Jejak Kekerasan 1965 di Aceh Tengah: Kakek Saya Disembelih dan Kepalanya Diarak di Takengon (1)
Bbc indonesia | 28 Januari 2022, 20:35 WIB"Saya punya anak dan istri," ujarnya. Akhirnya kami sepakat untuk menyamarkan identitasnya.
Baca juga:
- Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
- Soeharto 'koordinir' operasi pembantaian 1965-1966, sebut dokumen
- Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi 1965
'Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon'
Cerita pun mengalir dari mulut Budi. "Kakek saya pengurus PKI dan serikat buruh di Aceh Tengah," ungkapnya membuka kisah. Dia tinggal di Kota Takengon.
Tidak lama setelah G30S 1965, kakeknya ditangkap bersama ratusan orang-orang tertuduh komunis lainnya.
Setelah sempat dipenjara, sang kakek dan tahanan lainnya dinaikkan ke dalam truk menuju kawasan perbukitan di pinggiran kota. Di sisinya ada jurang nan dalam.
Masyarakat Takengon dan sekitarnya menyebut kawasan yang kadang-kadang diselimuti kabut itu sebagai bur Lintang — bur artinya gunung atau bukit dalam bahasa Gayo.
Di sanalah orang-orang yang kepalanya ditutup karung itu antre untuk disembelih atau ditembak. Tapi, "kakek saya lari, dia loncat" bersama dua orang lainnya.
Sempat bersembunyi di hutan dan perkebunan kopi, dia memutuskan kembali ke rumah karena kelaparan. Di dalam rumah, neneknya dan anggota keluarga lainnya diinterogasi aparat.
Baca juga:
- 'Saya selalu berdoa, kapan bertemu ibu', kisah Francisca Fanggidaej dan tujuh anaknya 'terpisah' 38 tahun sejak 1965
- Perempuan dan propaganda terhadap Gerwani, 'Stigma belum hilang sekalipun mereka sudah tidak memberi label lagi'
- Tionghoa Indonesia dalam pusaran peristiwa 65 - Pengalaman, kenangan dan optimisme generasi muda
"Nenek saya diikat di batang kopi," ungkapnya. Singkat cerita, sang kakek akhirnya tertangkap dan dieksekusi di rumahnya. "Ditembak dulu lalu dipenggal [kepalanya]."
Tanpa kepala, jenazah kakeknya dibuang ke bawah jembatan. "Lalu, kepala kakek saya diarak di sekitar Takengon," ujar Budi dengan kalimat datar.
Arak-arakan itu kemudian berakhir di sebuah lapangan luas di pusat kota yang dipadati massa antikomunis.
"Ini semacam 'pesta' bahwa pimpinan PKI itu sudah mati," ungkapnya, mengutip cerita ibu dan ayahnya.
'Nenek saya alami gangguan mental, ibu saya memendam sendiri deritanya'
Sampai usia remaja, Budi tidak pernah mendapatkan informasi utuh tentang pembunuhan keji atas kakeknya. Juga apa yang melatari mengapa neneknya mengalami gangguan mental.
Orang tuanya selalu menutup rapat-rapat tragedi itu. "Mungkin mereka tidak berani, ditutupi, karena dulu stigma [PKI] kuat sekali," jelasnya.
Budi kemudian teringat, ketika masih bocah, dia pernah menanyakan ihwal kebenaran desas-desus 'arak-arakan menenteng kepala kakeknya' kepada orang tuanya, tapi dia tak mendapatkan jawaban memuaskan.
Rupanya, ibunya lebih memilih memendam ingatan pedihnya untuk dirinya sendiri.
Seiring pengetahuannya yang terus bertambah, Budi kemudian berusaha meyakinkan ibunya supaya mau bercerita.
"Tak usah lagi disembunyikan, ibu," kata Budi, mengulang lagi percakapan dengan ibunya.
Dia merasa yakin bahwa dengan berbagi cerita itu akan membantu meringankan beban masa lalu ibunya.
Baca juga:
- Ribuan buku peristiwa 1965: Mengubah kesedihan menjadi kekuatan
- Kisah para eksil 1965: Mereka yang 'dibui tanpa jeruji'
- Menunggu puluhan tahun untuk tetap menjadi WNI
Akhirnya,"dia mau cerita," kata Budi.
Menjelang kami wawancarai, Budi mengaku mengorek informasi terlebih dulu kepada ibu dan ayahnya — keduanya berusia 80an tahun — tentang tragedi itu.
"Semoga dengan kesaksian saya ini, membuat beban ibu saya berkurang," katanya.
_____________________________
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.
Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.
Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : BBC