Dialog B20-G20 ESC TF: Transisi Energi Harus Berkeadilan dan Inklusif
Advertorial | 14 September 2022, 17:51 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – B20 Indonesia Energy, Sustainability and Climate Task Force (ESC TF) sukses mengadakan Dialog B20-G20.
Dialog B20-G20 yang diadakan di Nusa Dua, Bali ini melaporkan dan mendiskusikan secara strategis seputar rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti dan dikembangkan oleh para pemangku kepentingan, Selasa (30/8/2022).
Dialog ini berlatar belakang mengenai ketergantungan dunia pada energi, terutama yang bersumber dari bahan bakar fosil yang menimbulkan pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim.
Menurut United States Environmental Protection Agency (EPA), kenaikan suhu bumi menyebabkan gelombang panas lebih sering terjadi dan bertahan lebih lama. Gelombang ini dapat menyebabkan bencana dan penyakit, seperti kram, heat-stroke, hingga kematian.
Chair of ESC TF Nicke Widyawati pada pidato pembukaannya mengatakan, saat ini task force yang dikomandoinya fokus pada transisi energi berkelanjutan, keamanan energi dan kerja sama global antara negara maju dan berkembang.
Baca Juga: Promosikan Forum B20, Kadin Indonesia Lakukan Tur Eropa
Nicke melanjutkan, transisi energi menjadi agenda semua negara dan harus didukung demi tujuan memenuhi target tujuan pembangunan berkelanjutan. Nicke yang juga Presiden Direktur dan CEO PT Pertamina (Persero) ini mengemukakan, transisi energi tentunya akan mengubah segala hal yang selama ini sudah mapan.
Perubahan tersebut dapat mencakup penggunaan teknologi berbasis bahan bakar fosil, pasar dan produk keuangan yang harus diarahkan pada green financing, rantai pasok ekonomi dan energi hijau, model bisnis terbaru, tata kelola yang berkelanjutan, hingga pertimbangan ekonomi politik negara dan kawasan.
B20 ESC TF, lanjut Nicke, telah merumuskan tiga rekomendasi yang akan dibahas sebagai tema prioritas yakni “Mempercepat Transisi ke Penggunaan Energi Berkelanjutan”, “Memastikan Transisi yang Adil dan Terjangkau”, dan “Kerjasama Global untuk Meningkatkan Aksesibilitas Energi.”
Nicke berharap, melalui Presidensi B20-G20, Indonesia bisa mengajak semua pemangku kepentingan berkolaborasi dan bisa memastikan dunia berhasil memenuhi target pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berkeadilan baik secara etik serta moral.
Transisi Energi Penuh Tantangan
Chair of B20 Indonesia Shinta Kamdani menyampaikan apresiasi saat forum dialog keenam antar B20-G20 demi menuju pertumbuhan yang inklusif dan kolaboratif. Menurut Shinta, untuk mencapai itu semua perlu ada transisi yang pastinya penuh tantangan dan tidak mudah.
Untuk itu, B20 ESC TF merekomendasikan sejumlah kebijakan dan tindakan yang harus diambil dalam fase transisi energi ini.
Shinta memaparkan, selama rentang waktu 2000–2019, biaya sosial dan ekonomi yang dikeluarkan oleh seluruh negara di dunia ini sangat besar terkait emisi gas rumah kaca yang muncul akibat penggunaan bahan bakar fosil.
"Kita sudah kehilangan ratusan miliar US dolar akibat emisi karbon selama periode itu. Untuk itu, B20 Indonesia mencoba memberikan jalan keluar dan jembatan penghubung untuk menghindari dampak lebih besar dari perubahan iklim yang mengakibatkan bencana global, termasuk soal kolaborasi pembiayaan mitigasi perubahan iklim,” lanjut Shinta.
B20 Indonesia mendorong enam legacy yang dirancang bukan sebagai one-time initiative, melainkan sebagai inisiatif yang terus berjalan bahkan setelah berakhirnya Presidensi G20 Indonesia.
Baca Juga: Delegasi B20 dan Kadin Berkunjung ke Australia selama 7 Hari, Ini Tujuannya
Dalam transisi energi, ada dua Legacy Programs yang disiapkan, yakni Carbon Center of Excellence dan Global Blended Finance Alliance.
Shinta menjelaskan, Carbon Center of Excellence akan membantu dan memandu dunia usaha dalam memahami perdagangan karbon melalui hub pengetahuan serta practice sharing center.
Sementara itu, Global Blended Finance Alliance merupakan platform organisasi multilateral yang akan membantu dalam persoalan inovasi pembiayaan dalam infrastruktur hijau, keamanan energi, akses dan efisiensi energi, inovasi teknologi bersih demi mencapai SDGs dan mitigasi dampak perubahan iklim.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan transisi energi akan memberikan banyak efek positif bagi ekonomi Indonesia dan dunia.
Arsjad mengatakan, hilirisasi sumber daya alam Indonesia seperti nikel, bisa ikut berkontribusi dalam membangun ekosistem ekonomi hijau, khususnya untuk industri mobil listrik dan panel surya yang membutuhkan nikel sebagai bahan baku baterai serta panelnya.
