JAKARTA, KOMPAS.TV - Riset Air Quality Life Index (AQLI) pada tahun 2021 menunjukkan rata-rata orang Indonesia berpotensi kehilangan 2,5 tahun harapan hidup akibat polusi udara. Empat dari lima orang Indonesia terpapar konsentrasi polusi yang melebihi batas aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di kota-kota besar di Indonesia, harapan hidup masyarakat bahkan bisa terpangkas kian parah. Jakarta, misalnya, secara rata-rata masyarakat dapat kehilangan harapan hidup 5,5 tahun jika tingkat polusi tahun 2019 tak kunjung membaik.
Data satelit menunjukkan, pencemaran udara terutama terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di wilayah metropolitan Jakarta, dan sebagian di Sumatera. Namun, penduduk Kalimantan dan Sulawesi juga ikut menanggung beban polusi udara dalam beberapa tahun terakhir.
AQLI menyatakan, hal tersebut dikarenakan kualitas udara di Indonesia tak memenuhi pedoman WHO, yakni kriteria konsentrasi (Particulate Matter/PM2,5). Polusi udara atau polusi partikel menduduki posisi pertama pemicu pengurangan harapan hidup di Indonesia, disusul merokok di posisi kedua yang memperpendek hingga 1,9 tahun.
Baca Juga: Mudahnya Anak-anak Mendapatkan Rokok Secara Eceran| BERKAS KOMPAS
Polusi partikel utamanya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Diestimasi bahan bakar fosil menyumbang 60 persen PM2,5 di perkotaan. Sementara sisanya berasal dari sumber alam dan aktivitas manusia lainnya.
Lucky Lontoh, selaku Country Coordinator International Institute for Sustainable Development (IISD), menyatakan temuan pihaknya sejalan dengan riset AQLI. Menurutnya, masyarakat rentan terpapar penyakit tidak menular akibat pembakaran batu bara, yang mana lebih dari 60 persen listrik di Indonesia dihasilkan di Pembangkit Listrik Batu Bara (PLTU).
Lewat laporan tahun 2018, IISD menyatakan batu bara terbukti sangat berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Pembakaran batu bara untuk menghasilkan listrik atau panas menyebabkan PM2,5 dan berbagai unsur beracun yang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular, pernapasan, bahkan hingga kanker.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, Indonesia menjadi negara dengan kematian tertinggi terkait batu bara.
Baca Juga: Polusi Udara Jakarta Memburuk, Wamen LHK: Beralih ke Kendaraan Listrik
Mengutip data WHO, polusi udara dari batu bara dianggap sebagai penyebab langsung dari beberapa penyakit tidak menular yang pada tahun 2015 telah menyebabkan 1,3 juta orang meninggal di Indonesia.
Tak hanya merugi dari sisi kesehatan, Lucky mengatakan masyarakat juga berpotensi menerima dampak sosial, dari stunting hingga berkurangnya waktu yang dihabiskan bersama di ruang terbuka.
“Orang dengan gangguan pernapasan kronis membutuhkan istirahat setidaknya dua minggu sampai sebulan per tahun. Jadi di tahap lebih parah orang akan kehilangan lebih banyak hari-hari produktifnya. Jadi hasil kesimpulan kami yang menyatakan orang akan kehilangan 2,5 tahun, itu dapat diterima,” jelas Lucky kepada KompasTV, Selasa (1/8/2023).
IISD menilai, Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah untuk mengurangi polusi udara akibat kabut asap serta meningkatkan transportasi massa. Namun ironisnya, pemerintah masih terus mendukung batu bara sebagai sumber utama pembangkit tenaga listrik.
Realisasi subsidi energi tahun 2019, lanjut IISD, mencapai Rp136 triliun, lebih besar dari anggaran belanja kesehatan APBN yakni Rp123 triliun.
Sasaran utama subsidi batu bara, sebagaimana riset IISD, berupa pengurangan harga listrik dengan biaya rata-rata pembangkitan listrik di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 75 Dollar AS per MWh.
Namun, negara lain seperti India menunjukkan biaya pembangkitan energi terbarukan bisa jauh lebih rendah dibandingkan batu bara. Proyek-proyek tenaga surya di India berhasil menjual listrik di harga 40 Dollar AS per MWh. Bahkan di Meksiko, harga listrik berhasil diturunkan ke 21 Dollar AS per MWh.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.