JAKARTA, KOMPAS.TV - Mahkamah Konstitusi menolak legalisasi ganja medis dan mendorong kajian serta penelitian terkait ganja untuk alasan kesehatan.
Uji materi terkait ini tak lepas dari usaha seorang ibu untuk buah hatinya yang menderita kelumpuhan otak dan membutuhkan ganja untuk pengobatan.
Berawal pada 2015 ketika sang buah hati, Pika mengalami kelumpuhan otak atau cerebral palsy, dunia Santi Warastuti berubah.
Santi mendapatkan informasi dari kenalannya bahwa minyak biji ganja dapat dimanfaatkan untuk pengobatan kejang yang diderita Pika, namun niat Santi memberikan buah hatinya obat tersebut terganjal regulasi di Indonesia.
Menurut Undang-Undang, Ganja termasuk narkotika golongan I yang kepemilikannya adalah perbuatan melanggar hukum.
Pada November 2020, mereka memohon uji materiil atas Undang-Undang Narkotika kepada Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga: PTUN Batalkan UMP DKI Rp4,6 Juta, Buruh Demo Desak Gubernur Anies Ajukan Banding!
Mereka mendorong legalisasi ganja untuk kebutuhan medis.
Santi dan para pemohon legalisasi ganja medis telah mengumpulkan riset dari beberapa ahli yang menggeluti bidang pemanfaatan ganja untuk keperluan medis.
Namun lebih dari itu, Santi membutuhkan dukungan dari publik atas usahanya memperjuangkan pengobatan untuk anaknya.
Di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, ganja adalah barang ilegal.
Namun untuk keperluan medis, sejumlah negara telah melegalkannya dan yang teranyar adalah Thailand.
Ganja yang tidak lagi dikategorikan WHO sebagai narkotika menguatkan keyakinan Santi untuk memperjuangkan permohonan uji materiil legalisasi ganja medis kepada Mahkamah Konstitusi.
Santi sadar, ganja medis mungkin tidak akan membuat Pika sembuh seperti sedia kala.
Sebagai ibu, ia hanya ingin buah hatinya tidak lagi kesakitan melawan kejang dan merayakan indahnya dunia kanak-kanak, dan demi Pika, Santi menolak menyerah.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.