> >

Kepala BIN Ungkap Ancaman Hoaks dan Polarisasi Lewat Buku Demokrasi di Era Post Truth

Advertorial | 12 Desember 2021, 15:15 WIB
Bedah buku "Demokrasi di Era Post Truth" karya Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Budi Gunawan. (Sumber: Dok. KPG)

JAKARTA, KOMPAS.TV — Lewat buku berjudul “Demokrasi di Era Post Truth” terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG, 2021), Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Budi Gunawan uraikan berbagai permasalahan yang terjadi di era pasca-kebenaran (post-truth).

Masyarakat mudah memercayai hoaks daripada fakta sesungguhnya. Tidak adanya upaya pengecekan atas sumber berita yang dapat dipertanggungjawabkan akibat kurangnya literasi media.

Banyaknya informasi salah atau disinformasi, menurut Budi, tak lepas dari dampak kemajuan teknologi komunikasi dan derasnya arus informasi di media sosial.

Dalam bukunya, Budi Gunawan memperlihatkan bahwa media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah dan memunculkan teori-teori konspirasi liar.

Tak hanya itu, media sosial juga bisa mendorong pembicaraan negatif mengenai kubu tertentu tanpa dasar yang jelas, bahkan menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat.

Post-truth, ancaman bagi demokrasi

Terdapat empat kategori disinformasi post-truth yang diproduksi dan disirkulasikan menurut Budi Gunawan, yaitu disinformasi politik, nonpolitik, hiburan, dan demi keuntungan finansial.

Disinformasi post-truth juga berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting.

Baca Juga: Hambat Penanganan Covid-19, Kemkominfo Gencarkan Upaya Pemutusan Informasi Hoaks

Lebih jauh Budi menjelaskan, demokrasi elektoral yang sehat jelas sulit dibangun apabila masyarakat tidak menggunakan kemampuan kritisnya dalam mengonsumsi informasi.

Di era ini, emosi dan keyakinan personal lebih penting daripada fakta objektif, sehingga antara kebohongan dan kebenaran sulit diidentifikasi.

Di Indonesia, polarisasi politik, khususnya dalam satu atau dua dekade ini, tampak nyata dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis.

Dalam hal ini, muncul bukan hanya polarisasi isu, melainkan juga polarisasi geokultural. Konten-konten negatif lalu-lalang mengaburkan fakta-fakta politik sebenarnya dan melahirkan apa yang disebut politik post-truth.

Polarisasi politik pada Pemilu 2019, misalnya, jauh lebih intens dan lebih tajam dibandingkan dengan Pemilu 2014. Proliferasi dan viralisasi konten-konten kampanye hitam yang cenderung provokatif melalui hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian marak digaungkan di ruang virtual.

“Polarisasi diwarnai dengan produksi serta viralisasi konten-konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian, serta kampanye hitam yang memunculkan kegaduhan dan berpotensi mengancam kohesi sosial serta keamanan nasional,” tulis Budi Gunawan.

Praktik-praktik politik post-truth tentu akan membawa konsekuensi negatif berup terkikisnya tradisi perdebatan yang sehat di masyarakat, terjadinya kebuntuan politik, dan timbulnya ketidakpastian terkait kebijakan. Bahkan, post-truth bisa menjadikan masyarakat mengalienasi diri dari dinamika politik.

Polarisasi politik

Terjadi secara global di Amerika Serikat, polarisasi politik yang cukup tajam antara kubu liberal dan kubu konservatif terjadi akibat disinformasi post-truth, terutama pada masa pemilu.

Hal yang sama juga terjadi di Inggris, ditandai oleh pertarungan dua partai dominan, yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif.

Karena itulah, dalam Pemilu Amerika Serikat 2016, Barack Obama menggarisbawahi peran media sosial dalam mempercepat terjadinya polarisasi yang tajam antarpihak yang berkompetisi.

Baca Juga: Video Air Laut Surut di Pantai Merak Banten Viral di Medsos, BMKG: Itu Hoaks

Dia mengatakan, media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah, memunculkan teori-teori konspirasi liar, membicarakan kubu oposisi secara negatif tanpa dasar dan bukti yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi yang tajam di antara para kontestan pemilu. Akibatnya, upaya-upaya dialog menjadi sulit sekali dilakukan.

Kondisi yang terjadi di Amerika Serikat ternyata juga dialami Korea Selatan. Pemilu di Korea Selatan berkelindan dengan peningkatan berita palsu pada Pemilihan Presiden 2017.

Ketika itu, presiden berkuasa, Park Geun-hye, dimakzulkan menjelang pemilihan presiden. Jabatan yang kosong diisi Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn. Presiden hasil pemilu diharapkan segera mengisi kekosongan tersebut.

Karena itu, pilpres yang sedianya dilaksanakan 20 Desember 2017 dipercepat menjadi 9 Mei 2017.

“Isu pemakzulan menjadi latar belakang kampanye yang panas. Isu itu membuat tema kampanye terpolarisasi antara pendukung dan penentang pemakzulan presiden. Debat capres pun menjadi debat yang tidak terkontrol, sehingga para capres terpancing mengeluarkan beragam berita palsu dan informasi yang menyesatkan,” tulis Budi Gunawan.

Empat strategi mengamankan demokrasi

Menurut Budi Gunawan, demi mengamankan demokrasi elektoral mendatang, perlu adanya perumusan strategi untuk mengantisipasi praktik disinformasi post-truth.

Terdapat empat strategi yang ditawarkan. Pertama, memperkuat intelijen siber di Badan Intelijen Negara.

Cara ini meliputi strategi penyebaran informasi, pelatihan, serta peningkatan kualitas SDM intelijen tentang dunia siber dan platform media baru. Ini dilakukan agar intelijen Indonesia mampu merespons serta mengantisipasi beragam disinformasi.

Kedua, melakukan intervensi teknologi. Harus ada upaya inovasi teknologi factchecking oleh negara, industri platform, dunia akademis, maupun masyarakat sipil.

Selain itu, teknologi filter konten oleh industri platform untuk mendeteksi konten-konten negatif harus terus diperbarui.

Baca Juga: Update: Vaksinasi Jeneponto Terhalang Hoaks; Ribuan Dosis Vaksin di NTT dan Jateng Kedaluwarsa

Ketiga, memperbarui regulasi. Seluruh pihak yang berelasi di ruang siber diharapkan dapat tersentuh hukum apabila melakukan pelanggaran.

Indonesia sendiri sudah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetapi perlu penyempurnaan mengikuti kemajuan yang terjadi.

Keempat, mengingat masyarakat mudah memercayai informasi yang bertebaran, Budi Gunawan menyarankan pembentukan masyarakat kritis.

Upaya ini dapat dilakukan melalui edukasi pola pikir yang kritis, tidak menelan mentah-mentah informasi yang didapat.

Penulis : Elva-Rini

Sumber : Kompas TV


TERBARU