Arsjad mengatakan, hilirisasi sumber daya alam Indonesia seperti nikel, bisa ikut berkontribusi dalam membangun ekosistem ekonomi hijau, khususnya untuk industri mobil listrik dan panel surya yang membutuhkan nikel sebagai bahan baku baterai serta panelnya.
“Transisi energi akan meringankan beban APBN kita yang selama ini tersedot untuk subsidi energi fosil. Upaya mencapai ambisi Net Zero 2030, Indonesia perlu 220 GW kapasitas panel surya sampai tahun 2050 dan saat ini sudah ada regulasi yang mendukung untuk mencapai transisi energi," ucap Arsjad.
Menurut Arsjad, sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dukungan pendanaan, capacity building, dan teknologi untuk mencapai transisi energi yang inklusif dan berkeadilan.
Arsjad mengatakan, pengembangan industri hijau dan transisi energi ini penuh tantangan sehingga hanya bisa tercapai dengan kolaborasi antara publik dan swasta dengan terus menerus menciptakan inovasi dan dukungan regulasi yang baik.
Kadin Indonesia sendiri sudah membentuk Kadin Net Zero Hub, platform yang menjadi hub untuk berbagi pengetahuan tentang transisi energi dan membantu sektor bisnis-publik mencapai nol emisi demi pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Mobilisasi Pembiayaan Berkelanjutan
Acara ini juga mengundang beberapa menteri kabinet dan perwakilan kementerian RI di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto; Menkeu Sri Mulyani dan Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana.
Selain itu, Minister Power, New & Renewable Energy, Ministry of New and Renewable Energy India, Raj Kumar Singh dan Sanjiv Puri, Vice President, CII and Chairman & Managing Director, ITC Ltd yang juga perwakilan B20 India akan hadir untuk memberikan pandangan mengenai relevansi rekomendasi ESC TF bagi Presidensi B20-G20 India 2023.
Baca Juga: Kadin Indonesia Dukung Infrastruktur Ramah Lingkungan
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pidatonya mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa pemulihan ini semakin membaik. Inflasi 4,9 persen YoY Juli tahun ini juga kata Airlangga masih bisa dikelola dan ditangani sehingga masih ada keleluasaan bagi fiskal untuk fokus pada persoalan mitigasi iklim dan transisi energi.
Airlangga mengakui, Indonesia masih belum mencapai tujuan transisi energi dan adaptasi iklim, namun mendorong transisi energi yang inklusif dan berkeadilan tetap harus diperjuangkan.
“Menjadikan isu transisi energi sebagai isu prioritas yang dilakukan G20-B20 Indonesia sudah sangat tepat, karena ini terkait dengan sudut pandang ekonomi, politik dan lingkungan di masa yang akan datang," terang Airlangga.
"Nantinya transisi energi akan menghasilkan 65 juta lapangan kerja baru di tahun 2030 dengan potensi ekonominya mencapai 26 miliar dolar AS. Melalui mobilisasi dukungan, kebijakan dan tindakan terkait krisis pangan dan iklim, kepemimpinan kita bisa diandalkan,” lanjut Airlangga.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan pada komitmen semua negara, termasuk Indonesia melalui Presidensi G20-B20 untuk menyelamatkan kemanusiaan yang saat ini terancam akibat perubahan iklim, krisis pangan dan krisis energi.
Menurut Sri Mulyani, menjadikan energi dan perubahan iklim sebagai isu strategis sangat penting, terutama dalam kerangka mitigasi dampak pemanasan global melalui pembiayaan adaptasi iklim yang berkelanjutan dan mudah dijangkau.
Sri Mulyani menjelaskan, negara terbatas pembiayaan dari APBN sehingga harus mencari alternatif pembiayaan untuk mitigasi iklim dan transisi energi. Jadi, perlu ada kerangka kerja mengenai pembiayaan yang dibutuhkan untuk mengakselerasi transisi energi.
"Blended finance ini jadi terobosan untuk memobilisasi dana baik dari pihak komersial maupun non komersial. Memang, isu perubahan iklim dan transisi energi harus diselesaikan melalui kolaborasi global,” kata Sri Mulyani.
Menyambung Menkeu Sri Mulyani, Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan mitigasi perubahan iklim dan transisi energi dari fosil ke EBT memang bukan persoalan mudah.
Selain dibutuhkan komitmen politik yang kuat dan riset memadai, juga dibutuhkan pembiayaan yang besar untuk dapat mencapai transisi energi dengan mulus dan inklusif. Dari catatan Kementerian ESDM, Rida mengkalkulasi Indonesia butuh 1 triliun dolar AS untuk transisi energi dan mencapai bauran EBT yang tinggi.
Baca Juga: KADIN: Investor Menyukai Kestabilan Politik, Tepat Indonesia Akan Hadapi Tahun Politik di 2024!
Dalam salah satu panel diskusi membahas percepatan transisi ke penggunaan energi berkelanjutan, Sacha Winzenried, sebagai B20 ESC TF Team Leader untuk PwC sebagai Lead Knowledge Partner dan Energy, Utilities & Resources Lead Advisor di PwC Indonesia, menyampaikan sejumlah poin.
Menurut Sacha, untuk menutup kesenjangan dekarbonisasi, semua pelaku ekonomi perlu menunjukkan kinerja yang lebih baik.
"Melakukan transisi energi dengan benar, yang berarti melaksanakan proses transisi dengan lebih cepat, tanpa gangguan ekonomi dan sosial, dan memastikan tidak ada yang tertinggal, sangatlah penting untuk menjamin dan mempertahankan kelayakan sosial dan politik yang diperlukan untuk perubahan yang begitu besar,” pungkas Sacha.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.