KOMPAS.TV - 'Feminisation of the Supply Chain', atau feminisasi rantai pasok, adalah sebuah konsep yang menawarkan metodologi berbeda dan komprehensif untuk menjawab kebutuhan unik perempuan, khususnya dalam konteks pedesaan. Hal ini bertujuan untuk memberdayakan perempuan di seluruh rantai pasok, mengakui kontribusi mereka yang sangat berharga dan potensi untuk mendorong perubahan berkelanjutan. Di seluruh rantai pasok, mulai dari produksi hingga ritel, tujuan eksplisit dari konsep ini adalah untuk secara aktif merangkul keberagaman gender dan mengadvokasi inklusi perempuan di setiap tahap.
Di Solidaridad, tujuan kami adalah membangun model yang mampu mendorong perubahan transformatif dalam rantai pasokan dengan mendorong inklusivitas yang lebih besar. Salah satu model teladan yang kami perjuangkan adalah 'Feminisasi Rantai Pasok' di Asia.
Sejumlah penelitian membuktikan korelasi positif antara keragaman organisasi dan peningkatan kesuksesan. Ketimbang hanya mengaitkan keberhasilan ini dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan kesempatan yang sama, dapat dilihat bahwa pencapaian ini berakar pada penggabungan individu-individu yang berasal dari beragam budaya dan latar belakang, masing-masing memiliki kepribadian berbeda yang mempengaruhi proses kognitif mereka. Dimasukkannya berbagai gaya berpikir kritis dan analitis secara sengaja di tempat kerja akan menumbuhkan lingkungan dinamis yang kondusif bagi peningkatan kreativitas, wawasan mendalam, dan peningkatan efisiensi operasional bagi perusahaan. Di banyak negara, perempuan menghadapi hambatan yang dianggap tidak dapat diterima baik dari sudut pandang sosial maupun ekonomi. Penelitian ekstensif yang dilakukan oleh World Development Report dan Oxford telah mengidentifikasi empat fokus utama: meningkatkan kondisi kerja dan peluang ekonomi, mendorong pengembangan kepemimpinan dan kemajuan karier, mengatasi tantangan terkait peran sebagai ibu, dan memastikan lingkungan kerja yang aman dan terhormat dengan memerangi perilaku buruk dan pelecehan.
Konteks
Perempuan merupakan bagian penting dari angkatan kerja pertanian global, yaitu hampir 37 persen (ILO, 2020), namun mereka sering kali tidak diakui sebagai petani. Untuk mengatasi kesenjangan ini diperlukan perubahan transformatif dalam pola kepemilikan tanah dan peningkatan status sosial ekonomi perempuan, khususnya di daerah pedesaan. Namun, mengingat kompleksitas perubahan tersebut, upaya untuk mewujudkan transformasi ini memerlukan waktu yang cukup lama, dan mungkin hingga puluhan tahun.
Pada saat yang sama, terbukti bahwa banyak rantai pasok pertanian formal dan kebijakan sektor publik dan swasta menunjukkan kecenderungan buta gender. Akibatnya, upaya ekstensif yang dilakukan perempuan dan seringkali tidak dibayar dalam aktivitas seperti pengolahan tanah masih terabaikan. Membangun perekonomian yang kuat di sektor pertanian memerlukan pengakuan dan kompensasi yang adil atas kontribusi signifikan perempuan. Sektor pertanian seringkali mengabaikan berbagai beban yang ditanggung oleh petani perempuan, yang mencakup peran sebagai petani, ibu rumah tangga, ibu, dan pasangan. Perempuan tidak bisa mengabaikan peran normatif mereka dalam masyarakat, di mana ekspektasi tertentu menentukan peran mereka sebagai petani, ibu, ibu rumah tangga, dan istri.
Di desa Kerta Bumi yang terletak di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Indonesia, bertempat tinggal Suci Ratni. Dengan menjalankan berbagai peran sebagai perempuan petani, ibu, dan ibu rumah tangga, ia memikul tanggung jawab yang berlapis-lapis. Saat ini, ia memperluas usaha pertaniannya dengan merambah ke bidang hortikultura, dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan ketahanan pangan keluarganya. Suci Ratni bersama suaminya menerapkan cara-cara berkelanjutan, antara lain penggunaan pupuk kompos hasil pengolahan kotoran ayam dan kambing untuk menyuburkan tanaman mereka.
Suci percaya bahwa perempuan dapat berperan besar dalam memajukan pertanian Indonesia. Namun, perempuan petani seperti dirinya seringkali menanggung beban tambahan. “Sebagai perempuan petani, saya menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam mengatur waktu antara mengurus perkebunan dan mengasuh anak. Biasanya, saya berangkat ke kebun setelah mengantar anak-anak saya ke sekolah di pagi hari, dan kemudian memanfaatkan waktu istirahat makan siang untuk menjemput mereka nanti. Berbagai pekerjaan rumah tangga bisa dipastikan selalu menyibukkan diri pada malam hari saat pulang ke rumah,” Suci menjelaskan tantangan yang dihadapinya sehari-hari. Beristirahat adalah sebuah kemewahan bagi perempuan petani dan ibu rumah tangga seperti Suci. Meskipun petani laki-laki juga dapat melakukan tugas-tugas rumah tangga, peran pengasuh utama di sebagian besar rumah tangga tetap berada di tangan perempuan.
Hak dan kepemilikan atas tanah menimbulkan tantangan besar bagi perempuan di Indonesia. Pengertian petani tidak terbatas pada mereka yang memelihara perkebunan tetapi lebih pada mereka yang memiliki lahan. Hal ini menimbulkan hambatan besar bagi perempuan untuk mengidentifikasi dirinya sebagai petani, karena nama mereka seringkali tidak tercantum dalam sertifikat kepemilikan. Meskipun undang-undang memperbolehkan siapa pun untuk membeli dan memiliki tanah tanpa batasan, norma budaya dan tradisi seringkali mengakibatkan perempuan mewarisi tanah atau aset lainnya tanpa tercantum namanya dalam akta tersebut. Kemandirian finansial memberdayakan perempuan untuk mendobrak hambatan dan menjadi pemilik tanah. Ketika perempuan mempunyai sarana untuk mendapatkan kemandirian finansial, mereka pasti dapat mengatasi kendala tradisional dan menegaskan hak-hak mereka sebagai pemilik tanah.
Supia Atik adalah seorang perempuan petani dari Desa Maringin Jaya di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Indonesia. Jika kita mengacu pada pengertian petani, maka ia memegang identitas sebenarnya sebagai seorang petani perempuan. Supia memiliki lahan seluas 12 hektar dan semuanya atas namanya. Karena suaminya bekerja di sektor formal, ia memelihara dan mengelola perkebunannya sendiri termasuk melakukan pemanenan. Dia mendaftarkan dirinya ke sekolah lapangan petani Solidaridad dan menerapkan pengetahuannya, "Saya memiliki kebun kelapa sawit seluas 12 hektar. Ketika saya merujuk pada 'kebun saya', itu berarti kepemilikannya sah secara hukum dipegang oleh saya. Saya secara pribadi mengawasi dan mengelola kebun dengan dukungan keluarga. Saya aktif melakukan pemangkasan dan pemanenan, bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kebun, sementara suami saya bekerja di perusahaan lokal,” jelas Supia dengan bangga. Situasi Supia berbeda karena dia dan suaminya telah bertukar peran tradisional. Biasanya, suami adalah petani utama, dan istri berperan sebagai pendukung. Meski unik, Supia dan suaminya telah membuktikan bahwa peran yang terbalik di sektor pertanian harus dinormalisasi. Secara definisi, Supia Atik telah menempatkan dirinya sebagai petani perempuan dalam rantai pasok kelapa sawit, dan kita tentu membutuhkan lebih banyak perempuan seperti dia.
Di tengah perjuangan yang sedang berlangsung untuk persamaan hak atas tanah bagi perempuan, sebuah pertanyaan penting muncul: haruskah perempuan dikucilkan dari sistem pertanian, atau dapatkah pendekatan alternatif mengantarkan paradigma revolusioner yang mendorong inklusivitas dan kesetaraan yang lebih besar dalam sektor ini?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.