Hari Santri Nasional: Peran dan Tantangan Santri dalam Merawat Kesatuan
Advertorial | 25 Oktober 2021, 21:47 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober merupakan momen penting perjalanan bangsa.
Ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015, peringatan Hari Santri Nasional merupakan apresiasi sejarah dari perjuangan para ulama dan santri dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Karjono Atmoharsono, Sekretariat Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menuturkan bahwa penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri memiliki latar belakang historis yang tinggi.
“Ulama dan santri memiliki peran besar terhadap kemerdekaan untuk mempertahankan NKRI. Ini ditujukan untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan perjuangan ulama dan santri sebagai pahlawan bangsa,” kata Karjono saat diwawancarai KompasTV, Sabtu (23/10/2021).
Menurut Karjono, sejarah Hari Santri berkaitan dengan ditetapkannya ‘Resolusi Jihad’ yang dicetuskan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
“Sejarah penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri itu merupakan Resolusi Jihad yang digagas oleh Kyai Hasyim Asy'ari yang pada masa itu menjabat sebagai Rais akbar,” lanjutnya.
Baca Juga: Peringati Hari Santri Dengan Kirab Obor
Lebih lanjut ia menuturkan, pada masa itu, Presiden Soekarno melakukan silaturahmi dan mendapatkan fatwa dari Kiai untuk bersatu melawan melawan pasukan kolonial.
Dengan menggerakkan dan mengangkat semangat seluruh umat, akhirnya, puncak perlawanan pada 10 November 1945 berhasil dicapai. Ini juga dikenal sebagai cikal bakal peringatan Hari Pahlawan.
Hari Santri sebagai elemen historis dalam Kemerdekaan Indonesia juga diungkap oleh Direktur Pendidikan Diniyah & Pondok Pesantren Kemenag, Waryono Abdul Ghofur.
Waryono mengingatkan kembali peran para santri dalam perjuangan melawan penjajah dan merebut kemerdekaan.
“Peran santri dan kiai untuk kemerdekaan Indonesia ini harus dijaga agar tidak ada klaim bahwa ini keberhasilan satu atau dua orang atau pun satu kelompok tertentu,” ucap Waryono.
Untuk itu, Waryono memiliki harapan besar agar para santri dapat mempertahankan kemerdekaan sebagaimana mereka memperjuangkannya dahulu.
Ia ingin agar perjuangan para pendiri bangsa bisa dihayati dan diisi dengan berbagai prestasi.
“Karena santri dulu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, maka santri juga bertanggung jawab untuk mempertahankan kemerdekaan ini agar bisa dinikmati. Kemudian, bagaimana agar hasil-hasil dari perjuangan para pendiri bangsa itu bisa dihayati dan diisi dengan sebaik-baiknya,” tegas Waryono.
Tantangan santri dan lembaga pendidikan
Lewat masa kemerdekaan, peran santri tetap dibutuhkan. Namun, adanya perkembangan zaman dan disrupsi yang memaksa penggunaan teknologi membuat tantangan santri berbeda.
Jika dulu para santri mengangkat senjata melawan penjajah, para santri saat ini mungkin harus menghadapi ujaran-ujaran kebencian, hoaks, dan ekstremisme di internet yang dapat memecah belah kesatuan.
Dari sisi undang-undang, menurut Waryono, seluruh satuan pendidikan di pesantren sudah diakui sama dengan yang lain. Pemerintah juga memfasilitasi agar para santri memiliki dan menerima akses yang sama dari negara.
Beberapa pesantren diketahui telah menguasai teknologi digital dan menggunakan sitem digital dalam pembelajaran.
“Pesantren itu lembaga yang paling adaptif. Sekarang banyak yang sistemnya digital, bahkan cara untuk memantau memantau pelajaran apa yang yang sudah dipelajari juga sudah digital,” ujar Waryono.
Baca Juga: BPIP Beri Pesan Ideologi Pancasila untuk Para Santri di Hari Santri Nasional 2021
Kendati demikian, tantangan masih dimiliki pesantren lain untuk menyeimbangkan pendidikan agama dengan keterampilan yang dapat mendukung para santri beradaptasi di tengah perkembangan masyarakat.
Dalam upaya mencapai resolusi tersebut, Kemenag saat ini tengah menjalankan Program Kemandirian Pesantren.
Program ini ditujukan untuk menguatkan kapasitas lembaga dan kapasitas fungsi pesantren yang dilihat memiliki potensi yang luar biasa dan memiliki ‘fitrah’ mandiri. Menurut Waryono, jumlah pesantren yang saat ini mencapai 33.890 memiliki potensi yang luar biasa jika dikelola dengan optimal.
“Pesantren ternyata memiliki potensi yang luar biasa, hanya karena perkembangan dan kompetisi global, seringkali skill-nya tidak terasah. Kemandirian ini kita coba kembalikan ke fitrahnya. Jadi kita ajarkan bagaimana teknologinya, bagaimana manajemennya, SDM-nya,” terang Waryono.
Selain peningkatan kemampuan, Karjono menambahkan bahwa penanaman nilai-nilai Pancasila di pendidikan formal, non formal, dan informal termasuk pesantren juga sangat dibutuhkan untuk menjaga ketahanan NKRI.
Dengan begitu, para santri yang telah menguasai teknologi dapat berkontribusi merawat nilai-nilai pancasila di ekosistem digital yang rawan dimasuki pesan-pesan perpecahan.
“Itulah gunanya perubahan Peraturan Presiden (Perpres) 57 Tahun 2021, di mana dulu hanya pendidikan dasar saja yang ada Pancasila. Sekarang diterapkan di semuanya (lembaga pendidikan). Ini sudah didukung kementerian lembaga terkait dan BPIP sedang menyiapkan buku ajarnya,” tutup Karjono.
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kompas TV