YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Polusi udara merupakan masalah klasik yang dihadapi sejumlah kota penting di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), masyarakat Yogyakarta hanya menikmati udara bersih selama 50 hari dalam waktu enam bulan (2019).
Dalam Seminar Hasil Penghitungan Emisi (2016) yang dilakukan oleh Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada, kendaraan bermotor memiliki sumbangsih hingga 70% emisi karbon dan menjadi penyebab utama menurunnya kualitas udara di Yogyakarta.
Sementara menurut Litbang Kompas (2020), sisa emisi karbon berasal dari asap pabrik, asap pembakaran sampah, dan sumber pencemaran lainnya.
"Tidak bisa dipungkiri, kendaraan bermotor yang memanfaatkan bahan bakar fosil adalah sumber emisi karbon dioksida terbesar di Kota Yogyakarta,” ungkap Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM) Sa'duddin, seperti dilansir dari laman UNPI.
Berdasarkan data yang dihimpun Litbang Kompas (2020), polusi udara merupakan isu penting ketiga bagi masyarakat Yogyakarta setelah Covid-19 dan kriminalitas.
Survei yang dilakukan kepada 500 responden di Yogyakarta, Sleman, dan Bantul itu juga menemukan bahwa mayoritas penduduk merasa tidak puas dengan kualitas udara di daerah mereka.
Namun dalam survei yang sama, 88,6 persen total responden di Yogyakarta mengaku masih menggunakan sepeda motor dalam kegiatan sehari-hari. Dua hingga tiga buah sepeda motor dapat dimiliki oleh rata-rata satu keluarga di Yogyakarta.
Banyaknya penggunaan sepeda motor juga dicatat sebagai masalah serius oleh Dinas Perhubungan D.I. Yogyarkarta sebagai sumber kemacetan. Dilansir dari Tribunnews, jumlah kendaraan roda dua meningkat 211 persen menjadi menjadi 222.915 unit dalam satu tahun (2017).
Rata-rata konsumsi bahan bakar mingguan mencapai 5,1 liter bensin atau setara Rp 40.690 per sepeda motor. 63,8 persen di antaranya, menurut Litbang Kompas, tidak menggunakan bahan bakar ramah lingkungan karena pertimbangan harga.
Kebjakan dan kerja sama masyarakat
Polusi udara merupakan masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak termasuk masyarakat.
Berdasarkan hasil survei yang dihimpun Litbang Kompas, kepedulian masyarakat Yogyakarta terhadap isu pencemaran lingkungan terbilang baik.
Meskipun baru 39 persen responden yang memiliki ruang terbuka hijau memadai, keinginan untuk menjadikan sebagian lahan mereka sebagai ruang terbuka hijau menunjukan respon yang sangat positif.
Semua kelompok umur mengaku tertarik untuk mengikuti kegiatan organisasi lingkungan. Bahkan, sebagian besar sudah terbiasa terlibat dalam gerakan pelestarian lingkungan dan bersedia untuk mengajak orang di sekitarnya untuk ikut terlibat.
Selain upaya dari masyarakat, sejumlah kebijakan juga telah dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengurangi polusi udara.
Pustral UGM menyebutkan, Pemerintah Kota telah menerbitkan regulasi tentang pengendalian pencemaran udara, melakukan pemantauan kualitas udara (emisi & ambien), menyelenggarakan KIR atau pemeriksaan kelayakan kendaraan, rekayasa lalu lintas, pembatasan kendaraan, penyelenggaraan Car Free Day (CFD), pengembangan ruang terbuka hijau (RTH), dan pemberian edukasi kepada masyarakat.
Selain itu dalam Seminar Hasil Penghitungan Emisi di Yogyakarta, perbaikan sistem bus Trans Jogja telah diusulkan guna menurunkan tingkat emisi dari kendaraan pribadi.
Sayangnya, upaya tersebut tampak belum membuahkan hasil. Data Litbang Kompas (2020) menunjukan pengguna transportasi publik masih berada di angka 0,4 persen.
Kendati demikian, fungsi sepeda sebagai transportasi sehari-hari memiliki harapan lebih. Terbukti, sepeda menempati posisi ketiga setelah sepeda motor dan mobil, meski baru mencapai 2,6 persen dari seluruh responden.
Kelompok usia 40-65 tahun paling banyak menggunakan sepeda dengan alasan kesehatan. Dengan alasan yang sama (kesehatan), munculnya pandemi Covid-19 membawa tren bersepeda di kalangan anak muda.
Mengurangi polusi udara di Yogyakarta
Perubahan positif yang timbul setelah pandemi perlu dipertahankan, tidak hanya sebagai tren, tetapi juga sebagai kebiasaan. Penggunaan sepeda sebagai moda transportasi pilihan sehari-hari masih perlu digalakkan sehingga akan bertahan setelah pandemi usai.
Kampanye #JogjaLebihBike merupakan gerakan yang diinisasi oleh masyarakat seluruh lapisan, termasuk akademisi dan organisasi. Gerakan ini mengajak seluruh warga Yogyakarta untuk mulai berkomitmen menggunakan sepeda dalam aktivitas sehari-hari, terutama untuk mobilisasi jarak dekat.
Berbagai pihak yang terlibat termasuk akademisi, organisasi profesional, organisasi masyarakat, hingga komunitas. Di antara lain, Srengenge Creative Lab, Pustral UGM, Gusdurian, Nafas, Sego Segawe Reborn dan berbagai komunitas sepeda lainnya di Yogyakarta.
Tidak hanya mengajak masyarakat bersepeda melalui berbagai kegiatan kreatif, kegiatan ini juga memasang sensor kualitas udara di lima titik Kota Yogyakarta. Alat ini berfungsi untuk memantau kualitas udara dari berbagai parameter kualitas udara termasuk partikulat (PM1, PM2.5, PM10), nitrogen oksida (NO2), dan ozon (O3).
Kampanye yang bertujuan meningkatkan awareness publik terhadap kualitas udara dilakukan melalui situs resmi www.jogjalebihbike.id. Dukungan juga dapat diberikan dengan mengikuti unggahan akun Instagram @jogjalebihbike.
Melalui gerakan ini diharapkan kebiasaan bersepeda kembali hidup dan menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari, sebagai bentuk dukungan dan kepedulian warga dalam mewujudkan
kualitas udara yang lebih baik di Kota Jogja.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.