Gempa Banten Terjadi Lagi, Sistem Mitigasi Belum Mampu Imbangi Ancaman Gempa Megathrust
Bbc indonesia | 17 Januari 2022, 21:12 WIB"Penerangan masih kurang di (jalur evakuasi) daerah kami, apalagi kita kalau mau mengungsi berbondong-bondong sambil gelap-gelapan. Itu sulit, ada warga yang nabrak juga," ujar dia kepada wartawan Engkos Kosasih yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Selain itu, warga juga kesulitan mengakses informasi terkait situasi terkini setiap kali bencana terjadi. Sebab, jaringan komunikasi selalu terputus seiring padamnya listrik usai gempa mengguncang.
Hal serupa juga terjadi di Kampung Air Jeruk, Kecamatan Cimanggung, Pandeglang. Salah satu warga, Ahmad Kurtusi, 28, menuturkan jalur evakuasi yang tersedia masih jauh dari ideal di tengah kebutuhan evakuasi di daerah yang rawan tsunami seperti di kampungnya.
Jalur evakuasi itu hanya berupa jalur setapak tanpa penerangan yang biasa digunakan warga saat hendak pergi berkebun.
Selain itu, warga akan selalu berbondong-bondong mengevakuasi diri ketika gempa terjadi tanpa mengetahui apakah gempa tersebut berpotensi tsunami atau tidak.
"Jalur evakuasi harus diperbaiki. Peringatan dini kayak alarm gitu juga, kalau misalkan ada bencana gempa bumi, minimal kami tahu lah ini potensi tsunami, mana yang enggak," kata dia.
Kampung Air Jeruk, lanjut Ahmad, juga tidak memiliki sistem peringatan dini tsunami sehingga mereka bergantung pada sistem peringatan dini yang berada di kampung lain. Akses komunikasi yang terputus usai gempa pun membuat mereka kesulitan mengakses perkembangan informasi terbaru.
"Kemarin ketika ada gempa itu mati lampu, kita enggak tahu informasi apa pun. Ada salah satu warga yang memantau air sungai (yang dekat ke laut). Paling informasinya dari situ, jadi kalau air sungai itu naik itu berarti pasti tsunami jadi siap-siap saja," ujar Ahmad.
Hingga dua hari pasca-gempa, Ahmad mengatakan warga masih cenderung was-was terutama di tengah informasi terkait potensi gempa megathrust di Selat Sunda.
Meski informasi itu telah disampaikan dalam sosialisasi tangguh bencana di desanya, Ahmad mengaku tak yakin sistem mitigasi yang ada saat ini cukup untuk menghadapi hal itu.
"Tiap malam warga tidak bisa tidur nyenyak, apalagi dengar dari berita ada ancaman megathrust, warga di sini kurang tenang," kata dia.
Alarm atas potensi bencana yang lebih berbahaya
Kepala Badan Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan gempa berkekuatan 6,6 SR yang mengguncang Banten pada Jumat lalu "bukan ancaman yang sesungguhnya".
Menurut dia, gempa tersebut berasal dari zona seismic gap di Selat Sunda, yakni wilayah yang aktivitas kegempaannya tidak setinggi area di sekelilingnya. Tetapi, kekosongan itulah yang ternyata menyimpan potensi gempa dengan magnitudo yang lebih besar.
"Zona itu ketika dihitung oleh para ahli bisa memproduksi, merilis gempa (berkekuatan) 8,7. Jadi gempa yang kemarin itu, yang bermagnitudo 6,6 itu belum ancaman yang sesungguhnya," kata Daryono kepada BBC News Indonesia.
Namun potensi gempa tersebut tidak bisa diketahui kapan akan terjadi. Oleh sebab itu, BMKG telah menyampaikan hasil kajian itu kepada pemerintah daerah untuk direspons dengan kebijakan mitigasi.
Hal senada juga disampaikan oleh Pakar kegempaan ITB, Irwan Meilano. Menurut Irwan, gempa di Pandeglang menjadi alarm yang menunjukkan bahwa sumber gempa yang dikhawatirkan oleh para ahli itu benar-benar aktif.
"Pesan yang perlu kita baca sama-sama, bahwa wilayah itu adalah wilayah yang aktif secara tektonik. Wilayah yang ingin bilang bahwa kami ini aktif dan berpotensi, dan buktinya gempa hari Jumat kemarin," ujar Irwan.
Selain itu, Irwan mengatakan intensitas gempa pada Jumat lalu sebetulnya tidak terlalu besar dan semestinya tidak menimbulkan kerusakan. Tetapi kenyataannya, kerusakan yang terjadi cukup besar. Hal itu, kata dia menunjukkan bahwa mitigasi bencana belum berjalan baik.
"Itu alarm yang sangat penting untuk kita pahami, bahwa dengan baru gempa yang tidak terlalu besar tapi kerusakannya signifikan apalagi kalau gempa sesungguhnya yang datang," kata dia.
Mengulang kesalahan yang sama
Irwan mengatakan situasi dan dampak kerusakan yang muncul akibat gempa di Banten menunjukkan bahwa masyarakat setempat belum sepenuhnya "tangguh bencana" dan belum mampu mengimbangi potensi bencana yang mungkin terjadi.
Sejak 2019 lalu, BNPB menggelar ekspedisi Desa Tangguh Bencana ke desa-desa yang rawan tsunami di sepanjang Pantai Selatan Jawa yang didiami lebih dari 600 ribu jiwa.
Tetapi program tangguh bencana itu kemudian tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur tahan gempa, jalur evakuasi yang memadai, serta sistem peringatan dini yang layak. Akibatnya, masyarakat tetap dilanda kepanikan setiap kali bencana terjadi.
Baca juga:
- Muncul kecemasan tsunami akan terjadi lagi karena gunung Anak Krakatau terus meletus
- Tsunami akibat longsor Anak Krakatau: Bagaimana gunung api dapat jadi pemicu?
- Mengapa 'wisata gunung berapi' tetap marak, walaupun berisiko dan berbahaya?
Selain itu, sistem mitigasi yang buruk juga membuat mayoritas masyarakat tidak memahami risiko bencana yang mengintai mereka.
"Kita euforia dengan konsep tangguh bencana. Pokoknya ketika pernah dapat penyuluhan, kita anggap tangguh. Itu investasi yang panjang," kata Irwan.
"Untuk jadi insting itu kan lewat literasi dan pendidikan yang mendasar. Oke lah itu sebagai awal yang baik, tapi harus dilakukan dengan upaya yang konsisten," lanjut dia.
Hal itu, kata Irwan, membuat banyak bencana alam di Indonesia terjadi atas alasan yang sama, yakni buruknya sistem mitigasi.
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC