IOM: Kolaborasi Semua Pihak Diharapkan dalam Memerangi Perdagangan Orang
Advertorial | 7 April 2021, 11:50 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - International Organization for Migration (IOM) di Indonesia menggelar webinar bertajuk “Tren, Pola, dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)” dalam rangka meningkatkan kesadaran publik, khususnya perempuan dan anak, terhadap isu perdagangan orang.
Webinar tersebut dilaksanakan secara daring pada Selasa, 6 April 2021, pukul 14.00 WIB melalui live streaming YouTube KompasTV. Kegiatan digelar dalam rangka membahas maraknya praktik perdagangan orang di Indonesia yang kian lama semakin mengkhawatirkan.
Beberapa narasumber hadir di antaranya, Judha Nugraha (Direktur PWNI & BHI Kementerian Luar Negeri), Hariyanto Suwarno (Ketua SBMI), Maizidah Salas (Penyintas, Ketua DPC SBMI Wonosobo, Puji Astuti (Divisi Pengembangan Usaha Aspataki), dan Eny Rofiatul Ngazizah (Project Assistant Counter Trafficking and Labour Migration, IOM di Indonesia).
Acara yang dipandu Ni Luh Puspa mengungkap berbagai fakta terkait kondisi perdagangan orang yang terjadi di Indonesia saat ini. Tidak hanya itu, webinar juga membahas berbagai isu terkait perdagangan orang, seperti bagaimana meningkatkan kesadaran publik, serta membangun kolaborasi guna mencegah TPPO bersama instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan sektor swasta.
Salah satu penyintas TPPO, Maizidah Salas membeberkan faktor utama tingginya jumlah korban TPPO yang berasal dari desa. Menurutnya, banyak masyarakat desa yang terjebak janji manis pelaku TPPO dan tidak mendapatkan sosialisasi mengenai pola perdagangan orang.
“Banyak masyarakat desa yang terjebak janji manis pelaku TPPO dan tidak mendapatkan sosialisasi mengenai migrasi yang aman dan modus-modus yang biasa dipergunakan oleh pelaku TPPO” ungkap Maizidah.
“Mereka tidak pernah memperoleh informasi dari Pemerintah, informasi yang didapatkan adalah informasi dari calo, sponsor, atau agen penempatan pekerja migran. Hal ini yang membuat mereka terjebak di desa,” ujar perempuan yang kini menjabat sebagai Ketua DPC SBMI Wonosobo.
Ia menambahkan, “Jika layanan informasi di tingkat desa tidak ditingkatkan, hal ini akan berjalan terus menerus. Apalagi mereka terus melakukan variasi dari door to door sampai media sosial.”
Dalam webinar juga diungkapkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang mencatat justru terjadi peningkatan kasus TPPO di tengah masa pandemi, dari 213 kasus (2019) menjadi 400 kasus (2020).
Data yang dicatat oleh IOM di Indonesia juga menyoroti meningkatnya jumlah korban perdagangan anak pada tahun 2020, di mana 80 persen di antaranya dieksploitasi secara seksual dengan modus menawarkan pekerjaan yang bergaji tinggi, bekerja sebagai pramusaji, hingga direkrut oleh pacar dan kemudian terjebak menjadi pekerja seks.
Sementara itu, berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jumlah permohonan pelindungan saksi/korban TPPO yang diterima LPSK mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen di tahun 2020.
Lebih lanjut, KPPPA mencatat bahwa untuk konteks Indonesia mayoritas kasus TPPO berkaitan dengan penempatan pekerja migran Indonesia, di mana beberapa sektor yang paling rentan terjadi perdagangan orang dan perbudakan manusia antara lain sektor perikanan, perkebunan kelapa sawit dan sektor domestik.
Pada sejumlah kasus TPPO yang dilaporkan, terdapat beberapa bentuk tindak kekerasan baik fisik maupun psikis, dugaan pelecehan, serta eksploitasi pekerja.
Baca Juga: Polisi Gerebek Penampungan TKW Ilegal di Cianjur, Diduga Terlibat Perdagangan Orang
Dalam praktik perdagangan orang, siapa pun bisa menjadi pelaku kejahatan, bahkan keluarga sendiri. Hal ini tentu menyulitkan pihak yang ingin memberantas TPPO, karena keluarga memiliki andil besar dalam melindungi anggota keluarga.
Tak hanya itu, banyak korban tidak ingin melapor dan, bahkan, tidak sadar bahwa mereka menjadi korban TPPO. Hal ini juga menjadi tantangan dalam penanggulangan perdagangan orang.
“TPPO merupakan suatu tindak kejahatan transnasional, oleh karenanya proses pembuktian dan unsur-unsurnya pun sangat kompleks. Sehingga akhirnya pengungkapan dan penuntutan terhadap pelaku perlu kerja sama dari semua pihak,” ujar Eny Rofiatul Ngazizah.
“Keterlibatan private sector diharapkan, tidak hanya recruitmet agency dan asosiasi, tapi juga private sector yang berperan menjadi pemberi kerja untuk memastikan bahwa rantai pasok mereka terbebas dari risiko eksploitasi,” tutupnya.
Bagi masyarakat yang pernah mengalami atau melihat indikasi kasus TPPO, IOM mengimbau untuk melaporkan kasus ke hotline IOM di 0812 8242 0024 atau menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak Kementerian PPPA (SAPA) melalui telepon 129 atau WA/pesan suara ke 08111 129 129.
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kompas TV