> >

Demokrasi Digital di Ujung Jempol

Advertorial | 19 Oktober 2021, 15:19 WIB
Ilustrasi demokrasi digital masyarakat. (Sumber: Dok. Marygops)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Ruang demokrasi di masa pandemi Covid-19 menjadi terbatas bagi adanya pertemuan masyarakat secara fisik. Tidak hanya itu, urusan ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, sosial, dan lainnya diatur dan dibatasi demi mencegah menyebarnya virus corona. 

Sejak itu, kebutuhan masyarakat akan ruang publik berpindah ke ruang digital. Internet memampukan ruang-ruang digital untuk saling terhubung dan menghubungkan warga menjadi warganet.

Dalam pemikiran Hannah Arendt (Marjin Kiri, 2012), ruang publik adalah tempat manusia bebas bersama-sama membicarakan dan memutuskan persoalan-persoalan publik secara argumentatif. Menurut filsuf Yahudi ini, demokrasi dan politik berbasis pada kemajemukan manusia.

Masyarakat majemuk kembali bercakap-cakap melalui jejaring media sosial. Pelajar dan mahasiswa menempuh pendidikan melalui kelas-kelas daring. Pelayanan kesehatan dan keuangan bertransformasi melalui aplikasi-aplikasi berbasis Internet.

Di titik ini, demokrasi juga berpindah ke ruang digital dalam bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, ekses negatif juga melintasi ruang digital bagi demokrasi dalam bentuk ujaran kebencian dan kabar bohong. 

Batas antara demokrasi untuk kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian menjadi tidak jelas. Jaringan Internet dan jejaring media sosial seakan menciptakan dunia maya yang sama sekali baru bagi setiap pihak untuk mewujudkan apa saja.

Demokrasi Digital 

Demokrasi digital dipandang sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses politik dan pemerintahan. Dalam kondisi ideal, Internet mendorong aspirasi masyarakat tersampaikan melalui berbagai saluran komunikasi pemerintahan sehingga tercipta kebijakan dan regulasi publik.

Artinya masyarakat seyogianya memiliki kesempatan dan kebebasan berpendapat dan berekspresi secara demokratis di ruang digital. Namun, optimisme akan demokrasi digital itu memudar. Rohaniwan dan budayawan Sindhunata, dalam Majalah Basis Edisi 3-4 Tahun 2019, menandai zaman ini dengan keciri bahwa jaringan Internet dan jejaring media sosial malah menjadi dunia yang nyaris anarkis.

Menurut Sindhunata, manusia bisa menumpahkan apa saja di Internet, termasuk kebencian, permusuhan, agresivitas, egoisme, dan naluri destruktifnya. Seolah-olah tidak ada hukum dan otoritas yang bisa mengontrolnya. Kabar bohong merajalela tanpa halangan di jejaring media sosial.

Dalam praktek pesta demokrasi di Indonesia, realitas politik dan pemerintahan mencatatkan bahwa sejak Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 lalu, demokrasi bagi masyarakat terbelah menjadi golongan cebong, kampret, dan golput. 

Bagi kalangan cebong, sosok Joko Widodo adalah keutamaan di Indonesia, dan bagi kalangan kampret, Prabowo Subiantoro adalah penyelamat bagi Indonesia. Sementara kalangan golput alias golongan putih, menjustifikasi sebagai yang cerdas dalam berpolitik.

Fenomena ini mirip dengan kritik Platon atas demokrasi. Filsuf Yunani kuno ini memandang bahwa demokrasi adalah rezim kebebasan dan kesetaraan. Ekses dari kebebasan yang kebablasan dan kesetaraan yang tak tahu batas malah memunculkan manusia tiranik.

Penulis : Elva-Rini

Sumber : KompasTV


TERBARU