“Transisi energi akan meringankan beban APBN kita yang selama ini tersedot untuk subsidi energi fosil. Upaya mencapai ambisi Net Zero 2030, Indonesia perlu 220 GW kapasitas panel surya sampai tahun 2050 dan saat ini sudah ada regulasi yang mendukung untuk mencapai transisi energi," ucap Arsjad.
Menurut Arsjad, sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dukungan pendanaan, capacity building, dan teknologi untuk mencapai transisi energi yang inklusif dan berkeadilan.
Arsjad mengatakan, pengembangan industri hijau dan transisi energi ini penuh tantangan sehingga hanya bisa tercapai dengan kolaborasi antara publik dan swasta dengan terus menerus menciptakan inovasi dan dukungan regulasi yang baik.
Kadin Indonesia sendiri sudah membentuk Kadin Net Zero Hub, platform yang menjadi hub untuk berbagi pengetahuan tentang transisi energi dan membantu sektor bisnis-publik mencapai nol emisi demi pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Mobilisasi Pembiayaan Berkelanjutan
Acara ini juga mengundang beberapa menteri kabinet dan perwakilan kementerian RI di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto; Menkeu Sri Mulyani dan Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana.
Selain itu, Minister Power, New & Renewable Energy, Ministry of New and Renewable Energy India, Raj Kumar Singh dan Sanjiv Puri, Vice President, CII and Chairman & Managing Director, ITC Ltd yang juga perwakilan B20 India akan hadir untuk memberikan pandangan mengenai relevansi rekomendasi ESC TF bagi Presidensi B20-G20 India 2023.
Baca Juga: Kadin Indonesia Dukung Infrastruktur Ramah Lingkungan
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pidatonya mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa pemulihan ini semakin membaik. Inflasi 4,9 persen YoY Juli tahun ini juga kata Airlangga masih bisa dikelola dan ditangani sehingga masih ada keleluasaan bagi fiskal untuk fokus pada persoalan mitigasi iklim dan transisi energi.
Airlangga mengakui, Indonesia masih belum mencapai tujuan transisi energi dan adaptasi iklim, namun mendorong transisi energi yang inklusif dan berkeadilan tetap harus diperjuangkan.
“Menjadikan isu transisi energi sebagai isu prioritas yang dilakukan G20-B20 Indonesia sudah sangat tepat, karena ini terkait dengan sudut pandang ekonomi, politik dan lingkungan di masa yang akan datang," terang Airlangga.
"Nantinya transisi energi akan menghasilkan 65 juta lapangan kerja baru di tahun 2030 dengan potensi ekonominya mencapai 26 miliar dolar AS. Melalui mobilisasi dukungan, kebijakan dan tindakan terkait krisis pangan dan iklim, kepemimpinan kita bisa diandalkan,” lanjut Airlangga.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan pada komitmen semua negara, termasuk Indonesia melalui Presidensi G20-B20 untuk menyelamatkan kemanusiaan yang saat ini terancam akibat perubahan iklim, krisis pangan dan krisis energi.
Menurut Sri Mulyani, menjadikan energi dan perubahan iklim sebagai isu strategis sangat penting, terutama dalam kerangka mitigasi dampak pemanasan global melalui pembiayaan adaptasi iklim yang berkelanjutan dan mudah dijangkau.
Sri Mulyani menjelaskan, negara terbatas pembiayaan dari APBN sehingga harus mencari alternatif pembiayaan untuk mitigasi iklim dan transisi energi. Jadi, perlu ada kerangka kerja mengenai pembiayaan yang dibutuhkan untuk mengakselerasi transisi energi.
"Blended finance ini jadi terobosan untuk memobilisasi dana baik dari pihak komersial maupun non komersial. Memang, isu perubahan iklim dan transisi energi harus diselesaikan melalui kolaborasi global,” kata Sri Mulyani.
Menyambung Menkeu Sri Mulyani, Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan mitigasi perubahan iklim dan transisi energi dari fosil ke EBT memang bukan persoalan mudah.
Selain dibutuhkan komitmen politik yang kuat dan riset memadai, juga dibutuhkan pembiayaan yang besar untuk dapat mencapai transisi energi dengan mulus dan inklusif. Dari catatan Kementerian ESDM, Rida mengkalkulasi Indonesia butuh 1 triliun dolar AS untuk transisi energi dan mencapai bauran EBT yang tinggi.
Baca Juga: KADIN: Investor Menyukai Kestabilan Politik, Tepat Indonesia Akan Hadapi Tahun Politik di 2024!
Dalam salah satu panel diskusi membahas percepatan transisi ke penggunaan energi berkelanjutan, Sacha Winzenried, sebagai B20 ESC TF Team Leader untuk PwC sebagai Lead Knowledge Partner dan Energy, Utilities & Resources Lead Advisor di PwC Indonesia, menyampaikan sejumlah poin.
Menurut Sacha, untuk menutup kesenjangan dekarbonisasi, semua pelaku ekonomi perlu menunjukkan kinerja yang lebih baik.
"Melakukan transisi energi dengan benar, yang berarti melaksanakan proses transisi dengan lebih cepat, tanpa gangguan ekonomi dan sosial, dan memastikan tidak ada yang tertinggal, sangatlah penting untuk menjamin dan mempertahankan kelayakan sosial dan politik yang diperlukan untuk perubahan yang begitu besar,” pungkas Sacha.
Penulis : Adv-Team
Sumber : Kompas TV