupan pekerja migran, aktivis: 'Perlu ada efek jera'
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan apa yang dialami ibu dan anak ini hanya puncak gunung dari kasus "kerja paksa" yang banyak menimpa pekerja migran Indonesia di sektor rumah tangga.
"Gaji tak dibayar, ada yang sekitar setahun, ada yang 12 tahun, delapan tahun, sembilan tahun, ini sangat biasa. Majikan dengan sengaja tak memberi gaji ini sebetulnya salah satu bentuk forced labour (kerja paksa)."
"Orang tak bisa lari karena gaji ditahan. Ini sangat sangat biasa. Mungkin cukup masif kasus seperti ini. Apa yang bisa kita ungkap baru sebagian kecil, puncak gunung es. Banyak orang yang ingin minta pertolongan tapi tak mampu, mereka tak boleh pegang HP, tak boleh keluar rumah. Jadi kasus forced labour, di sektor rumah tangga, cukup masif," kata Hermono kepada BBC News Indonesia.
Hermono juga mengatakan "kerja paksa" ini dilakukan oleh mereka di semua tingkatan masyarakat, dari "orang biasa sampai terhormat, dari pejabat sampai orang biasa."
Juli tahun lalu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan kejahatan utama Malaysia dalam perdagangan manusia adalah kerja paksa.
AS menurunkan tingkat Malaysia ke Tier-3, tingkatan terendah dalam laporan tahunan tindak pidana perdagangan orang.
Laporan itu menyebutkan, Malaysia terus "melakukan kejahatan perdagangan manusia dan penyelundupan migran, dan tidak menangani atau menyelesaikan tuduhan yang kredibel tentang perdagangan tenaga kerja."
Diantar perekrut ke Malaysia
Pada awal November 2019, Lasri, 53, dan anaknya Nur Kholifah, 21, mengaku ditawari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia oleh Ali Ahmadi, yang tinggal tak jauh dari desa mereka.
Ali yang pernah menjadi pekerja migran di Malaysia kini membuka toko serba ada (toserba) dan juga bekerja sebagai agen tiket pesawat.
Lasri mengaku, Ali mengantarkan ia dan anaknya ke Malaysia hingga bertemu calon majikannya di Johor Baru.
Bahkan, Lasri dan anaknya menyebut Ali sebagai pemasok pembantu rumah tangga untuk majikan yang sama selama lebih dari 10 tahun. Mereka mengatakan bertemu dengan pembantu lain asal Indonesia yang juga diantar oleh Ali.
Baca juga:
- Indonesia dan Malaysia gagas kesepakatan soal perlindungan pekerja migran, tapi 'kekerasan masih bisa terus terjadi'
- 'Pekerja migran ilegal' jadi korban kapal karam di Malaysia, libatkan 'mafia' dan 'sindikat' penempatan pekerja gelap
- Ibarat pertarungan 'Daud versus Goliat', PRT asal Indonesia menang lawan miliuner Singapura
Ali Ahmadi - yang dijumpai oleh wartawan Arif Syaefudin di Rembang, Rabu (02/02) - mengaku menawarkan pekerjaan sebagai PRT dan mengantarkan langsung mereka ke Malaysia.
Kepada wartawan Arif Syaefudin yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Ali membantah terlibat dalam pengurusan surat kerja Lasri dan anaknya.
Dubes Hermono mengatakan cara Lasri dan anaknya "agak kurang lazim karena diantar langsung perekrut di Malaysia" di tengah kekurangan tenaga kerja termasuk pembantu rumah tangga dalam beberapa tahun terakhir.
"Dibawa langsung oleh orang yang rekrut. Agak kurang lazim. Di sini, dijual, dipekerjakan karena Malaysia menghadapi kekurangan tenaga kerja, termasuk PRT, jadi banyak majikan yang mau menerima walaupun tak ada dokumen dan statusnya ilegal."
Kerja 24 jam, hanya nasi putih, lauk makanan beli sendiri atau dipotong dari gaji
Kedua ibu dan anak ini mengaku bekerja tanpa henti. Pagi hari, mereka membersihkan rumah. Setelah selesai mereka bekerja di kilang (pabrik suku cadang kendaraan milik majikan) hingga tutup.
Setelah itu, malam harinya, mereka kembali ke rumah untuk merawat anak majikan berusia 21 tahun yang lumpuh - memandikan, memberi makan, hingga menemani tidur.
"Kalau malam, anak majikan tidak mau tidur. Sehingga kami tidak tidur, jadi kerja satu hari satu malam tidak berhenti," kata Lasri.
Mereka mengatakan sudah berkali-kali menyatakan ingin keluar dan pulang ke Indonesia karena pekerjaan yang terlalu berat.
Namun, majikan selalu mengancam akan melaporkan ke polisi karena mereka tidak memiliki dokumen kerja yang legal, dan itu menyurutkan niat mereka.
Selain paspor, menurut Lasri dan Kholifah, majikan menahan telepon seluler dan hanya mengizinkan perangkat komunikasi itu digunakan sesekali.
Kediaman majikan juga selalu dikunci dan mereka terpaksa "curi-curi ke luar rumah untuk beli lauk, karena tidak boleh keluar."
"Handphone punya sendiri tak dikasih, kalau minta uang (gaji), marah seperti ke binatang…tapi majikan bilang kalau kami keluar dan tak punya surat, pasti ditangkap polisi dan dia bilang tak mau mengakui kami sebagai pembantu mereka," kata Nur Kholifah kepada wartawan di Malaysia, Vinothaa Selvatoray, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Lasri dan Kholifah mengatakan, selama bekerja dengan jam panjang, mereka "hanya diberikan nasi putih dan untuk lauk makanan akan dipotong gaji…Sementara roti dan kopi untuk sarapan juga harus menggunakan uang sendiri, dan makan malam mendapat sisa makanan setelah majikan selesai."
Walau jam kerja panjang dan tak menentu, Lasri mengatakan tidak pernah mengalami kekerasan fisik. Namun, "pernah disiram air, anak saya diludahi di depan saya, dan diancam pakai kayu rotan, 'kalau macam-macam, kamu saya bunuh pakai ini'".
Niat mereka untuk keluar dari "kerja paksa" akhirnya terlaksana pada pertengahan Januari lalu.
Baca juga:
- Hidup tanpa identitas di Malaysia: 'Saya tak percaya bertemu dengan ibu kandung setelah 15 tahun terpisah dari kecil'
- Ibu orang Indonesia, bapak warga Malaysia: 'Saya tak punya status warga negara, tak boleh bersekolah dan takut ditangkap polisi'
- Keturunan WNI tanpa kewarganegaraan: 'Saya dipukul oleh bapak, lari dan merantau ke Malaysia'
Mereka dibantu Pipih Sofyiah, tenaga migran yang mendapatkan informasi bahwa keduanya memerlukan bantuan dari kedai makan, tempat mereka membeli lauk. Pipih juga aktif dalam LSM Sarbumusi Malaysia, (Syarikat Buruh Muslim Indonesia), badan yang memperjuangkan hak-hak para pekerja.
Pipih mengatakan, ia meminta mereka melalui telpon agar tidak menandatangani apapun seperti yang diminta majikan saat keluar.
Lasri dan Kholifah akhirnya diantar Pipih ke tempat penampungan di KBRI Kuala Lumpur.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC