Layanan Optimasi Biaya Lewat Sistem Pembayaran AWS Pay As You Go
Advertorial | 17 Januari 2022, 16:09 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Keberadaan startup sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan startup perlu didukung dengan perangkat penyimpanan data yang tinggi untuk meningkatkan performa bisnis.
Untuk itu, hadirnya pusat data data Amazon Web Services (AWS) di Indonesia disambut baik oleh pelaku perusahaan startup di Indonesia, salah satunya PT Basicteknologi Intersolusi Tersinergi (Basic IT Team).
Chief Technology Officer Basic IT Team, Rogers Dwiputra Setiady mengatakan, dirinya sudah memiliki akun AWS dan mempelajari komunitas developer global AWS sejak 2015. Kemudian pada tahun 2018, Rogers mulai menggunakan AWS untuk Dev Workload.
“Saya mencoba ikut ujian sertifikasi entry level, yaitu Cloud Practitioner dan menjadi Academy Instructor di Telkom University,” ujar Rogers.
Rogers menyebutkan, AWS menawarkan keunggulan dari segi fleksibilitas metode pembayaran yang biasa disebut dengan pembayaran pay as you go.
Pada tahun 2020, Rogers memutuskan perusahaan startup-nya untuk bermigrasi secara penuh menggunakan AWS. Di tahun yang sama, Rogers terpilih menjadi Community Builders AWS Indonesia.
Rogers mengakui bahwa layanan AWS memberikan edukasi dan pengalaman perjalanan menuju cloud yang lebih baik.
Perjalanan migrasi stratup
Ada berbagai alasan mengapa Rogers memutuskan untuk bermigrasi menggunakan layanan AWS secara total, antara lain adalah keunggulan gartner magic quadrant.
Dalam perspektif seorang developer, Rogers mengaku mendapatkan pengalaman yang berbeda saat belajar dan menggunakan layanan AWS karena didukung oleh komunitas yang sangat suportif.
Baca Juga: Demokratisasi Akses Layanan Kesehatan dengan Teknologi Cloud
Tahap paling awal migrasi saya adalah melakukan perubahan pada fitur esensial e-presensi yaitu absen pengenalan wajah (face recognition).
Layanan tersebut merupakan aplikasi berbasis cloud untuk manajemen sumber daya manusia. Aplikasi tersebut mengalami pertumbuhan signifikan sejak pandemi Covid 19.
Arsitektur layanan AWS memiliki kelebihan dari segi skalabilitas, high availability namun tetap efisiensi biaya. Berbeda dengan arsitektur sebelumnya yang memiliki banyak kekurangan.
Sebelumnya, Basic IT Team menggunakan sebuah instance biasa untuk server aplikasi yang terhubung ke instance database. Ada hal menarik, yaitu sebuah instance berisi aplikasi face recognition berbasis Python.
Salah satu fitur yang paling sering digunakan, yaitu e-presensi dengan fitur pengenalan wajah. Fitur tersebut memiliki workload traffic paling tinggi dan esensial.
“Saya menyadari arsitektur ini tidak bersifat high availbility. Bayangkan jika salah satu instance bermasalah, maka sistem tidak dapat berjalan sama sekali dan tidak memiliki backup, itu sangat buruk bagi startup baru yang sedang membangun reputasi,” ujar Rogers.
Kekurangan kedua adalah sistem sebelumnya tidak scalable, saat awal pandemi, pengguna e-presensi meningkat dan kami tidak siap melayani ledakan user dengan arsitektur ini.
Kekurangan ketiga, traffic e-presensi hanya tinggi di waktu tertentu, yaitu saat absen masuk dan absen pulang.
“Bagi saya seorang developer yang bisa melihat workload keseluruhan, setiap jamnya sangat membuang uang. Kenapa harus membayar resource yang sedang tidak digunakan bahkan di hari libur,” ujar Rogers.
Selain itu, perusahaan harus tetap membayar server face recognition secara penuh 24 jam.
Kemudian, Rogers mengganti Instance Python dengan Amazon Recognition dan S3. Amazon rekognition adalah services dari AWS untuk melakukan image processing dan S3 digunakan sebagai storage untuk menyimpan meta data wajah dari user.
“Kami mendapat penghematan besar dengan menggunakan recognition. Kami hanya membayar sesuai API Call,” jelas Rogers.
Tahap lanjutan migrasi PT Basic Teknologi yaitu saya membuat fitur presensi menjadi serverless.
“Jika bicara serverless di AWS tentunya kita familiar dengan Lambda. Dengan arsitektur ini, foto wajah user saat absen diunggah ke Amazon S3. Di sini saya mengaktifkan Lambda Trigger S3 (object created),” jelas Rogers.
Baca Juga: Tanggung Jawab Bersama Lindungi Keamanan Data di Ruang Siber
Selanjutnya dilakukan proses eksekusi recognition untuk melakukan pencocokan wajah berdasarkan face meta data yang ada pada S3.
Keuntungan menjadi serverless penuh antara lain dari segi biaya (cost) yang dibebankan sesuai dengan beban penggunaan. Lambda hanya akan dieksekusi jika ada user yang melakukan absen. Tentunya, hal ini menjadi keuntungan saat ada libur panjang.
Kelebihan server-less lainnya adalah arsitektur yang bersifat decoupled. Maksudnya, apabila terjadi masalah pada server aplikasi, fitur presensi dapat berjalan secara independen.
Fitur absensi adalah fitur paling esensial dan critical dari e-presensi. Maka Rogers berpendapat bahwa memutuskan untuk menjadi serverless dinilai sebagai pilihan terbaik.
“Saya juga menggunakan DynamoDB sebagai storage nosql untuk data absensi dan data lainnya yang bersifat log. Tak lupa, saya juga memasang CloudFront untuk distribusi konten statis yang terhubung ke S3,” jelas Rogers.
Untuk face recognition bersifat terpisah atau decoupled dengan tujuan agar fitur critical tidak terganggu jika ada masalah dengan server utama. Berikut adalah service yang membantu perusahaan startup dalam melakukan optimasi biaya:
1. Amazon Elastic Compute Cloud (Amazon EC2)
Load traffic dapat diprediksi di waktu tertentu sehingga layanan ini sangat menghemat biaya. Pada waktu lainnya, hanya menggunakan resource yang sangat kecil.
2. AWS Lambda dan Amazon Rekognition
Mengganti layanan face recognition menjadi serverless dapat memangkas biaya operasional. Hal ini dikarenakan Lambda dan Rekognition hanya mendapat tagihan jika dieksekusi.
3. Amazon Simple Storage Service
Untuk storage, fitur S3 intelegent-tiering sangat membantu mengurangi biaya. Penyimpanan arsip foto absensi yang harus tersimpan dan tumbuh setiap harinya.
(ahr)
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kompas TV