JAMBI, KOMPAS.TV-
Keputusan Presiden Joko Widodo terkait virus COVID-19 untuk tidak melakukan lockdown (mengisolasi diri) secara ketat, seperti yang dilakukan negara-negara lain untuk mengatasi penyebaran virus corona ini, dan justru memilih metode menjaga jarak secara fisik dengan individu lain, didasarkan pada analisa yang berpangkal pada budaya dan karakter warga Indonesia.
"Kemudian kenapa ada yang bertanya kenapa kebijakan lockdown tidak kita lakukan, perlu saya sampaikan setiap negara memiliki karakter, budaya, kedisplinan yang berbeda-beda, oleh itu kita tidak memilih jalan itu," tutur Jokowi, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (24/3).
Jokowi kembali menegaskan bahwa metode yang cocok diterapkan di Indonesia adalah menjaga jarak fisik antar individu masyarakat alias physical distancing.
"Sudah saya pelajari, saya memiliki analisis-analisis seperti itu dari semua negara, saya memiliki semuanya, kebijakannya seperti apa semua dari Kementerian Luar Negeri, dari duta besar-duta besar yang ada terus kita pantau setiap hari," kata Presiden dalam rapat terbatas dengan tema 'Pengarahan Presiden kepada Para Gubernur Menghadapi Pandemik Covid-19' melalui konferensi video bersama dengan Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, para menteri Kabinet Indonesia Maju dan 34 gubernur se-Indonesia.
Suku Anak Dalam dan Social Distance
Orang Rimbo atau Suku Anak Dalam (SAD) adalah penjelajah hutan sejati. Keterikatan mereka dengan hutan tidak dapat dipisahkan. Hutan adalah segalanya bagi warga SAD. Dari sumber bahan pangan primer hingga obat mereka dapatkan dari hutan. Pengetahuan tentang tanaman obat dan tradisi ketat yang diterapkan warga SAD diwariskan turun temurun dari nenek moyang mereka.
Ada satu hal unik yang bila seseorang orang rimba jatuh sakit. Metode karantina di orang rimba sudah dilakukan leluhur orang rimba ratusan tahun yang lalu.
Dalam bahasa orang rimba, social distancing disebut besesandingon atau diasingkan yang jauh dari kelompok yang sehat. Dia akan bersesandingon atau tinggal terpisah dan mengasingkan diri dari kelompoknya. Antara cenenggo atau si sakit dengan bungaron atau orang sehat, dilarang melakukan interaksi secara langsung.
Seperti makan dilarang bersama, dilarang menggunakan pakaian dan barang bersama, tidak boleh tidur dirumah bekas orang yang sedang punya penyakit dan lainnya hingga benar benar virus sudah mati.
Aturannya, besesandingon harus sampai sehat, dan benar benar dinyatakan sehat. 2 minggu
Selama disesandingko tidak bisa melakukan kontak dan saling memberikan barang kepada yang sehat, kecuali yang bisa orang yang sehat ke orang sakit di perbolehkan. Ada pengecualian bila orang sakit mau memberikan makan kepada yang sehat, maka makanan harus direndamkan pada sungai yang mengalir selama beberapa jam, baru bahan pangan tersebut bisa dipakai atau bisa dimakan si orang sehat.
Memang pernah terjadi wabah di kawasan tempat warga SAD tinggal, khususnya di Terab beberapa tahun lalu. Pola hidup mereka dan interaksi yang begitu dekat, ketika sehat dan tidak memiliki pendeteksi penyakit tertentu, menjadi salah satu faktor penularan Hepatitis B terjadi di kelompok orang rimba ketika itu. Ketika akan melakukan besesandingon mungkin sudah terlambat karena penularannya yang masif.
Budaya menjadi produk pengetahuan manusia melalui pengalaman dan pengetahuan dalam waktu yang relatif lama. Apa yang bisa ditarik dari sistem pengetahuan SAD pada penanganan orang sakit yang dibungkus dalam budaya adalah sistem besesandingon. Ya, sistem karantina sudah dilakukan orang rimba ratusan tahun yang lalu cukup efektif untuk memutus penyebaran virus atau penyakit yang lain.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.