Mekanisme Co-firing Biomassa PLTU Jeranjang Gairahkan Ekonomi Warga
Advertorial | 22 Oktober 2021, 09:11 WIBKOMPAS.TV – Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak hanya membawa manfaat bagi lingkungan, tetapi juga ekonomi warga sekitar Desa Lempah Sempage, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sejak mekanisme co-firing biomassa mulai dilakukan di PLTU Jeranjang pada Desember 2020, warga setempat berbondong-bondong mengumpulkan serbuk kayu untuk didistribusikan ke PLTU.
Untuk diketahui, metode co-firing mencampur batubara dengan biomassa berkadar tertentu sebagai bahan bakar utama PLTU. Umumnya, kadar biomassa yang dicampur 5-10 persen.
Ada sekitar 15 titik pengolahan kayu di desa yang berjarak tak jauh dari Mataram, ibu kota NTB. Muazzinin (33) adalah salah seorang warga yang bekerja mengangkut serbuk untuk dimasukkan ke dalam karung berkapasitas 50 kilogram.
”Setiap ada pengambilan serbuk kayu, saya pasti ke sini. Ikut ambil upah. Tidak hanya saya, warga lain juga ikut,” tutur Mazizinin, seperti dikutip dari Kompas, (11/10/2021).
Muazzinin menyebutkan, mereka dibayar Rp 3.000 per karung serbuk kayu. Setiap kali ada pengangkutan, Muazzinin bisa membawa pulang hingga Rp 50.000.
”Lumayan. Ada tambahan untuk belanja di rumah,” lanjutnya yang juga tengah membudidayakan jamur tiram.
Kegiatan itu telah berlangsung hampir setahun sejalan dimulainya substitusi batubara dengan mekanisme co-firing biomassa di PLTU Jeranjang.
Barwan, koordinator pasokan serbuk kayu ke PLTU Jeranjang, menjelaskan mekanisme pengambilan serbuk kayu.
”Pengambilannya secara bergiliran. Satu kali dalam seminggu dengan rata-rata produksi 10-13 ton,” kata Barwan.
Dari lokasi pengolahan kayu, serbuk kayu tersebut kemudian dikumpulkan ke tempat penampungan sementara yang juga berfungsi untuk proses pengeringan.
Lalu, setiap bulan sekali, Barwan mengirim sekitar 300 ton serbuk kayu ke PLTU Jeranjang. Serbuk kayu dijual Barwan sekitar Rp 400 per kg.
”Dari seluruh serbuk kayu yang berhasil saya kumpulkan memang tidak semuanya ke PLTU. Tetapi sekitar 80 persen. Sisanya untuk usaha jamur tiram,” kata Barwan.
Ia mengakui, kegiatan itu berdampak secara ekonomi bagi warga di lokasi pengambilan serbuk kayu, baik itu warga yang mengisi karung maupun bagi pemilik tempat pengolahan kayu.
Jika di satu titik ada sekitar 300 karung, setidaknya Barwan mengeluarkan sekitar Rp 1 juta untuk warga.
”Sementara ke pemilik area, sebenarnya serbuk kayu dikasih gratis. Karena jika tidak diambil, akan jadi limbah. Namun, saya tetap memberi mereka Rp 200.000-Rp 300.000 per truk,” ujar Barwan.
Salah satu pemilik area pengolahan kayu, Siamul Hadi (42), membenarkan hal itu. Menurutnya, serbuk kayu dari tempatnya memang diberikan secara gratis.
“Namun, untuk biaya pengisian ke karung tidak. Itu tentu jadi peluang bagi warga di sini untuk dapat penghasilan,” jelas Siamul.
Baca Juga: PLTP Lebih Ramah Lingkungan, Tapi Terkendala Perekonomian
Selain di lokasi pengolahan, penggunaan biomassa serbuk kayu juga berimbas pada warga di sekitar lokasi penampungan sementara. Menurut Barwan, saat ini ia mempekerjakan 16 warga di sana.
Barwan mengatakan, selain upah harian masing-masing Rp 120.000, para pekerja mendapat tambahan dari pekerjaan borongan. Misalnya, ia mengeluarkan Rp 500.000 per truk untuk enam orang saat bongkar muat.
”Kegiatan ini memang berdampak secara ekonomi. Tidak hanya untuk saya, tetapi juga bagi warga yang terlibat,” terangnya.
Pengolahan sampah
Selain penggunaan biomassa serbuk kayu, bahan lain yang digunakan adalah sampah. Karena itu, para petugas pengolahan biomassa sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok juga merasakan dampak ekonomi.
TPA Kebon Kongok yang berlokasi di Desa Suka Makmur, Lombok Barat, saat ini menjadi lokasi pengolahan sampah yang juga menjadi bahan co-firing biomassa PLTU Jeranjang.
Kegiatan itu merupakan sinergi antara PT Indonesia Power, PLN Unit Induk Wilayah NTB, dan Pemerintah Provinsi NTB.
Kerja sama tersebut terkait penelitian dan pengembangan pengelolaan sampah sebagai energi pelet refuse derived fuel (RDF).
PT Indonesia Power menyediakan peralatan dan pendampingan, sementara untuk lahan, tempat, dan petugas dari Pemprov NTB.
Baca Juga: Siapkan Biomassa untuk PLTU, PLN Kembangkan Hutan Energi dengan Undana
Salman, koordinator Kelompok Jeranjang Olah Sampah Setempat (JOSS) yang melaksanakan kegiatan di TPA Kebon Kongok, merupakan salah satu dari empat petugas yang setiap hari mengolah biomassa sampah.
Setiap hari, mereka bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 memproduksi 200-600 kg biomassa sampah untuk PLTU Jeranjang. Produksi mereka dikirim ke PLTU Jeranjang sebanyak 5 ton per bulan.
Salman menuturkan, kegiatan tersebut memberikan manfaat baginya dan juga tiga petugas lain yang seluruhnya berasal dari Lombok Barat. Selain mendapat ilmu pengolahan sampah, juga honor bulanan yang mencapai Rp 2,5 juta.
”Dulu, kami bekerja serabutan. Sekarang kami fokus di sini. Selain mendapat ilmu, juga ada pemasukan bulanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ungkap Salman.
Dibandingkan serbuk kayu, produksi biomassa sampah memang masih rendah untuk saat ini. Namun, dari sisi nilai kalor bisa mencapai 3.700 kilokalori per kilogram (kkal/kg).
Menurut Supervisor Senior Pengelolaan Energi Primer PLTU Jeranjang Slamet Supriyanto, nilai itu sudah mendekati nilai kalor batubara yang berkisar 4.000-4.200 kkal/kg.
Salman menilai, keberlanjutan bahan baku biomassa sampah perlu terus didorong. Dalam waktu dekat, Pemprov NTB bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan mengoperasikan alat produksi biomassa sampah dengan kapasitas 120 ton per hari.
”Ke depan, semoga semakin banyak yang merasakan manfaat dari program ini. Baik secara langsung dengan menjadi petugas karena pasti terbuka lapangan pekerjaan. Juga secara tidak langsung yakni masyarakat yang makin mampu mengolah sampah dengan baik sebelum dikirim ke TPA,” tutup Salman.
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kompas TV